Dua hansip yang mengiringi Pak Lurah berjalan dengan mulut terkatup. Namun mereka toh orang Indonesia. Mulut mereka terbuka ketika seorang bocah kecil menyambar tangan salah seorang hansip.
"Ada apa sih, Pak?" tanya Tulus, bocah kecil yang penasaran itu.
"Ustaz Hariz Muslim radikal!"
Singkat, sesingkat waktu yang diperlukan warga untuk mendapatkan berita terbaru. Sesingkat waktu yang diperlukan polisi untuk datang menjemput Ustaz Hariz pada keesokan harinya. Tepat tengah malam.
"Sayang ya. Padahal dia orang baik. Cuma dia guru ngaji yang mau ngumpul bareng kita ngobrol tiap sore. Ustaz lain mana mau!" bisik-bisik ibu-ibu rumah tangga dan wong cilik yang kerap disambangi Ustaz Hariz tiap sore.
Mereka kehilangan teman ngobrol yang tidak menggurui tapi mengingatkan untuk rajin sholat dan mengaji. Dia tidak bicara lain. Hanya itu.
Para pemuda pun lemah, impoten. Satrio Piningit mereka kini dipingit dalam bui. Revolusi kembali jadi mimpi.
Juwana berkacak pinggang. Dadanya dibusung-busungkan agar terkesan berwibawa. Telunjuknya yang kasar khas kuli bangunan mengarah pada Tulus, anaknya yang berusia sepuluh tahun.
"Dengar ya! Kalau Bapak lihat kamu masih main sama Ayat, anaknya Ustaz Hariz, awas ya!" ancamnya. Saat itu sudah seminggu lewat sejak Ustaz Hariz dibawa polisi. Ia belum juga kembali sampai saat ini.
"Memangnya kenapa sih, Pak?" protes Tulus.
"Begini, Ustaz Hariz itu Muslim radikal. Nonton berita tivi kan? Dia mencekoki keluarga dan murid-muridnya dengan ajaran itu. Bapak tidak mau kamu terpengaruh sama si Ayat. Bisa-bisa nanti kamu ditangkap polisi karena jadi teroris. Ikut-ikutan bikin bom!" jelas Juwana.