Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ustaz Radikal

14 November 2020   18:07 Diperbarui: 14 November 2020   20:35 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Muslim Radikal/Sumber: nu.or.id

Di kampung kecil itu, ada seorang ustaz muda yang baru pulang nyantren. Ustaz Hariz namanya. Lengkapnya Hariz Ridwan Saputra. Masih lajang, belum empat puluhan usianya.

Ia guru ngaji yang mengajarkan baca tulis Al-Qur'an di beranda rumahnya bakda Maghrib. Konsumen ilmunya tidak hanya anak-anak, remaja pun dihimpunnya dalam sebuah pengajian khusus. Termasuk juga untuk majelis taklim ibu-ibu dan pengajian bapak-bapak.

Ustaz Hariz punya kebiasaan jalan-jalan sore keliling kampung. Suatu kebiasaan unik yang tidak dimiliki para ustaz lainnya di kampung kecil itu.

Ditambah lagi, sering didapati ia ngobrol akrab dengan kumpulan ibu-ibu yang ngerumpi depan rumah saat jalan-jalan sore (JJS) itu. Demikian juga dengan kelompok preman kampung, abang becak dan penjual keliling yang sering disambanginya.

Namanya juga kampung kecil.

Apabila melayang sebuah kabar burung lantas ditangkap, dicerna dan dimuntahkan dalam kabar yang lebih bervariasi baik muatan maupun panjang cerita. Sementara Ustaz Hariz tetap bungkam, dugaan-dugaan sesat tentang kebiasaan unik sang ustaz menjadi lebih berbahaya daripada serangan virus korona.

Di saat sekumpulan warga mempergunjingkan Ustaz Hariz yang dianggap tidak pantas JJS sementara ia seorang pemuka agama, ada juga yang menuduhnya tebar pesona bahkan cari jodoh, sekelompok lain bersikeras membela sang ustaz.

"Siapa tahu Ustaz HRS cuma jalan-jalan cari angin. Dia kan perlu bersantai juga," ujar seorang warga. Serentak yang lain merenung, sibuk dengan alam pikiran masing-masing

Masalahnya ternyata tidak sesederhana dan seringan adu omongan. Juga tidak padam dengan diabaikannya isu itu oleh Ustaz Hariz yang tidak pernah berkomentar apa-apa. Yah, memang itu persoalan remeh temeh sebetulnya.

Namun kalangan muda yang bersimpati dengan isu yang menimpa Ustaz Hariz merasa mendapat peluang emas untuk melampiaskan gairah muda mereka. Gairah yang terbakar dengan bahan bakar beragam kesumpekan hidup mulai dari lapangan kerja yang langka, korupsi, belenggu tradisi kolot atau arogansi kekuasaan pejabat kampung.

"Ustaz HRS tokoh pendobrak! Dialah Satrio Piningit!" teriak para pemuda yang berdemonstrasi di sepanjang jalan kampung sambil membacakan dukungan bagi Ustaz Hariz.

Mereka ingin di lensa mata tiap orang ada gambaran bahwa Ustaz Hariz adalah lambang kaum pemuda, kaum pendobrak.

Dalam pandangan mereka, sesuatu yang baru pastilah pendobrak kemapanan. Dan mereka menginginkan Ustaz Hariz menjadi ikon tokoh pembaharu demi penyambung napas pergerakan mereka. Ustaz Hariz pun rutin mereka sambangi untuk berdiskusi hingga larut malam.

"Berjalan sendiri! Menentang arus. Patut dicurigai!" gugat sejumlah warga yang lain.

Parahnya, kelompok ini tidak sekadar bergunjing pengisi waktu. Tapi bahkan menghasut aparat pemerintah untuk menindak Ustaz Hariz.

"Dia menggerakkan para pemuda untuk berdemonstrasi, Pak! Ini jelas tindakan  mengacaukan stabilitas keamanan!"

"Tapi, mana buktinya?" tanya Pak Lurah yang kesal, waktu istirahat siangnya terganggu.

Orang-orang itu seenaknya merangsek masuk ruang kerjanya yang lupa terkunci. Untung saja salah seorang teman wanitanya sigap bersembunyi di balik sofa kantor.

