Mohon tunggu...
Nurmalinda Davinly
Nurmalinda Davinly Mohon Tunggu... Guru - mujahidah tangguh

Jadi apa adanya diri tanpa membuat ia merasa terbeban

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terselip Sebuah Nama

20 April 2020   12:10 Diperbarui: 20 April 2020   12:26 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sang surya perlahan mengintip diantara gelombang-gelombang awan sore itu. Ia bersemai cantiknya pelangi yang menghiasi cakrawala sendu mengiringi kepergian hujan. Hingga surya akan digantikan dengan malam. Malam kian larut. 

Sebelum sampai di rumah, aku menyempatkan diri mampir ke sebuah Mini Market di sebuah komplek perumahan di Jalan Asrama di samping kantor Jurnalistik tak jauh dari rumah. Aku membeli peralatan untuk praktek pelajaran SBK besok. Aku adalah seorang gadis berusia 24 tahun, yang bekerja di sebuah Yayasan Pendidikan sebagai guru.

Sesampainya di rumah, kusempatkan diri terlebih dahulu untuk membersihkan badan sebelum melaksanakan ibadah wajib dan aktivitas yang rutin kukerjakan kala malam tiba.

Ditemani sebungkus keripik dan sebotol air putih, aku membaca novel kesukaanku yang selalu kutunggu update-tan ceritanya di aplikasi "Wattpad" androidku. Aku membaca sebuah  percakapan yang sama persis terjadi padaku. Kalimat itu  mengingatkanku pada awal percakapan kami. "Assalamualaikum...."

Keheningan malam itu terusik akibat bunyi dari ponsel yang ku letakkan di sisa-sisa lemari buku di samping tempat tidurku. Perlahan ku buka, ada sebuah notifikasi di aplikasi massanger. Atas nama Ahmad A. Dia menyapaku dengan salam. Aku mengerutkan keningku sambil mengingat siapa lelaki ini. Namanya tak terasa asing di telinga, namun aku harus memastikannya sebelum aku semakin penasaran. Karena tidak biasanya seperti ini.

Seketika itu juga terlintas dipikiranku tentang apa yang pernah temanku katakan dulu. "Nda, aku punya temen nih. Dia tampan, hafidz lagi" itu yang temanku katakan.

"Mana?" aku  melonggokan kepalaku  melihat foto yang  ia tunjukkan di sebuah akun sosmed. Ada sekumpulan lelaki yang  masih mengenakan seragam putih abu-abu dengan ekspresi cerianya sambil saling merangkul. Lalu ia menunjuk ke salah satu anak yang punya ekspresi datar di antara cerianya teman-temannya yang lain. "ini??" dia mengangguk. "Kok kayak serem gitu sih?", kataku.

"Udah ah, kamu payah. Ga jadi deh, ntar kamu suka pula".

"Yah... apaan". Ia pun berlalu.

Setelah temanku pergi, aku tambahkan pertemanan padanya. Dan mulai saat itu kami berteman di sosmed, hanya sebatas mengkonfirmasi, tidak ada percakapan sama sekali. Aku juga tidak berpikir akan lebih. Aku ingat saat itu Agustus 2012.

Dan sekarang aku mulai ingat, yang menyapaku ini adalah teman yang diceritakan temanku saat kuliah dulu. Dan saat ini sudah tahun ke-4. Percakapan baru di mulai, Agustus 2016. "Wa'alaikumsalam......", balasku.

Di sinilah kisah kami berawal. Dimulai dengan kalimat-kalimat perkenalan seperti layaknya orang-orang. Hingga percakapan-percakapan yang bersifat pribadi. Sedikit banyaknya aku tahu seperti apa dia ini. Dari cerita temanku ia adalah lelaki yang sholeh, sudah hafidz juga, dan sekarang bekerja di Pondok Pesantren tak jauh dari tempat tinggalku. 

Ia masih menempuh pendidikan disalah satu Universitas Swasta yang ada di sana. Dan aku pikir ini adalah perbincangan yang serius, apa mungkin ia sedang bermain-main sekarang?. 

Layaknya seorang lelaki yang sedang mengintrogasi seorang perempuan yang ingin ia jadikan sebagai calon istrinya. Wanita mana yang ga bawa perasaannya saat ada lelaki baik dan sholeh yang bertanya sampai ke hal-hal pribadi. Apalagi ini soal pernikahan. Perempuan yang berusia genap 24 tahun ini berharap akan ada seorang lelaki soleh yang melamarnya dan akan menikah tahun ini.            

