Dalam kehidupan ini manusia pastinya membutuhkan bahasa untuk mengekspresikan ide dan emosi mereka, berkomunikasi satu sama lain, dan bertukar informasi. Berbagai jenis ekspresi ini memerlukan penggunaan berbagai jenis tanda. Karena kehidupan manusia dipenuhi dengan tanda-tanda alami dan buatan, yang kesemuanya memiliki makna khusus sesuai dengan jenis interpretasi yang berbeda. Oleh karena itu, para ilmuwan harus berpikir serius tentang tanda-tanda itu dan mempelajari ciri-cirinya. Sebagai bapak semiotika, Ferdinand de Saussure dari Prancis dan Charles Sanders Peirce dari Amerika mengerjakan topik yang sama meskipun masing-masing dari mereka berada di negara yang berbeda, mereka didirikan untuk mempelajari tanda-tanda secara ilmiah.
Roland Barthes dalam hal ini mengembangkan pemahaman tentang teori semiotiknya. Roland Barthes, seorang penulis esai dan kritikus sastra sosial Prancis, yang lahir pada November 1915 di Prancis, dan meninggal pada Maret 1980. Ia belajar sastra klasik, tata bahasa, dan filologi di University of Paris. Ia adalah orang pertama yang menjabat sebagai ketua “Semiologi Sastra” di College of France pada tahun 1976. Tulisan-tulisannya adalah onsemiotika (Editor Britannica, 2021, Maret).
Kehadiran Barthes sebagai penulis berlanjut hingga hari ini dengan kekuatan dan kecerahan yang sama yang dibawa oleh wawasannya ke banyak aspek budaya, bahasa, seni, dan masyarakat. Pernyataan Barthes yang terkenal dalam Penulisan Derajat Nol bahwa – “Sastra adalah seperti fosfor: ia bersinar dengan kecemerlangan maksimumnya pada saat ia mencoba untuk mati” – ini telah menjadi metafora sebagai kekuatan intelektual: kecemerlangannya terus bersinar lama setelah kepunahan fananya.
Ilmu Semiotika
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, yakni “semeion” yang artinya tanda (sign). Semiotika merupakan ilmu yang mepelajari tentang tanda dan bagaimana tanda itu bekerja (Fiske, 2007). Sedangkan Preminger (dalam Sobur, 2009) berpendapat bahwa ilmu yang mempelajari tentang tanda disebut dengan semiotika. Fenomena sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat dapat dianggap sebagai suatu tanda. Semiotika mempelajari tentang sistem, aturan, dan kesepakatan yang memungkinkan suatu tanda dapat memiliki arti.
Sebagai suatu disiplin ilmu, semiotika secara resmi memiliki suatu perkumpulan ilmiah, yaitu International Association for Semiotic Studies (IAAS) yang didirikan sejak tahun 1969. Pada tahun 1988 didirikan Lembaga penelitian internasional tentang semiotika yaitu International Semiotics Institute yang berkedudukan di Kaunas University of Technology Lithuania.
Lembaga penelitian bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan semiotika dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Semiotika memiliki pengaruh yang sangat penting sejak empat dekade yang lalu (Piliang, 2003). Baik sebagai metode kajian (decoding) maupun juga sebagai metode penciptaan (encoding). Semiotika berkembang bersama dengan bidang keilmuan yang lain, menciptakan cabang-cabang semiotika seperti semiotika kedokteran (medical semiotics), semiotika binatang (zoo semiotics), semiotika sastra, semiotika arsitektur, semiotika film, semiotika fashion, dan sebagainya. Charles Sanders Peirce, yang dikenal sebagai salah seorang pencetus semiotika, menyatakan bahwa semiotika akan memiliki pengaruh dan berguna bagi pengembangan disiplin ilmu yang lain.