"Apa Bapak tidak lihat tempo hari? Para pemuda tiba-tiba membara. Jalan-jalan keliling kampung sambil teriak-teriak. Persis demo-demo di kota!"

Orang yang berdiri terdepan itu kemudian menyambung dengan berbagai prediksinya tentang dampak aksi para pemuda tersebut. Panjang sekali uraiannya.

Pak Lurah melek. Sejak tadi ia merem. Lelah matanya melihat mulut lelaki berkumis lebat di depannya itu bergerak-bergerak nyerocos.

"Tidak ada korban jiwa atau dampak kerusakan kan?" tanya Pak Lurah enteng.

"Memang tidak ada, Pak. Tapi kali lain bakal ada. Percayalah, Pak!"

Pak Lurah tersentak. Ia menatap tajam. "Saudara kok yakin betul? Jangan-jangan Saudara sendiri otaknya. Hati-hati lho, saya ini pemerintah. Saudara bisa saya adukan ke polisi karena menghasut dan mengadakan gerakan mengganggu stabilitas keamanan!"

Si Kumis mengumpat jorok.

"Okelah kalau Bapak Lurah tidak percaya. Tapi ingat, Pak, justru Ustaz Hariz yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan kampung ini. Dia kan Muslim radikal!" Si Kumis menatap Pak tajam Lurah sebelum pamit.

"Permisi, Pak!"

Pak Lurah terpaku. Muslim radikal? Di benaknya terbayang berbagai peristiwa bom bunuh diri di berbagai media. Radikal. Teroris.

"Eh, Bung, tunggu dulu!"

Namun Si Kumis dan temannya sudah bergegas pergi dengan berang.

Pak Lurah  sigap menelepon ke sana kemari. Wajahnya tampak serius sekali.

Sementara itu si gadis manis di balik sofa sudah mulai kesemutan. Bahunya yang terbuka mulai gatal-gatal dirubung nyamuk. Ia diperintahkan menunggu kode dari Pak Lurah apabila situasi sudah aman. Namun Pak Lurah masih saja menelepon.

Keesokan harinya serombongan orang mendatangi rumah Ustaz Hariz.

Pak Lurah berjalan paling depan dikawal beberapa hansip bersenjatakan pentung kayu. Pandangan mereka tajam menyisir lokasi sekitar.

Warga yang ingin tahu datang berkerumun, merapat.

Hansip-hansip itu sigap menahan arus warga yang ingin menguping. Sepertinya di dalam sedang berlangsung pembicaraan penting. Beberapa polisi tampak sesekali melirik jam tangan.

Pak Lurah menatap Ustaz Hariz yang duduk tenang sambil memutar tasbih. Berzikir lamat-lamat. Ia masih menunggu jawaban dari pertanyaannya beberapa menit lalu. "Apakah Ustaz seorang Muslim radikal?"

Pak Lurah melirik arlojinya. Dua menit telah lewat. Dia mendehem. Lawan bicaranya tanggap akan isyarat tersebut.

"Begini, Pak Lurah," Ustaz Hariz akhirnya angkat suara. "Itu pertanyaan yang membingungkan.  Sampai sekarang saya belum paham benar arti radikal itu. Kalau Muslim, ya, saya tahu."

Telinga Pak Lurah terasa panas.

"Apakah Anda seorang Muslim radikal yang merencanakan gerakan terorisme yang mengacaukan stabilitas?" ulang tanyanya geram.

Ustaz Hariz tersenyum. "Itulah citra yang sengaja dibentuk pers Barat. Mereka selalu menuduhkan segala kerusuhan, peledakan dan kekacauan pada orang Islam. Fakta sebenarnya dipetibesikan. Saat mereka yang berbuat kekacauan, mereka bilang itu demi perdamaian dunia. Mungkin banyak juga orang kita yang terpengaruh. Hati orang susah dikira."

Pak Lurah mendengus. Geram.

Ustaz Hariz tersenyum lepas.

Ia menepuk bahu Pak Lurah yang tampak risih dengan tepukan tersebut. "Sudahlah, Mardi, tadi sekadar basa-basi kan? Kita ngomong hal yang lain saja ya? Aku capek mengikuti berita di media massa soal nasib umat Islam, Mardi."

 "Aku sekarang lurah, Hariz."

