Ucok menggeleng. Aku merasa itu berarti "bukan begitu, kamu tidak mengerti maksudku".
Ucok mengambil mangkuk ayam dari rak piring. Dilapnya mangkuk tersebut.
"Sudahlah, Lae, nanti kita malah debat kusir berkepanjangan. Aku juga yang rugi kalau mendadak Mas Arya tak makan di sini lagi."
Ia terkekeh. Aku tersenyum. Statement klasik khas pedagang, gumamku.
"Berarti kamu lebih mementingkan profesionalisme ketimbang membiarkan hati nuranimu berbicara?" pancingku dengan pertanyaan berat.
Kata orang-orang, Ucok hanya jebolan SMP. Tapi sekali dua kulihat dia membaca buku-buku tebal sewaktu menunggui warungnya. Entah buku apa, aku enggan bertanya.
Ini Jakarta, Bung, let it be his privacy, demikian pikirku. Ia pun tekun sholat lima waktu. Tak heran wajah kerasnya selalu teduh.
"Padahal menjadi profesional tidak berarti harus membungkam hati nurani. Biarkan hati ini bicara. Hal inilah yang mulai punah dewasa ini. Demi tuntutan devisa negara, kita bungkam hati nurani. Kita tak peduli dampaknya pada degradasi moral anak bangsa. Sayangnya budaya semacam ini sudah menular ke kalangan bawah. Atau justru budaya ini memang berakar dari bawah!" lanjutku dengan gaya khasku seperti saat rapat bersama teman-teman aktivis mahasiswa.
Ucok tertegun sejenak.
"Wah, itu terlalu tinggi, Lae. Aku hanya anak petani Deli. Pikiranku sederhana. Tidak seperti mahasiswa atau cendekiawan yang mengawang. Aku tidak seperti apa yang Mas Arya katakan. Apa tadi?" tanyanya.
"Membungkam hati nurani?" Ucok tersenyum sejenak. "Pada dasarnya kita semua berbuat karena terdorong oleh rasa cinta. Cinta yang menggelora yang menggairahkan kita untuk berbuat sesuatu. Jika cinta itu lenyap, sirna sudah kenikmatan."