Ustaz Hariz tersenyum lepas.
Ia menepuk bahu Pak Lurah yang tampak risih dengan tepukan tersebut. "Sudahlah, Mardi, tadi sekadar basa-basi kan? Kita ngomong hal yang lain saja ya? Aku capek mengikuti berita di media massa soal nasib umat Islam, Mardi."
 "Aku sekarang lurah, Hariz."
"Tapi namamu masih Sumardi kan? Teman kecilku dulu?" tukas sang ustaz ringan. "Silakan dicicipi ubi rebusnya. Biar sekarang kamu lurah, aku tahu kamu suka sekali ubi rebus," ujar Ustaz Hariz seraya menyodorkan sepiring ubi rebus yang masih mengepul.
Pak Lurah tidak tahan lagi. "Permisi, Hariz!" tegasnya.
Tiba-tiba masuk seorang hansip bergegas. Pak Lurah kaget.
"Heh, Mat! Mau apa kamu?!" hardik Pak Lurah yang merasa terlangkahi.
"Maaf, Pak Ustaz. Saya ada pertanyaan penting. Kenapa Pak Ustaz suka jalan-jalan tiap sore?" Si hansip bertanya dengan mimik serius.
Ia berharap jawaban Ustaz Hariz dapat meredakan ketegangan. Tapi harapannya tidak terkabul. Sebuah tangan berbulu lebat menarik bahu kurusnya ke belakang. Kasar.
"Bodoh! Itu bukan urusan kita!" umpat sang pemilik tangan, Pak Lurah. "Yang perlu kita tahu dia itu radikal atau tidak!"
Para tamu keluar dengan muka tidak puas. Wajah Pak Lurah kusut bukan kepalang.