Keesokan harinya serombongan orang mendatangi rumah Ustaz Hariz.
Pak Lurah berjalan paling depan dikawal beberapa hansip bersenjatakan pentung kayu. Pandangan mereka tajam menyisir lokasi sekitar.
Warga yang ingin tahu datang berkerumun, merapat.
Hansip-hansip itu sigap menahan arus warga yang ingin menguping. Sepertinya di dalam sedang berlangsung pembicaraan penting. Beberapa polisi tampak sesekali melirik jam tangan.
Pak Lurah menatap Ustaz Hariz yang duduk tenang sambil memutar tasbih. Berzikir lamat-lamat. Ia masih menunggu jawaban dari pertanyaannya beberapa menit lalu. "Apakah Ustaz seorang Muslim radikal?"
Pak Lurah melirik arlojinya. Dua menit telah lewat. Dia mendehem. Lawan bicaranya tanggap akan isyarat tersebut.
"Begini, Pak Lurah," Ustaz Hariz akhirnya angkat suara. "Itu pertanyaan yang membingungkan. Â Sampai sekarang saya belum paham benar arti radikal itu. Kalau Muslim, ya, saya tahu."
Telinga Pak Lurah terasa panas.
"Apakah Anda seorang Muslim radikal yang merencanakan gerakan terorisme yang mengacaukan stabilitas?" ulang tanyanya geram.
Ustaz Hariz tersenyum. "Itulah citra yang sengaja dibentuk pers Barat. Mereka selalu menuduhkan segala kerusuhan, peledakan dan kekacauan pada orang Islam. Fakta sebenarnya dipetibesikan. Saat mereka yang berbuat kekacauan, mereka bilang itu demi perdamaian dunia. Mungkin banyak juga orang kita yang terpengaruh. Hati orang susah dikira."
Pak Lurah mendengus. Geram.