Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta dalam Semangkuk Mi

24 Maret 2021   17:56 Diperbarui: 30 Maret 2021   22:04 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi semangkuk mie/Foto: freepik.com

Dingin malam menggigit. Angin mendesir menambah dingin. Semakin lama perutku semakin terasa lapar. Aksi gocekan bola pemain-pemain bintang di lapangan hijau pun jadi kurang nikmat. Dalam kondisi seperti ini sesuatu yang hangat-hangat nikmat patut tersedia.

Hanya satu pilihan makanan bagi para pecandu sepak bola saat malam buta, sesuatu yang praktis dan cepat: Mi instan.

Uuh, tidak ada sepotong pun mi tersisa. Rasanya aku sudah membeli sepuluh bungkus mi instan. Kemana ya? Aku hanya seorang diri di kamar indekost ini. Tak mungkin ada jin yang doyan mi.

Aku tepuk dahi ini. Sudah lupakah kamu berapa kali kamu nonton bola malam-malam?

Aku tak pernah lalai menyantap mi instan sewaktu menonton pertandingan bola pada malam hari.

Walhasil, terpaksalah aku keluar membeli mi instan di warung Ucok. Sekarang jam dua belas lewat tujuh menit. Biasanya Ucok masih melek.

Dugaanku benar. Pintu warung mi (warmindo) Ucok masih terbuka, tapi lampu bohlamnya tidak menyala. Ucok setengah menguap menyambutku.

"Ngantuk, Cok?"

"Iyalah, belum tidur, Lae?"

Aku tersenyum. Ucok paham dia tahu betul aku pecandu sepak bola.

"Jangan terlalu sering, Mas," ujarnya.

Si Ucok anak Medan ini sering tidak konsisten menyapa orang. Tadi aku dipanggilnya 'Lae" tapi barusan "Mas".

Aku sendiri lebih suka dipanggil "Lae". Rasanya terasa lebih jantan.

"Kenapa? Karena aku jadi sering begadang terus kurang istirahat dan akhirnya jatuh sakit. Trus kuliah terbengkalai, tidak bisa cepat-cepat diwisuda supaya cepat dapat pekerjaan.  Begitu kan?" terkaku mencerocos. Aku mengulum senyum kemenangan, berhasil menerka maksud Ucok.

"Bukan begitu, Lae. Itu pandangan ekstrem sekaligus klise. Siapa bisa menjamin kalau sudah bisa jadi sarjana lantas cepat dapat kerja. Memangnya cuma sarjana saja yang bisa sukses?" tangkisnya. "Buktinya orang tak tamat SMA saja bisa jadi konglomerat!"

"Iya, jebolan STM juga bisa loh, Cok. Mantan guru SMP, tukang bajaj semua punya kesempatan jadi konglomerat," sambungku. "Asal ada referensi dan komisi!"

Tawa kami berderai lepas di keheningan malam.

Untung kami bukan pensiunan pejabat negara atau purnawirawan militer yang setiap gerak dan ucapannya diendus wartawan dan jadi headline koran dan media nasional. Ujung-ujungnya dituding kumpul-kumpul untuk bikin makar atau kudeta parpol.

Untunglah kami hanya mahasiswa biasa dan tukang mi dalam sebuah warmindo sederhana.

"Di piring atau mau dibungkus, Mas?" tanya Ucok.

Cepat juga kerjanya si Ucok. 

Mi dengan telor hangat mengepul di penggorengan. Perutku semakin lapar.

"Aku makan di sini saja, Cok."

Tiba-tiba aku tidak berminat lagi dengan pertandingan sepak bola. Saat ini aku hanya ingin ngobrol dengan Ucok. Mungkin rumput yang bergoyang didera angin di tegalan sebelah warung juga tidak tahu.

Ada sebuah medan magnet besar yang menarikku tetap duduk di bangku kayu warung mi Ucok menghadapi semangkuk mi instan yang mengepul berasap.

Mungkin karena aku butuh teman sebagai tempat curhat uneg-uneg kegagalanku dalam ujian tengah semester, dosen killer dengan setumpuk tugas, dan banyak lagi permasalahan anak rantau.

Sebagai jomlo, aku butuh tempat menumpahkan isi hati, bahkan tempat memaki yang saat ini izinnya tidak lagi seleluasa dahulu.

"Lae, lekas dimakan minya. Nanti keburu dingin."

Aku tergagap. Kuseruput kuah mi. Enak.

Tak salah Ucok selalu kubanggakan di kalangan teman-teman kampus. Maklum mi instan dan mahasiswa indekos adalah pasangan yang tidak dapat dipisahkan sehingga mi enak nan lezat selalu dapat tempat terhormat.

"Tadi aku mau bilang jangan sering-sering memaksakan badan begadang nonton bola, Mas. Badan ini kan harus dicintai sebagai anugerah Tuhan."

"Kamu sendiri sering begadang seperti ini kan, Cok?" sergahku.

Ucok menggeleng. Aku merasa itu berarti "bukan begitu, kamu tidak mengerti maksudku".

Ucok mengambil mangkuk ayam dari rak piring. Dilapnya mangkuk tersebut.

"Sudahlah, Lae, nanti kita malah debat kusir berkepanjangan. Aku juga yang rugi kalau mendadak Mas Arya tak makan di sini lagi."

Ia terkekeh. Aku tersenyum. Statement klasik khas pedagang, gumamku.

"Berarti kamu lebih mementingkan profesionalisme ketimbang membiarkan hati nuranimu berbicara?" pancingku dengan pertanyaan berat.

Kata orang-orang, Ucok hanya jebolan SMP. Tapi sekali dua kulihat dia membaca buku-buku tebal sewaktu menunggui warungnya. Entah buku apa, aku enggan bertanya.

Ini Jakarta, Bung, let it be his privacy, demikian pikirku. Ia pun tekun sholat lima waktu. Tak heran wajah kerasnya selalu teduh.

"Padahal menjadi profesional tidak berarti harus membungkam hati nurani. Biarkan hati ini bicara. Hal inilah yang mulai punah dewasa ini. Demi tuntutan devisa negara, kita bungkam hati nurani. Kita tak peduli dampaknya pada degradasi moral anak bangsa. Sayangnya budaya semacam ini sudah menular ke kalangan bawah. Atau justru budaya ini memang berakar dari bawah!" lanjutku dengan gaya khasku seperti saat rapat bersama teman-teman aktivis mahasiswa.

Ucok tertegun sejenak.

"Wah, itu terlalu tinggi, Lae. Aku hanya anak petani Deli. Pikiranku sederhana. Tidak seperti mahasiswa atau cendekiawan yang mengawang. Aku tidak seperti apa yang Mas Arya katakan. Apa tadi?" tanyanya.

"Membungkam hati nurani?" Ucok tersenyum sejenak. "Pada dasarnya kita semua berbuat karena terdorong oleh rasa cinta. Cinta yang menggelora yang menggairahkan kita untuk berbuat sesuatu. Jika cinta itu lenyap, sirna sudah kenikmatan."

Ia terdiam. Mencari-cari stok mi di lemari kecilnya. Denting piring dipukul tukang sekoteng menandakan larutnya malam.

Ucok mengacungkan sepotong mi yang terlepas dari bungkusnya.

"Mas tahu tidak? Ada cinta dalam sepotong mi ini. Cinta yang menyatakan keberadaanku. Betapa aku mencintai mi ini karena aku cinta hidup. Seorang pejabat mengkorupsi uang negara karena terlalu mencintai harta," ujar Ucok.

"Cinta itu ibarat energi yang tak pernah musnah. Ia hanya pindah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Cinta selalu memancar di mana ia berada. Aku berwudhu karena aku cinta Allah maka di wajahku yang kubasuh terpancar rasa cintaku kepada Allah. Lae suka sepak bola bahkan sangat mencintainya. Maka kecintaan tersebut akan terpancar. Semua aktivitas manusia didasari cinta. Yang membedakan adalah bagaimana bentuk cintanya dan seberapa besar takarannya," lanjutnya berwibawa.

Aku terdiam, merenung.

Ucok menjerang sepotong mi tersebut. Dipecahkannya telur ayam dan dicampurkannya bumbu. Begitu bersemangat ia. Rupanya ia begitu mencintai pekerjaannya dengan ikhlas sehingga terpancar rasa cintanya itu.

Aku lihat diriku. Mungkin aku memang tidak mencintai kuliahku. Tidak ada rasa keterikatan yang ikhlas, yang ada hanya keterpaksaan. Tak ada rasa rindu, yang ada hanya rasa benci.

Aku memaki penyanyi lawas yang menyenandungkan tembang benci tapi rindu. Bohong besar. Kedua perasaan itu tidak mungkin bersatu. Itu adalah kamuflase rasa rindu yang mendua.

Ucok menyantap sepotong mi yang dimasaknya. Aku memandanginya. Angin malam bertiup semilir seiring desah napasku.

Terkadang kita lebih bisa disadarkan oleh wong cilik yang berkata tulus sepenuh hati daripada omongan pejabat yang besar mulut tanpa aksi.

Sayangnya hak bersuara wong cilik seperti Ucok ini terpinggirkan dan terkekang. Suara mereka hanya diburu saat pemilu lima tahunan.

Aku pamit pada Ucok setelah membayar semangkuk minya. Itulah sisa uangku yang menipis di akhir bulan. Aku berharap transferan uang bulanan dari bapak tidak telat lagi.

Semoga saja panen di kampung tidak gagal. Yah, kupikir-pikir aku juga wong cilik.

Jakarta, jelang Ramadhan

Baca Juga:

1. Belajar Memahami ala Jenderal Nagabonar

2. Drama Layang-Layang

3. Banjir Seleher, Leher Siapa?

4. Setop Bergosip, Mari Berdiskusi

5. Wahai Penulis, Ternakkan Idemu

6. Yang Gembel, Yang Lapar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun