Â
Melajang, tulis M. Muhyidin dalam Dilarang Melajang (2006), secara filosofis dibedakan menjadi tiga yakni melajang karena sebab alamiah, melajang karena kehendak sendiri dan melajang karena terpaksa.
Apa maksudnya?
Melajang karena sebab alamiah adalah keadaan alami dalam kehidupan seorang manusia.
Bayi yang tumbuh menjadi bocah kemudian remaja memiliki keadaan, yang secara alamiah, melajang. Inilah kondisi melajang sebagai jembatan menuju kehidupan dewasa atau kehidupan berpasangan.
Sementara ketika seorang lelaki atau perempuan memahami kondisi melajang, dan ia sadar ia ingin melajang maka inilah yang disebut melajang karena kehendak sendiri.
Termasuk dalam kategori ini para biksu, biarawan atau pendeta yang mempraktikkan hidup selibat (tidak menikah selamanya) yang diyakini akan lebih mendekatkan diri mereka kepada Tuhan.
Di sisi lain, melajang karena keterpaksaan dibagi menjadi dua yakni melajang karena belum mampu menikah, dan memaksa diri sendiri melajang sebagai pilihan keadaan dengan segala konsekuensi logisnya.
Kisah Muawiyah bin Abu Sufyan, seorang tokoh pendiri Dinasti Umayyah dalam tarikh Islam pada abad 6-7 Masehi adalah contoh nyata tentang opsi kedua tersebut.
Dalam sebuah kitab klasik diceritakan sewaktu remaja Muawiyah bermimpi didatangi Rasulullah Nabi Muhammad SAW (Shalallahu 'Alaihi Wa sallam).