Pada awalnya semiotika lebih banyak dikenal dalam dunia sastra, kemudian berkembang dan bersentuhan dengan bidang keilmuan yang lain. Semiotika tidak hanya digunakan untuk mengkaji keilmuan dibidang sastra dan linguistik (Budiman, 1999). Namun juga dapat digunakan untuk mengkaji fenomena-fenomena lain di luar ilmu sastra dan linguistik. Beberapa negara seperti Prancis, Amerika, dan Jepang, telah menggunakan semiotika untuk mengkaji bidang keilmuan lain seperti arkeologi, antropologi, geografi, arsitektur, politik, komunikasi, pendidikan seni desain, dan juga merambah pada kajian-kajian bisnis dan ekonomi, akuntansi, manajemen,
hukum, periklanan, pariwisata, dan kesehatan.
Semiotika juga dapat berarti suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetepi juga mengkonstitusi sistem tersetruktur dari tanda (Barthes, 1988:179 dalam Kurniawan, 2001;53).
Menurut Barthes, semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal- hal (things). Memaknai, dalam hal ini tidak dapat disamakan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonsitusi struktur dari tanda. Barthes, dengan demikian melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi tidak terbatas pada bahasa, tetapi juga pada hal-hal lain di luar bahasa. Barthes menganggap kehidupan sosial, apapun bentuknya merupakan suatu sistem tanda tersendiri (Kurniawan, 2001: 53).
Teori semiotika Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure. Saussure melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitrakan oleh seseorang, bisa berupa gambar ataupun teks) dan makna (arti yang dipahami oleh seseorang terhadap tanda tersebut). Saussure mengunakan istilah penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda merupakan aspek material suatu tanda sedangkan petanda merupakan konsep mental atau arti suatu tanda. Sebagai contoh kata “bunga” merupakan penanda dari konseptual (petanda) tumbuhan yang memiliki
kelopak, tangkai, daun, berbau harum, dan elok warnanya (lihat gambar 1.2)
Hubungan Penanda (Signifier) dan Petanda (Signified)
Suatu tanda yang terdiri dari penanda dan petanda merupakan satu kesatuan, bagaikan sehelai kertas yang tidak dapat terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda bersifat arbitrary atau mana suka. Antara penanda dan petanda tidak memiliki hubungan logis yang pasti. Hal inilah yang membuat tanda menjadi menarik dan menimbulkan permasalahan pada saat yang sama (Berger, 1998:7-8)
Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Selanjutnya, (Barthes 1957, dalam de Saussure yang dikutip Sartini) menggunakan teori Signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah significant menjadi ekspresi (E)
dan signifie menjadi isi (C). Namun, Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu sehingga membentuk tanda (sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala meta-bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman.
Pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.
Semiotika merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang tanda, sistem tanda, dan bagaimana suatu tanda dapat menceritakan hal lain selain tanda itu sendiri (Gordon, 2002:14). Kita
Suatu tanda yang terdiri dari penanda dan petanda merupakan satu kesatuan, bagaikan sehelai kertas yang tidak dapat terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda bersifat arbitrary atau mana suka. Antara penanda dan petanda tidak memiliki hubungan logis yang pasti. Hal inilah yang membuat tanda menjadi menarik dan menimbulkan permasalahan pada saat yang sama (Berger, 1998:7-8)
Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Selanjutnya, (Barthes 1957, dalam de Saussure yang dikutip Sartini) menggunakan teori Signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah significant menjadi ekspresi (E)
dan signifie menjadi isi (C). Namun, Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu sehingga membentuk tanda (sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala meta-bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman.
Pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.
Semiotika merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang tanda, sistem tanda, dan bagaimana suatu tanda dapat menceritakan hal lain selain tanda itu sendiri (Gordon, 2002:14).
Tanda semiologis memungkinkan kita untuk meramalkan sifat tanda semiologis dalam kaitannya dengan tanda linguistik. Tanda semiologis juga merupakan gabungan dari penanda dan petanda (warna cahaya, misalnya, adalah perintah untuk bergerak, dalam Kode Jalan Raya), tetapi berbeda pada tingkat maknanya. Banyak sistem semiologis (objek, gerak tubuh, gambar bergambar) memiliki substansi ekspresi yang esensinya bukan untuk menandakan; seringkali, mereka adalah objek penggunaan sehari-hari, digunakan oleh masyarakat secara turunan, untuk menandakan sesuatu. Misalnya pakaian digunakan untuk perlindungan dan makanan untuk dimakan meskipun juga digunakan sebagai tanda.
