Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta dalam Semangkuk Mi

24 Maret 2021   17:56 Diperbarui: 30 Maret 2021   22:04 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi semangkuk mie/Foto: freepik.com

Ucok menggeleng. Aku merasa itu berarti "bukan begitu, kamu tidak mengerti maksudku".

Ucok mengambil mangkuk ayam dari rak piring. Dilapnya mangkuk tersebut.

"Sudahlah, Lae, nanti kita malah debat kusir berkepanjangan. Aku juga yang rugi kalau mendadak Mas Arya tak makan di sini lagi."

Ia terkekeh. Aku tersenyum. Statement klasik khas pedagang, gumamku.

"Berarti kamu lebih mementingkan profesionalisme ketimbang membiarkan hati nuranimu berbicara?" pancingku dengan pertanyaan berat.

Kata orang-orang, Ucok hanya jebolan SMP. Tapi sekali dua kulihat dia membaca buku-buku tebal sewaktu menunggui warungnya. Entah buku apa, aku enggan bertanya.

Ini Jakarta, Bung, let it be his privacy, demikian pikirku. Ia pun tekun sholat lima waktu. Tak heran wajah kerasnya selalu teduh.

"Padahal menjadi profesional tidak berarti harus membungkam hati nurani. Biarkan hati ini bicara. Hal inilah yang mulai punah dewasa ini. Demi tuntutan devisa negara, kita bungkam hati nurani. Kita tak peduli dampaknya pada degradasi moral anak bangsa. Sayangnya budaya semacam ini sudah menular ke kalangan bawah. Atau justru budaya ini memang berakar dari bawah!" lanjutku dengan gaya khasku seperti saat rapat bersama teman-teman aktivis mahasiswa.

Ucok tertegun sejenak.

"Wah, itu terlalu tinggi, Lae. Aku hanya anak petani Deli. Pikiranku sederhana. Tidak seperti mahasiswa atau cendekiawan yang mengawang. Aku tidak seperti apa yang Mas Arya katakan. Apa tadi?" tanyanya.

"Membungkam hati nurani?" Ucok tersenyum sejenak. "Pada dasarnya kita semua berbuat karena terdorong oleh rasa cinta. Cinta yang menggelora yang menggairahkan kita untuk berbuat sesuatu. Jika cinta itu lenyap, sirna sudah kenikmatan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun