Sesampainya di meja makan, Cita kaget mendapati semangkuk mi yang terlihat asing. Bahkan, sepanjang hidupnya yang hampir berusia dua puluh tahun, ia belum pernah melihat tampilan mi seaneh ini.
"Berhubung bumbunya terbatas, stok mi yang ada di dapur Abang olah kayak gini aja. Nggak apa-apa, kan, Dek? Abang dapat referensi dari salah satu komedian sekaligus youtuber yang suka mendaki gitu. Pas di gunung mana, Abang lupa, si komedian ini masak mi yang out of the box macam ini. Rasanya enak, kok, Dek. Abang udah nyicip tadi."
Penjelasan Catur membuat Cita ingin mencoba semangkuk mi buatan abangnya. Cita sungguh terharu karena sang abang masih hapal makanan yang bisa disantap. Gadis itu memang tidak bisa menyantap mi instan, karena lambungnya bermasalah, jadi kalau ingin menikmati kelezatan olahan mi, Cita harus bereksperimen dengan aneka resep yang ia dapat di internet.
"Bumbunya apa aja?" tanya Cita setelah menyicip sesuap mi buatan Catur.
"Bawang merah, bawang putih, cabai, santan, garam, penyedap rasa, gula, lada bubuk, terus kunyit bubuk. Itu doang, kok. Asal cemplung." Catur menjawab disertai dengan tawa.
Cita pun tersenyum simpul menanggapinya. Setelah itu, Cita fokus menghabiskan semangkuk mi yang kini tinggal sedikit.
"Dek, Abang mau bilang sesuatu, boleh? Ini penting buat kelangsungan hidup kita berdua."
Jantung Cita berdegup kencang mencerna kata demi kata yang Catur ucapkan. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus menerima kabar buruk lagi. Hatinya sudah telanjur porak-poranda selama beberapa bulan ini.
Apa lagi, Tuhan?
Langit sudah menguning. Keadaan sekeliling sudah makin senyap. Namun, Cita masih enggan beranjak. Pikiran dan hatinya sedang. bertarung kali ini.
"Apa aku sanggup?" bisik Cita resah.