Adanya usulan untuk menyebut tanda-tanda semiologis ini, yang asalnya utilitarian dan fungsional, sebagai fungsi tanda. Fungsi tanda menjadi saksi adanya gerakan ganda yang harus dibongkar. Pada tahap pertama (analisis ini murni operatif dan tidak menyiratkan temporalitas yang nyata) fungsi menjadi diliputi dengan makna. Ini semantisasi tak terelakkan: begitu ada masyarakat, setiap penggunaan diubah menjadi tanda itu sendiri; penggunaan jas hujan adalah untuk memberikan perlindungan dari hujan, tetapi penggunaan ini tidak dapat dipisahkan dari tanda-tanda situasi atmosfer. Karena masyarakat kita hanya memproduksi objek-objek yang distandarisasi dan dinormalisasi, objek-objek ini tidak dapat dihindarkan merupakan realisasi dari sebuah model, ujaran bahasa, substansi dari makna yang signifikan. Untuk menemukan kembali objek yang tidak menandakan, satu harus membayangkan alat yang benar-benar diimprovisasi dan tanpa kemiripan dengan model yang ada (Levi-Strauss telah menunjukkan sejauh mana mengutak-atik sendiri pencarian makna), yaitu sebuah hipotesis yang hampir tidak mungkin diverifikasi dalam masyarakat mana pun. Semantisasi universal dari penggunaan ini sangat penting.
Ia mengungkapkan fakta bahwa tidak ada realitas kecuali jika ia dapat dipahami, dan pada akhirnya harus mengarah pada penggabungan sosiologi dengan sosiologic. Tetapi begitu tanda terbentuk, masyarakat dapat memfungsikannya dengan sangat baik, dan membicarakannya seolah-olah tanda itu ada. Sebuah benda yang dibuat untuk digunakan, contoh mantel bulu akan digambarkan seolah-olah hanya berfungsi untuk melindungi dari dingin. Fungsionalisasi berulang ini, yang membutuhkan, agar ada, bahasa orde kedua, sama sekali tidak sama dengan fungsionalisasi pertama (dan memang benar-benar ideal). Karena fungsi yang diwakili sebenarnya sesuai dengan fungsi kedua (tersamar). Pelembagaan semantik, yang merupakan tatanan konotasi. Oleh karena itu, fungsi tanda memiliki (mungkin) nilai antropologis, karena itu adalah unit di mana hubungan teknis dan signifikan dijalin bersama.
Pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.
Semiotika merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang tanda, sistem tanda, dan bagaimana suatu tanda dapat menceritakan hal lain selain tanda itu sendiri (Gordon, 2002:14). Kita sering menjumpai berbagai macam tanda dalam kehidupan sehari-hari kita, misalnya: rambu lalu lintas, grafis, ekpresi wajah, teks, angka, penunjuk jalan, gejala alam dan sebagainya.
Tanda semiologis memungkinkan kita untuk meramalkan sifat tanda semiologis dalam kaitannya dengan tanda linguistik. Tanda semiologis juga merupakan gabungan dari penanda dan petanda (warna cahaya, misalnya, adalah perintah untuk bergerak, dalam Kode Jalan Raya), tetapi berbeda pada tingkat maknanya. Banyak sistem semiologis (objek, gerak tubuh, gambar bergambar) memiliki substansi ekspresi yang esensinya bukan untuk menandakan; seringkali, mereka adalah objek penggunaan sehari-hari, digunakan oleh masyarakat secara turunan, untuk menandakan sesuatu. Misalnya pakaian digunakan untuk perlindungan dan makanan untuk dimakan meskipun juga digunakan sebagai tanda.
Adanya usulan untuk menyebut tanda-tanda semiologis ini, yang asalnya utilitarian dan fungsional, sebagai fungsi tanda. Fungsi tanda menjadi saksi adanya gerakan ganda yang harus dibongkar. Pada tahap pertama (analisis ini murni operatif dan tidak menyiratkan temporalitas yang nyata) fungsi menjadi diliputi dengan makna. Ini semantisasi tak terelakkan: begitu ada masyarakat, setiap penggunaan diubah menjadi tanda itu sendiri; penggunaan jas hujan adalah untuk memberikan perlindungan dari hujan, tetapi penggunaan ini tidak dapat dipisahkan dari tanda-tanda situasi atmosfer. Karena masyarakat kita hanya memproduksi objek-objek yang distandarisasi dan dinormalisasi, objek-objek ini tidak dapat dihindarkan merupakan realisasi dari sebuah model, ujaran bahasa, substansi dari makna yang signifikan. Untuk menemukan kembali objek yang tidak menandakan, satu harus membayangkan alat yang benar-benar diimprovisasi dan tanpa kemiripan dengan model yang ada (Levi-Strauss telah menunjukkan sejauh mana mengutak-atik sendiri pencarian makna), yaitu sebuah hipotesis yang hampir tidak mungkin diverifikasi dalam masyarakat mana pun. Semantisasi universal dari penggunaan ini sangat penting:
Ia mengungkapkan fakta bahwa tidak ada realitas kecuali jika ia dapat dipahami, dan pada akhirnya harus mengarah pada penggabungan sosiologi dengan sosiologic. Tetapi begitu tanda terbentuk, masyarakat dapat memfungsikannya dengan sangat baik, dan membicarakannya seolah-olah tanda itu ada. Sebuah benda yang dibuat untuk digunakan, contoh mantel bulu akan digambarkan seolah-olah hanya berfungsi untuk melindungi dari dingin. Fungsionalisasi berulang ini, yang membutuhkan, agar ada, bahasa orde kedua, sama sekali tidak sama dengan fungsionalisasi pertama (dan memang benar-benar ideal). Karena fungsi yang diwakili sebenarnya sesuai dengan fungsi kedua (tersamar). Pelembagaan semantik, yang merupakan tatanan konotasi. Oleh karena itu, fungsi tanda memiliki (mungkin) nilai antropologis, karena itu adalah unit di mana hubungan teknis dan signifikan dijalin bersama.
Akuntansi merupakan alat komunikasi melalui tulisan sebagai pengganti komunikasi verbal antara manajer dengan pihak-pihak yang berada di luar perusahaan. Sebagai bahasa tulis, akuntansi adalah teks. Unsur-unsur yang yang tidak dapat dipisahkan dalam akuntansi sebagai bahasa adalah kerangka koseptual, standar akuntansi, dan laporan keuangan. Semua unsur tersebut adalah teks, sehingga dari perspektif semiotika, akuntansi merupakan kumpulan tanda (signs). Tanda tersebut dapat berupa kalimat, kata, atau angka (Fiol, 1989).
Akuntansi dapat disebut sebagai bahasa, karena akuntansi mempunyai ciri-ciri leksikal dan gramatikal (Belkaoui, 1980, 363). Dengan adanya kedua ciri tersebut, akuntansi dapat diartikan sebagai kumpulan simbol bahasa, baik teks maupun angka yang mereprensentasikan realitas tertentu.
Sehingga semiotika sebagai salah ilmu yang mengkaji tentang tanda dapat diterapkan dalam mengkaji bidang keilmuan akuntansi. Penggunaan teori dan metode semiotika yang digunakan untuk mengkaji fenomena tanda dalam bahasa dapat digunakan pula dalam meneliti fenomena tanda yang terdapat pada bidang akuntansi (Belkaoui, 1989).
