Ya, dia Mohammad Toha. Dan aku ingin seperti dia, menjemput bidadari surga.
"Sore, Pak," sapaan sopan dan tepukan di bahu menyadarkanku.
Aku menoleh. Seorang polisi muda memberi salam. Ia menjelaskan bahwa aku tidak boleh berhenti sembarangan di jalan raya.
Aku tidak terlalu memperhatikan dia. Pandanganku tertuju pada jam tanganku. Pukul 16.16 WIB. Tinggal beberapa menit lagi.
Tapi polisi ini terus nyerocos.
Ah, sudahlah, aku tahu maksudmu. Duit kan? Aku tahu betul watak bangsaku. Inilah yang bikin negeri Muslim terbesar ini rusak. Kerusakan akibat budaya Barat yang diimpor dari luar. Dan sekarang aku terpaku di depan sebuah gedung yang menjadi sumber kerusakan itu. Orang-orang bule itu biang laknat. Semoga Allah musnahkan mereka mulai dari tapak kaki mereka!
"Bapak mengerti?" tanya si polisi mengakhiri uraiannya.
Aku mengangguk tanpa suara. Inilah Indonesiaku.
Selembar sepuluh ribuan tersodor. Ia melotot.
"Ini jalan protokol, Bung!"
Oke, aku paham. Nilai suatu jalan menentukan nilai suap.