"Jangan terlalu sering, Mas," ujarnya.
Si Ucok anak Medan ini sering tidak konsisten menyapa orang. Tadi aku dipanggilnya 'Lae" tapi barusan "Mas".
Aku sendiri lebih suka dipanggil "Lae". Rasanya terasa lebih jantan.
"Kenapa? Karena aku jadi sering begadang terus kurang istirahat dan akhirnya jatuh sakit. Trus kuliah terbengkalai, tidak bisa cepat-cepat diwisuda supaya cepat dapat pekerjaan. Â Begitu kan?" terkaku mencerocos. Aku mengulum senyum kemenangan, berhasil menerka maksud Ucok.
"Bukan begitu, Lae. Itu pandangan ekstrem sekaligus klise. Siapa bisa menjamin kalau sudah bisa jadi sarjana lantas cepat dapat kerja. Memangnya cuma sarjana saja yang bisa sukses?" tangkisnya. "Buktinya orang tak tamat SMA saja bisa jadi konglomerat!"
"Iya, jebolan STM juga bisa loh, Cok. Mantan guru SMP, tukang bajaj semua punya kesempatan jadi konglomerat," sambungku. "Asal ada referensi dan komisi!"
Tawa kami berderai lepas di keheningan malam.
Untung kami bukan pensiunan pejabat negara atau purnawirawan militer yang setiap gerak dan ucapannya diendus wartawan dan jadi headline koran dan media nasional. Ujung-ujungnya dituding kumpul-kumpul untuk bikin makar atau kudeta parpol.
Untunglah kami hanya mahasiswa biasa dan tukang mi dalam sebuah warmindo sederhana.
"Di piring atau mau dibungkus, Mas?" tanya Ucok.
Cepat juga kerjanya si Ucok.Â