Banyak penelitian telah dilakukan pada akuntansi menggunakan pendekatan semiotik. Contoh yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Fiol (1989), ia menggunakan teknik analisis teks untuk memeriksa surat CEO kepada para pemegang saham. Penelitian ini dilakukan karena mencerminkan keberadaan dan kekuatan batas-batas yang memisahkan subunit organisasi internal dan perusahaan dari lingkungan eksternal. Macintosh (2000) menggunakan teori semiotika Baudrillard untuk menyelidiki keadaan ontologis informasi dalam laporan akuntansi. Para peneliti menggunakan istilah Simulacrum, hyperreality, dan implosion untuk melacak perubahan historis dalam tanda-tanda atau simbol akuntansi.
Menurut Breton (2009), penggunaan analisis semiotik berfungsi untuk lebih memahami laporan tahunan. Semua berawal dengan gagasan bahwa laporan tahunan tersebut memberi informasi kepada pembaca. Hasilnya menunjukkan bahwa laporan tahunan dapat dikomunikasikan dengan jelas dan secara positif diajukan melalui pendekatan semiotika. Laporan tahunan benar-benar alat komunikasi dan membantu mengidentifikasi strategi komunikasi yang digunakan untuk membuat laporan tahunan. Davison (2011) menggunakan pendekatan semiotika Baltik untuk menguji komunikasi akuntansi. Akuntansi diwakili oleh simbol linguistik yang memiliki makna denotasi dan konotasi membuat gambaran dalam sebuah sampul depan laporan tahunan di sebuah firma akuntan besar Inggris.
Riduwan, Iwan, Gugus, dan Unti (2010) menggunakan pendekatan kritikal-posmodernis Derridean untuk menyelidiki tentang makna laba. Para peneliti melibatkan dua kelompok whistleblower: akuntan dan non-akuntan untuk menggunakan studi semiotika destruktif Derredian, para peneliti telah menunjukkan bahwa manfaat laba akuntansi adalah jejak yang berkaitan dengan pengalaman dan minat penafsir. Idealisme akuntansi lebih menonjol daripada praktisisme dalam menentukan keuntungan, karena keuntungan akuntansi adalah hasil dari logocentrism, yang menyajikan logika sebagai pusat kebenaran.
Mitos sebagai sistem semiologis
Untuk mitologi, merupakan salah satu fragmen dari ilmu tanda yang luas ini yang didalilkan Saussure sekitar empat puluh tahun yang lalu dengan nama semiologi. Semiologi belum terwujud. Tetapi karena Saussure sendiri, dan kadang-kadang terlepas dari dirinya, seluruh bagian penelitian kontemporer terus-menerus mengacu pada masalah makna: psikoanalisis, strukturalisme, psikologi eidetik, beberapa jenis kritik sastra baru yang telah diberikan Bachelard pertama kali. Contoh, tidak lagi peduli dengan fakta kecuali dengan signifikansi. Untuk mendalilkan sebuah penandaan berarti menggunakan semiologi. Semuanya adalah ilmu yang berhubungan dengan nilai, yaitu mendefinisikan dan menjelajahinya sebagai tanda untuk sesuatu yang lain.
Dalam mitos, kita menemukan kembali pola tiga dimensi yang baru saja saya uraikan: penanda, petanda dan tanda. Tetapi mitos adalah sistem yang aneh, karena ia dibangun dari rantai semiologis yang ada sebelumnya: ia adalah sistem semiologis tingkat kedua. Apa yang merupakan tanda (yaitu total asosiatif konsep dan citra) dalam sistem pertama, menjadi penanda belaka di sistem kedua.
Di sini kita harus ingat bahwa bahan-bahan pidato mitis (bahasa itu sendiri, fotografi, lukisan, poster, ritual, objek, dll.), berapapun berbeda pada awalnya, direduksi menjadi fungsi penandaan murni segera setelah mereka ditangkap oleh mitos. Mitos melihat di dalamnya hanya bahan mentah yang sama; kesatuan mereka adalah bahwa mereka semua turun ke status bahasa belaka. Apakah itu berkaitan dengan tulisan abjad atau bergambar, mitos ingin melihat di dalamnya hanya sejumlah tanda, tanda global, istilah terakhir dari rantai semiologis pertama. Dan justru suku terakhir inilah yang akan menjadi suku pertama dari sistem yang lebih besar yang dibangunnya dan yang hanya menjadi bagiannya. Semuanya terjadi seolah-olah mitos menggeser sistem formal dari penandaan pertama ke samping. Karena pergeseran lateral ini penting untuk analisis mitos, saya akan menyajikannya dengan cara berikut, tentu saja dipahami bahwa spasialisasi pola di sini hanyalah metafora.