"Sudah siap untuk menikah?"

"Sudah punya calon?"

Aku bukanlah perempuan ahli dalam percintaan. Tidak sama sekali. Kalau pun cinta, aku hanya bisa menyimpannya dalam hati dan doa. Bukan cinta sih, masih ku simpan dalam bentuk sebuah kekaguman. Berkumpul dengan orang-orang sholeh adalah tameng buatku untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran islam. 

Apalagi kini aku jauh dari orang tua, aku tak mendapat pantauan langsung dari mereka. Kalau bukan diri sendiri, siapa lagi yang akan melindungi. Allah. Dia pelindung terbaikku, tetapi harus dengan usahaku. Pacaran, adalah hal yang sangat ku hindari.

"insyaAllah sudah.."

"Belum, masih menunggu jodoh dari Allah".

***

Lagu yang dinyanyikan oleh Chanyeol (EXO) dan Punch (Stay With Me) tepat di samping telingaku yang begitu mengganggu membuatku terbangun. Aku meraihnya untuk memastikan bunyi notifikasi apa itu, ternyata itu alarm. Pukul 4 tepat. Yah.. aku memang selalu memasang alarm pada jam itu, karena aku harus bangun cepat untuk beres-beres dan pergi ke sekolah dipagi hari. 

Aku juga masih bisa melaksanakan sholat sunah 2 rakaat, alhamdulillah. Jarak yang begitu jauh membuatku harus pergi pukul 06.00 agar tidak terlambat ke sekolah. Perjalananku ke sekolah membutuhkan kurang lebih 45 menit dengan menggunakan sepeda motor.

"Mas, Nda pergi ya... Assalamu'alaikum". Izinku pada Mas ku. Itu adalah panggilan kami di keluarga kepada seorang abang. Karena sejak kuliah hingga sekarang aku tinggal bersamanya.

"Iya, hati-hati yah Nda..., Wa'alaikumsalam"

Lebih kurang 45 menit berlalu. Akhirnya kedua kaki ini sampai di depan sebuah gerbang yang di dalamnya terdapat halaman yang cukup luas dengan gedung berlantai 3 menjulang ke atas. Dengan derap langkah yang berirama, ku mulai memasuki lingkungan tempatku saling membagi ilmu dan pengalaman. 

Di sinilah tempatku bekerja. Tempat di mana aku bertemu dengan anak-anak yang harus aku didik agar menjadi sholeh, sholehah dan berkarakter. Di sini jugalah aku bertemu dengan teman-teman yang akan menjadi pelindung serta penasehat ketika aku sedang futur. "Halaqoh" ini salah satu wadahku untuk lebih mendekatkan diri  pada sang pemberi nikmat. Syukurku tiada henti. Alhamdulillah.

Rangkaian pesan itu berlanjut berhari-hari hingga berminggu-minggu kemudian. Sampai suatu ketika ia memintaku untuk mendoakannya. Ia akan mengikuti MTQ cabang Hifdzil Quran tingkat Universitas Muhammadiyah se-Indonesia di Jogja. 

Aku memintanya untuk mengirimkan satu foto kegiatan MTQ di sana. Tetapi tidak hanya satu, ada beberapa foto yang lain. Saat melihatnya, khayalanku terbang ke masa 6 tahun lalu saat aku mengikuti kegiatan yang sama. Aku rindu. 

"Wahh, Borobudur.....", kataku saat melihat salah satu tempat yang menjadi ciri khas kota itu. "Sudah lama banget pengen ke sana".

"Ya udah, nanti kita ke sana lagi yahh... *eh.. J".

"Eh... hehe".

"Alhamdulillah, saya mendapat juara harapan satu ukh". Sambil mengirimkan sebuah foto penghargaan berupa Medali bertuliskan "Juara Harapan I Cabang Hifdzil Quran 15 juz".

"Masya Allah, alhamdulillah...". jawabku singkat.

"Ini berkat doa kamu", katanya.

Deg.... berkat doaku?? Segitu besarkah peranku di sini?. Aku bingung, aku pikir kami belum begitu dekat. Tanpa sadar aku tersenyum.

Perbincangan panjang berlanjut. Pesan-pesan singkat selalu menjadi cara kami bercengkrama. Saling berbagi ilmu yang di semasing kami tak memiliki. Dan tak jarang hati ikut dalam perbincangan itu tanpa diketahui pemiliknya. Baru pertama kalinya aku bertemu dengan lelaki seperti dia. aku begitu nyaman. Kadang aku berharap dialah lelaki yang akan menjadi penyempurna agamaku nanti. Lalu terealisasi dalam untaian doa-doa yang kupanjatkan.

Astaghfirullah... bukankah ini salah? Aku terkadang memikirkan dia yang bukan mahramku. Ya.. ini buruk. Memikirkan seseorang yang bukan mahramnya adalah haram. Itulah kenapa aku butuh halaqoh, aku butuh berkumpul dengan mereka orang-orang yang sholehah, agar aku bisa membatasi diri. 

Hijrah itu memang sulit. Tidak seinstan memasak mie. Memasak mie saja butuh proses. Tetapi tidak semudah hijrah, akan banyak godaan disetiap langkah untuk menjadi lebih baik. Semenjak berada di lingkaran itu, segala tingkah laku  ku harus ku jaga. InsyaAllah istiqamah.

Ingatanku kembali melompat ke realita lain. Disebuah persimpangan di Jalan Flamboyan Raya, untuk pertama kalinya kami bertemu. Saat itu seluruh masyarakat Indonesia sedang merayakan miladnya negara ini. Ia meminta sebuah pertemuan. 

Aku terkejut, tak ku sangka keadaan ini akan terjadi. Inilah hal yang paling aku takutkan, dan tidak kusukai. Dia memintaku untuk membantunya mencari sebuah tempat pengobatan Gurah di daerah itu. Aku berpikir cukup lama untuk meng-iyakan. Setelah cukup lama berpikir, aku putuskan untuk membantunya kali ini.

"Saya udah di simpang akh", aku mengirimkan masangger padanya. Tak lama kemudian panggilan masuk dari sebuah nomor tak dikenal.

"Assalamualaikum.... ini saya, kamu pakai jilbab hijau dan motor mio ya?"

"Wa'alaikumsalam. Oh...enggak, saya pakai jilbab merah dan beat merah juga".

"Ohh... iya saya lihat". Lalu aku melihat ada seorang lelaki di depan sebuah toko melambaikan tangannya padaku. Sejenak aku melihat, dan aku tau itu dia. Akupun menghampirinya. Tak banyak yang terjadi, kami hanya sibuk mencari di mana alamat pengobatan itu. Sedikit perbincangan kecil yang tak luput dari gelak tawa.

Bertanya sana sini. Tetapi tak kunjung kami temukan. Tanpa kami sadari waktu sudah hampir malam, lalu kami putuskan untuk sudahi dan pulang. Kami berpisah di sebuah persimpangan dikarenakan rumah kami yang tidak searah. Dengan ucapan salam, kami berpisah.

"Terima kasih, sudah bantu saya hari ini, walaupun hasilnya nihil. Maaf ya merepotkan". Ucapnya seraya menyunggingkan senyum.

"Sama-sama, enggak kok". Ucapku

"Kita pisah di sini yah...Assalamu'alaikum".

Sambil mengangguk dan tersenyum aku menjawab, "Iya.. Wa'alaikumsalam".

***

Langit sore ini tidak secerah kemarin. Awannya membentuk gumpalan-gumpalan hitam yang menandakan hujan akan turun sebentar lagi. Aku suka senja, karena di saat itu langit seakan berbicara pada semua makhluk yang ada di bumi bahwa kita harus bersyukur kepada-Nya yang masih memberi kehidupan. 

Aku juga sangat suka hujan. Aku bisa berdoa sepuasnya. Rinainya bebas berjatuhan menyentuh bumi. Kalau hujan itu menumpahkan seluruh isinya secara cuma-cuma kepada bumi, berarti aku bisa mencintaimu tanpa syarat.

Hujan semakin deras, langit tidak menampakkan tanda bahwa hujan akan berhenti. Air itu tetap saja turun dengan derasnya. Genangan air di atas batu bersusun itu sudah hampir sedengkul orang dewasa. Kilat tak hentinya menimbulkan suara-suara yang menggelegar keras. Riuh. "ahh, sepertinya hujan tak akan berhenti..."

Aku memandang lurus melalui jendela kamarku, sambil melihat rinai hujan itu menghantam balkon dan menimbulkan nada-nada yang tak beraturan. Teringat saat itu sudah berminggu-minggu dan ku pikir ini udah lebih dari sebulan kami tidak berkomunikasi sejak pertemuan itu. Aku tidak tahu kenapa. Biasanya dia yang memulai terlebih dulu. Dia menghilang. Yah.... menghilang.

"Biasanya kalau dia orang yang sholeh setelah lihat kita kayak gini, dia bakal ngejauh. Kita kan bukan perempuan sembarangan yang bisa di dekat-dekatin sesukanya, ntar diem-diem dia dateng ke rumah deh buat ngelamar hehehe"

"Kalau jodoh gak akan pergi jauh-jauh kok"

"Doakan saja Nda, rayulah Dia sang pemilik. Minta pada-Nya sambil kita tetap memperbaiki diri agar menjadi pantas".

"Masih tetap kuselipkan namanya di doaku kok".

***

26 Maret 2017 lalu aku membaca sebuah postingan di akun sosmednya. "Menantikan apa yang selama ini dinantikan, akhirnya tiba juga. #walimatul'ursy", begitu katanya. Sejenak aku terdiam. Mengulang kembali setiap kata yang ia tulis. Lalu terhenti pada satu kata 'walimatul'ursy'. Aku merasakan ada yang berdesir berulang-ulang di dada. 

Seolah-olah oksigen ini menipis hingga menyulitkanku untuk bernapas. Buliran bening tak terbendung meluncur dari sudut-sudut mataku. Awalnya aku tak percaya, sampai saat dia memberikan pesan bahwa ia akan menikah besok lusa. Yah.... Dia akan menikah besok lusa, selasa 28 Maret 2017. Lelaki yang tak jarang namanya kuselipkan dalam doa-doaku ini ternyata bukanlah seseorang yang ditakdirkan untukku. 

Aku tidak ingin berlama-lama dalam keadaan seperti ini. Dia bukan milikku, aku tidak berhak atasnya. Aku akan mengikhlaskannya. Kehilangan memang awalnya menyesakkan, bahkan sangat menyesakkan. Tapi jika kita terus berusaha untuk ikhlas, dan tetap berprasangka baik pada-Nya hati akan  menjadi tenang.

"Allah tidak akan pernah mengingkari janjinya kok Nda, lelaki baik untuk wanita yang baik dan lelaki yang buruk untuk wanita yang buruk pula. Aku yakin kamu adalah perempuan yang baik, dan insya Allah lelaki yang baik akan segera menemuimu. Sabar ya...."

"Mungkin Allah tunjukkan padamu kalau dia adalah lelaki yang tak pantas untuk berdampingan denganmu, akan ada lelaki yang terbaik nanti. Pasti."

Jika aku tidak bertemu denganmu, aku tidak akan merindu. Jika aku tidak mengenalnya, aku tak akan memikirkannya. Jika saja kita tidak pernah bertemu, aku tidak harus menghilang. Jika aku tak begitu berharap, aku tak akan memiliki banyak kenangan. Jika kita tidak saling berhadapan, kita tidak pernah bersama. Jika aku tidak bertemu denganmu sama sekali.....

Kalau kata mereka bahwa dia bukanlah lelaki yang pantas untukku, tapi tidak denganku. Aku pikir akulah yang tak pantas untuknya. Dia adalah lelaki yang baik, sholeh,  juga berpendidikan. Mungkin kesholehahhan ku tidak pantas berdampingan dengan kesholehannya. Akulah yang harus lebih memperbaiki diri, memantaskan diri agar menjadi pantas.

 Pantas berdampingan dengan mereka yang sholeh. Terima kasih untukmu. Melaluimu aku lebih mencintai Al-Quran. Senang bisa mengenalmu. Semoga kau bahagia dengan kehidupan barumu, menjadi keluarga rabbani dan menciptakan generasi yang mencintai Al-Quran.

Pertemuan itu takdir, perpisahan itu pasti. Aku meyakini ketika Allah menyertai kita, pertemuan itu akan menjadi pasti. Pasti bertemu. Namun perpisahan akan tetap ada disetelahnya. 

Kita hanya perlu yakin saat menjalani sebuah proses untuk menuju pada tujuan yang baik. Belajar memahami bahwa tak semua keinginan bisa terpenuhi, tak semua harap bisa tercapai, barangkali hal itu akan menjadi obat tuk mencegah rasa kecewa dan sakit hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun