"Masya Allah, alhamdulillah...". jawabku singkat.
"Ini berkat doa kamu", katanya.
Deg.... berkat doaku?? Segitu besarkah peranku di sini?. Aku bingung, aku pikir kami belum begitu dekat. Tanpa sadar aku tersenyum.
Perbincangan panjang berlanjut. Pesan-pesan singkat selalu menjadi cara kami bercengkrama. Saling berbagi ilmu yang di semasing kami tak memiliki. Dan tak jarang hati ikut dalam perbincangan itu tanpa diketahui pemiliknya. Baru pertama kalinya aku bertemu dengan lelaki seperti dia. aku begitu nyaman. Kadang aku berharap dialah lelaki yang akan menjadi penyempurna agamaku nanti. Lalu terealisasi dalam untaian doa-doa yang kupanjatkan.
Astaghfirullah... bukankah ini salah? Aku terkadang memikirkan dia yang bukan mahramku. Ya.. ini buruk. Memikirkan seseorang yang bukan mahramnya adalah haram. Itulah kenapa aku butuh halaqoh, aku butuh berkumpul dengan mereka orang-orang yang sholehah, agar aku bisa membatasi diri.Â
Hijrah itu memang sulit. Tidak seinstan memasak mie. Memasak mie saja butuh proses. Tetapi tidak semudah hijrah, akan banyak godaan disetiap langkah untuk menjadi lebih baik. Semenjak berada di lingkaran itu, segala tingkah laku  ku harus ku jaga. InsyaAllah istiqamah.
Ingatanku kembali melompat ke realita lain. Disebuah persimpangan di Jalan Flamboyan Raya, untuk pertama kalinya kami bertemu. Saat itu seluruh masyarakat Indonesia sedang merayakan miladnya negara ini. Ia meminta sebuah pertemuan.Â
Aku terkejut, tak ku sangka keadaan ini akan terjadi. Inilah hal yang paling aku takutkan, dan tidak kusukai. Dia memintaku untuk membantunya mencari sebuah tempat pengobatan Gurah di daerah itu. Aku berpikir cukup lama untuk meng-iyakan. Setelah cukup lama berpikir, aku putuskan untuk membantunya kali ini.
"Saya udah di simpang akh", aku mengirimkan masangger padanya. Tak lama kemudian panggilan masuk dari sebuah nomor tak dikenal.
"Assalamualaikum.... ini saya, kamu pakai jilbab hijau dan motor mio ya?"
"Wa'alaikumsalam. Oh...enggak, saya pakai jilbab merah dan beat merah juga".