Mi dengan telor hangat mengepul di penggorengan. Perutku semakin lapar.
"Aku makan di sini saja, Cok."
Tiba-tiba aku tidak berminat lagi dengan pertandingan sepak bola. Saat ini aku hanya ingin ngobrol dengan Ucok. Mungkin rumput yang bergoyang didera angin di tegalan sebelah warung juga tidak tahu.
Ada sebuah medan magnet besar yang menarikku tetap duduk di bangku kayu warung mi Ucok menghadapi semangkuk mi instan yang mengepul berasap.
Mungkin karena aku butuh teman sebagai tempat curhat uneg-uneg kegagalanku dalam ujian tengah semester, dosen killer dengan setumpuk tugas, dan banyak lagi permasalahan anak rantau.
Sebagai jomlo, aku butuh tempat menumpahkan isi hati, bahkan tempat memaki yang saat ini izinnya tidak lagi seleluasa dahulu.
"Lae, lekas dimakan minya. Nanti keburu dingin."
Aku tergagap. Kuseruput kuah mi. Enak.
Tak salah Ucok selalu kubanggakan di kalangan teman-teman kampus. Maklum mi instan dan mahasiswa indekos adalah pasangan yang tidak dapat dipisahkan sehingga mi enak nan lezat selalu dapat tempat terhormat.
"Tadi aku mau bilang jangan sering-sering memaksakan badan begadang nonton bola, Mas. Badan ini kan harus dicintai sebagai anugerah Tuhan."
"Kamu sendiri sering begadang seperti ini kan, Cok?" sergahku.