Semenjak mendengar kabar penting dari Catur, semangat Cita makin mengendur. Bahkan, ia sendiri bingung harus bersikap seperti apa. Pasalnya, tawaran dari Catur lumayan menggiurkan. Namun, ia masih belum sanggup untuk meninggalkan kota ini.
"Mas diterima kerja, tapi lokasinya di luar kota. Mas nggak tega kalau harus ninggalin kamu sendirian di sini dalam kurun waktu yang lama, Dek. Mau, ya, ikut sama Mas?"
Hati Cita rasanya campur aduk. Meskipun, ia juga bisa sewaktu-waktu ke rumah ini, yang memang sampai kapan pun tidak akan pernah dijual.
"Aku pikir-pikir dulu," balas Cita dengan nada kelu.
Aku harus gimana, Tang?
Satu minggu berlalu, tetapi Cita belum mampu menentukan pilihan. Jujur, ia sangat bimbang.
Dengan langkah tergesa, Cita berjalan ke luar rumah untuk meminta pendapat Bintang perihal tawaran dari Catur untuknya. Namun, kakinya sontak tak mampu bergerak kala mendapati lelaki yang dituju sedang terlihat bahagia seorang perempuan cantik yang ia tidak tahu namanya. Tawa Bintang menggema hingga membuat Cita membeku. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui lelaki itu.
Hari-hari berikutnya terasa lebih sepi. Cita merasa tak memiliki semangat untuk sekadar berdiri. Apa lagi, saat ia mendapat kabar kalau Bintang sudah kembali ke kampus secara mendadak karena ada urusan organisasi.
Oleh karena itu, Cita mengambil keputusan untuk ikut dengan Catur tanpa berpikir panjang, "Aku mau ikut sama Abang."
Sesingkat itu, tetapi langsung membuat Catur semringah.
Tanpa menunda lebih lama, Catur segera mengajak Cita untuk berkemas karena malam nanti keduanya akan bertolak ke kota baru yang akan menjadi tempat tinggalnya nanti.