Dalam semiologi, istilah ketiga tidak lain adalah asosiasi dari dua yang pertama, seperti yang kita lihat. Ini adalah satu-satunya yang diizinkan untuk dilihat secara penuh dan memuaskan, satu-satunya yang dikonsumsi dalam kenyataan yang sebenarnya. Saya menyebutnya: maknanya. Kita dapat melihat bahwa penandaan adalah mitos itu sendiri, sebagaimana tanda Saussurean adalah kata (atau lebih tepatnya unit konkrit). Tetapi sebelum mendaftar ciri-ciri penandaan, kita harus sedikit merenungkan cara pembuatannya, yaitu tentang cara-cara korelasi konsep mitis dan bentuk mitis. Pertama-tama kita harus mencatat bahwa dalam mitos, dua istilah pertama termanifestasi secara sempurna (tidak seperti apa yang terjadi dalam sistem semiologis lainnya): salah satunya tidak 'tersembunyi' di belakang yang lain, keduanya diberikan di sini (dan bukan satu di sini dan yang lain di sana). Betapapun paradoksnya tampaknya, mitos tidak menyembunyikan apa pun: fungsinya adalah untuk mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Tidak ada latensi konsep dalam kaitannya dengan bentuk: tidak ada kebutuhan ketidaksadaran untuk menjelaskan mitos.
Tentu saja, kita berurusan dengan dua jenis manifestasi yang berbeda: bentuk memiliki kehadiran langsung yang literal; apalagi diperpanjang. Ini berakar - ini tidak dapat diulang terlalu sering - dari sifat penanda mitos, yang sudah linguistik: karena dibentuk oleh makna yang sudah digariskan, itu hanya dapat muncul melalui substansi tertentu (sedangkan dalam bahasa, penanda tetap mental). Dalam kasus mitos lisan, ekstensi ini linier (untuk nama saya singa); dalam mitos visual, itu multidimensi (di tengah, seragam Negro, di atas, hitamnya wajahnya, di kiri, salut militer, dll.). Unsur-unsur bentuk karena itu terkait dengan tempat dan kedekatan: modus kehadiran bentuk spasial. Konsep, sebaliknya, muncul dalam mode global, itu adalah semacam nebula, kondensasi, kurang lebih kabur, dari pengetahuan tertentu. Elemen-elemennya dihubungkan oleh hubungan asosiatif: tidak didukung oleh ekstensi tetapi oleh kedalaman (walaupun metafora ini mungkin masih terlalu spasial): modus kehadirannya adalah memorial. Relasi yang menyatukan konsep mitos dengan maknanya pada hakikatnya adalah relasi deformasi.
Nature of the signified: Dalam linguistik, sifat petanda telah memunculkan diskusi-diskusi yang terutama berpusat pada tingkat 'realitasnya'; semua setuju, bagaimanapun, dalam menekankan fakta petanda bukanlah 'sesuatu' tetapi representasi mental dari 'benda'. Kita telah melihat bahwa dalam definisi tanda oleh Wallon, karakter perwakilan ini adalah fitur yang relevan dari tanda dan simbol (sebagai lawan dari indeks dan sinyal). Saussure sendiri telah dengan jelas menandai sifat mental petanda dengan menyebutnya sebagai konsep: petanda dari kata lembu bukanlah lembu hewan, tetapi citra mentalnya (ini akan terbukti penting dalam diskusi selanjutnya tentang sifat tanda).
