Aargh!
Tapi akhirnya mereka jadi juga ketemuan. Di rumah makan Padang. Karena Arni menolak setengah mati diajak masuk ke lapo di sebelah terminal.
"Ah, mentel kali kau. Ya, sudahlah!" cetus Bang Jeki kesal ketika diajak masuk ke rumah makan Padang. Ini juga kompromi, batin Arni dalam hati, kan mereka masih bertetangga provinsi.Â
Sebetulnya Arni pingin makan botok teri di rumah makan Sunda. Tapi Sunda kan jauh dari Sumatera, pikirnya, nanti Bang Jeki bermasalah lagi. Yah, Arni mengalah demi cinta...
Cinta? Rasanya tidak juga. Selama kencan dengan Bang Jeki rasanya urat leher Arni tegang terus. Ia harus teriak-teriak ketika ngobrol dengan Bang Jeki. Gara-gara terbiasa hidup di terminal yang bising, Bang Jeki agak kurang pendengarannya.
Alhasil, saat mereka nonton di bioskop, para penonton yang lain pada protes. Mereka bilang Bang Jeki "mengganggu ketenangan".
"Apa pula ini?! Aku kan cuma berbisik, Ar!" Bang Jeki membela diri.
Nah, kalau mau dibilang cinta sejati, ya, cinta sejati Arni sebetulnya tertambat pada kumis tipis Kang Undang. Sang tukang kredit dari Garut. Ia yang paling ganteng dari ketiga pria yang menghiasi hati Arni. Orangnya juga sabar dan sopan. Royal pula.
Tiap bulan Arni dikasih sangu uang pulsa dan uang bedak. Kencan pertama mereka pun di sebuah kafe kopi waralaba internasional. Meski selanjutnya kembali ke warteg dan rumah makan Sunda. Namun kencan pertama itu sangat mengesankan sekaligus memalukan buat Arni.
"Akang sudah pingin nikah, Neng," ujar Kang Undang waktu itu. Usianya memang sudah lewat 30-an. Sambil menyeruput ice blended-nya, Arni mesem-mesem.Â
"Gimana, Neng?" lanjut Kang Undang dengan tatapan menyelidik.