"Tapi namamu masih Sumardi kan? Teman kecilku dulu?" tukas sang ustaz ringan. "Silakan dicicipi ubi rebusnya. Biar sekarang kamu lurah, aku tahu kamu suka sekali ubi rebus," ujar Ustaz Hariz seraya menyodorkan sepiring ubi rebus yang masih mengepul.

Pak Lurah tidak tahan lagi. "Permisi, Hariz!" tegasnya.

Tiba-tiba masuk seorang hansip bergegas. Pak Lurah kaget.

"Heh, Mat! Mau apa kamu?!" hardik Pak Lurah yang merasa terlangkahi.

"Maaf, Pak Ustaz. Saya ada pertanyaan penting. Kenapa Pak Ustaz suka jalan-jalan tiap sore?" Si hansip bertanya dengan mimik serius.

Ia berharap jawaban Ustaz Hariz dapat meredakan ketegangan. Tapi harapannya tidak terkabul. Sebuah tangan berbulu lebat menarik bahu kurusnya ke belakang. Kasar.

"Bodoh! Itu bukan urusan kita!" umpat sang pemilik tangan, Pak Lurah. "Yang perlu kita tahu dia itu radikal atau tidak!"

Para tamu keluar dengan muka tidak puas. Wajah Pak Lurah kusut bukan kepalang.

Dua hansip yang mengiringi Pak Lurah berjalan dengan mulut terkatup. Namun mereka toh orang Indonesia. Mulut mereka terbuka ketika seorang bocah kecil menyambar tangan salah seorang hansip.

"Ada apa sih, Pak?" tanya Tulus, bocah kecil yang penasaran itu.

"Ustaz Hariz Muslim radikal!"

Singkat, sesingkat waktu yang diperlukan warga untuk mendapatkan berita terbaru. Sesingkat waktu yang diperlukan polisi untuk datang menjemput Ustaz Hariz pada keesokan harinya. Tepat tengah malam.

"Sayang ya. Padahal dia orang baik. Cuma dia guru ngaji yang mau ngumpul bareng kita ngobrol tiap sore. Ustaz lain mana mau!" bisik-bisik ibu-ibu rumah tangga dan wong cilik yang kerap disambangi Ustaz Hariz tiap sore.

Mereka kehilangan teman ngobrol yang tidak menggurui tapi mengingatkan untuk rajin sholat dan mengaji. Dia tidak bicara lain. Hanya itu.

Para pemuda pun lemah, impoten. Satrio Piningit mereka kini dipingit dalam bui. Revolusi kembali jadi mimpi.

Juwana berkacak pinggang. Dadanya dibusung-busungkan agar terkesan berwibawa. Telunjuknya yang kasar khas kuli bangunan mengarah pada Tulus, anaknya yang berusia sepuluh tahun.

"Dengar ya! Kalau Bapak lihat kamu masih main sama Ayat, anaknya Ustaz Hariz, awas ya!" ancamnya. Saat itu sudah seminggu lewat sejak Ustaz Hariz dibawa polisi. Ia belum juga kembali sampai saat ini.

"Memangnya kenapa sih, Pak?" protes Tulus.

"Begini, Ustaz Hariz itu Muslim radikal. Nonton berita tivi kan? Dia mencekoki keluarga dan murid-muridnya dengan ajaran itu. Bapak tidak mau kamu terpengaruh sama si Ayat. Bisa-bisa nanti kamu ditangkap polisi karena jadi teroris. Ikut-ikutan bikin bom!" jelas Juwana.

Tulus tercenung.

"Itu sebabnya bapak tidak ijinkan kamu ngaji sama dia!"

"Tapi, Pak, Pak Ustaz kan mengajarkan alif ba ta!" protes Tulus. Ia memang diam-diam ikut pengajian Ustaz Hariz.

"Kamu tahu apa sih tentang radikal?"

"Memangnya radikal itu apa sih, Pak?" Tulus balik bertanya. Ia benar-benar ingin tahu.

Juwana terkesiap. Ia beranjak meninggalkan Tulus sambil berkata, "Kamu masih kecil..."

Jakarta, 14 November 2020

Cerpen-cerpen lainnya:

1. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9f1335d541df29ba34bd23/episode-banjir-jakarta-lagi

2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fafa52d8ede4875bb6ff872/balada-remaja                                                              

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun