Mohon tunggu...
Nurmalinda Davinly
Nurmalinda Davinly Mohon Tunggu... Guru - mujahidah tangguh

Jadi apa adanya diri tanpa membuat ia merasa terbeban

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terselip Sebuah Nama

20 April 2020   12:10 Diperbarui: 20 April 2020   12:26 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ohh... iya saya lihat". Lalu aku melihat ada seorang lelaki di depan sebuah toko melambaikan tangannya padaku. Sejenak aku melihat, dan aku tau itu dia. Akupun menghampirinya. Tak banyak yang terjadi, kami hanya sibuk mencari di mana alamat pengobatan itu. Sedikit perbincangan kecil yang tak luput dari gelak tawa.

Bertanya sana sini. Tetapi tak kunjung kami temukan. Tanpa kami sadari waktu sudah hampir malam, lalu kami putuskan untuk sudahi dan pulang. Kami berpisah di sebuah persimpangan dikarenakan rumah kami yang tidak searah. Dengan ucapan salam, kami berpisah.

"Terima kasih, sudah bantu saya hari ini, walaupun hasilnya nihil. Maaf ya merepotkan". Ucapnya seraya menyunggingkan senyum.

"Sama-sama, enggak kok". Ucapku

"Kita pisah di sini yah...Assalamu'alaikum".

Sambil mengangguk dan tersenyum aku menjawab, "Iya.. Wa'alaikumsalam".

***

Langit sore ini tidak secerah kemarin. Awannya membentuk gumpalan-gumpalan hitam yang menandakan hujan akan turun sebentar lagi. Aku suka senja, karena di saat itu langit seakan berbicara pada semua makhluk yang ada di bumi bahwa kita harus bersyukur kepada-Nya yang masih memberi kehidupan. 

Aku juga sangat suka hujan. Aku bisa berdoa sepuasnya. Rinainya bebas berjatuhan menyentuh bumi. Kalau hujan itu menumpahkan seluruh isinya secara cuma-cuma kepada bumi, berarti aku bisa mencintaimu tanpa syarat.

Hujan semakin deras, langit tidak menampakkan tanda bahwa hujan akan berhenti. Air itu tetap saja turun dengan derasnya. Genangan air di atas batu bersusun itu sudah hampir sedengkul orang dewasa. Kilat tak hentinya menimbulkan suara-suara yang menggelegar keras. Riuh. "ahh, sepertinya hujan tak akan berhenti..."

Aku memandang lurus melalui jendela kamarku, sambil melihat rinai hujan itu menghantam balkon dan menimbulkan nada-nada yang tak beraturan. Teringat saat itu sudah berminggu-minggu dan ku pikir ini udah lebih dari sebulan kami tidak berkomunikasi sejak pertemuan itu. Aku tidak tahu kenapa. Biasanya dia yang memulai terlebih dulu. Dia menghilang. Yah.... menghilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun