"Tidak ada korban jiwa atau dampak kerusakan kan?" tanya Pak Lurah enteng.
"Memang tidak ada, Pak. Tapi kali lain bakal ada. Percayalah, Pak!"
Pak Lurah tersentak. Ia menatap tajam. "Saudara kok yakin betul? Jangan-jangan Saudara sendiri otaknya. Hati-hati lho, saya ini pemerintah. Saudara bisa saya adukan ke polisi karena menghasut dan mengadakan gerakan mengganggu stabilitas keamanan!"
Si Kumis mengumpat jorok.
"Okelah kalau Bapak Lurah tidak percaya. Tapi ingat, Pak, justru Ustaz Hariz yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan kampung ini. Dia kan Muslim radikal!" Si Kumis menatap Pak tajam Lurah sebelum pamit.
"Permisi, Pak!"
Pak Lurah terpaku. Muslim radikal? Di benaknya terbayang berbagai peristiwa bom bunuh diri di berbagai media. Radikal. Teroris.
"Eh, Bung, tunggu dulu!"
Namun Si Kumis dan temannya sudah bergegas pergi dengan berang.
Pak Lurah  sigap menelepon ke sana kemari. Wajahnya tampak serius sekali.
Sementara itu si gadis manis di balik sofa sudah mulai kesemutan. Bahunya yang terbuka mulai gatal-gatal dirubung nyamuk. Ia diperintahkan menunggu kode dari Pak Lurah apabila situasi sudah aman. Namun Pak Lurah masih saja menelepon.