Nature of the signifier: Sifat penanda menyarankan pernyataan yang kira-kira sama dengan yang ditandai: itu adalah murni re1atum, yang definisinya tidak dapat dipisahkan dari yang ditandai. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa penanda adalah mediator: beberapa hal diperlukan untuk itu. Tetapi di satu sisi itu tidak cukup untuk itu, dan di sisi lain, dalam semiologi, penanda dapat juga disampaikan oleh suatu hal tertentu: yaitu kata-kata. Materialitas penanda ini membuatnya sekali lagi perlu untuk membedakan dengan jelas materi dari substansi: suatu substansi bisa menjadi immaterial (dalam hal substansi konten); oleh karena itu, yang dapat dikatakan hanyalah bahwa substansi penanda selalu material (suara, objek, gambar). Dalam semiologi, di mana kita harus berurusan dengan sistem campuran di mana berbagai jenis materi terlibat (suara dan gambar, objek dan tulisan, dll.), mungkin tepat untuk mengumpulkan semua tanda, sejauh mereka ditanggung oleh satu hal yang sama, di bawah konsep tanda khas : tanda verbal, tanda grafis, tanda ikonik, tanda gestural semuanya adalah tanda khas.
Metode semiotika yang digunakan pada penelitian ini adalah semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes, atau disebut dengan semiotika Barthesian. Roland Barthes menekankan interaksi antara tanda dengan pengalaman individu dan budaya penggunanya, hubungan antara hasil kesepakatan dalam teks dengan kesepakatan yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes tentang sistem pertandaan ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup dua hal yakni denotatif dankonotasi.
Roland Barthes merupakan salah satu pemikir strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiotika Saussurean. Barthes berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang
menggambarkan asumsi-asumsi dari suatu kelompok masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu. Barthes menganggap bahwa pembaca (the reader) memiliki peran yang penting dalam mempelajari tentang tanda.
Lahirnya konotasi dalam sistem pertandaan membutuhkan peran aktif pembaca agar dapat menghasilkan makna yang berarti. Secara Panjang lebar, Barthes membahas apa yang sering disebut sebagai system pemaknaan tataran kedua (two order significations) yang merupakan hasil konstruksi sistem lain yang sudah ada sebelumnya. Berikut model semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes.
Makna denotatif merupakan makna objektif atau makna umum yang sudah menjadi kesepatakan bersama. Hubungan antara penanda dan petandanya memiliki tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Denotatif adalah apa yang digambarkan terhadap subjek sedangkan konotasi mempunyai nilai subyektif atau intersubyektif. Konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pada signifkasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah
semiotika tingkat dua, teori mitos di kembangkan Barthes untuk melakukan terhadap ideologi budaya massa (Sunardi, 2007). Sementara itu, dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi digunakan untuk menjelaskan bagaimana suatu tanda bekerja dan memeliki makna tertentu. Konotasi menggambarkan hubungan ketika tanda bertemu dengan pengalaman dan nilai-nilai kultural pengguna tanda tersebut. Makna berkembang menjadi subjektif dan intersubjektif. Terjadinya konotasi disebabkan karena adanya pengaruh penafsir dan tanda lainnya.
Makna konotatif lebih bersifat subjektif, dalam arti bahwa terdapat pergeseran dari makna pada umumnya (denotatif) karena adanya penambahan rasa dan nilai tertentu. Sedangkan makna denotatif merupakan makna yang hampir semua orang mengerti artinya. Makna konotatif biasanya ini hanya bisa dipahami oleh kelompok masyarakat tertentu yang jumlahnya relatif lebih sedikit. Sebuah tanda mempunyai makna konotatif apabila tanda tersebut memiliki makna lain, baik positif maupun negatif.
Seorang peneliti harus memahami unsur-unsur tanda untuk mengungkap makna konotatif suatu tanda.
Hubungan antara unsur-unsur tanda dalam sebuah totalitas dan menghubungkannya dengan nilai budaya dalam suatu masyarakat. Suatu mitos dalam sistem pertandaan dapat dideteksi dengan menggunakan ciri-ciri mitos yang ditulis oleh Roland Barthes dalam bukunya yang berjudul Mythologies (Barthes, 1957), yakni:
- The Inoculation
Menerima sedikit "kejelekan" dalam satu institusi sehingga menyingkirkan kesadaran tentang adanya masalah yang lebih mendasar. Misalnya oknum anggota DPRD terlibat kasus korupsi. - The Privation of History
Mengabaikan makna sejarah yang sebenarnya. Berusaha mewujudkan identitas baru dengan meninggalkan sejarah masa lalu. Contoh: Menuju era baru yang lebih maju. - Tautology
Merupakan suatu pernyataan yang sudah menjadi kebiasaan dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Isi dari sebuah pernyataan direduksi ke dalam sebuah tampilan. Contoh: kalimat
“ya, sudah begitu dari sananya”, “Lali jenenge eling rasane”,
“Percayalah apa yang dikatakan...”. Contoh lainnya adalah suatu
pernyataan tanpa makna seperti “Mignight's Summer Dream”
karya Shakespere” yang tidak memiliki makna apapun selain prestise karena terdapat nama William Shakespere. - Neither-norism
Suatu tindakan yang tidak memihak atau tidak berani memilih, dan menganut opini pada posisi di tengah. Contoh: Golput, Gerakan Non Blok, Demokrasi, Multiparadigma dan sebagainya. - The Quatification of quality
Mereduksi kualitas ke dalam kuantitas. Semua perilaku manusia, dan realitas sosial direduksi menjadi nilai kuantitas. Contoh: Angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi. - Identification
Mereduksi perbedaan atau ciri khas yang menjadi identitas
dasar. Contoh: sarung identik dengan kaum santri, “Orang pintar minum...”, semua agama sama, dan sebagainya. - The statement of fact
Suatu kebiasaan yang sudah menjadi pendapat umum, segala sesuatu tidak lebih dari penampakannya. Contoh:
“Anggaran harus pro rakyat”.
Contoh bagaimana suatu tanda berkembang dari makna denotatif, konotatif sampai menjadi mitos adalah kata “bunga”. Ketika kita mendengar kata “bunga” untuk pertama kalinya maka pikiran pikiran kita akan membayangkan suatu konsep tentang tumbuhan yang memiliki kelopak, tangkai, daun, berwarna-warni, dan harum baunya. Ini yang disebut dengan
makna denotatif, yakni makna yang sudah menjadi kesepakatan pada umumnya. Makna bunga dapat berkembang menjadi makna konotatif.
Ketika kata tersebut berinteraksi dengan penanda yang lain. Sebagai contoh, Ketika kata “bunga” di hubungakan dengan dunia per-bank-an, maka yang muncul pertama kali ketika mendengar kata “bunga” adalah sejumlah uang sebagai bentuk balas jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabah karena kita membeli produk jasa mereka. Atau sebaliknya yakni sejumlah uang yang yang harus dibayarkan kepada bank sebagai bentuk balas jasa karena seseorang memiliki pinjaman di bank.
Makna lain dari “bunga” ketika dihubungkan dengan seseorang yang sedang jatuh cinta adalah sebagai bentuk kasih sayang dan keromantisan.
Makna konotatif ini dari suatu tanda muncul kareana hubungannya dengan pengalaman personal dan budaya penggunanya. Makna konotatif dari kata “bunga” ini dapat berkembang menjadi sebuah mitos, yakni bunga merupakan simbol cinta, perdamaian dan wujud kasih sayang. Sebagai contoh seorang membawa bunga untuk mewujudkan rasa simpati terhadap korban kekerasan atau peperangan. Mitos “bunga” sebagai tanda kasih sayang tentunya tidak berlaku bagi masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa. Budaya „nyekar‟1 bagi masyarakat di pedesaan biasanya dikuti dengan membawa bunga yang akan ditaburkan di tanah makam. “Bunga” bagi masyakat di pedesaan identik dengan kesakralan dari pada bentuk kasih sayang. Perbedaan makna “bunga” ini di pengaruhi oleh hubungannya dengan pengalaman pribadi dan nilai budaya setempat.
Klasifikasi tanda: petanda dan penanda, dalam terminologi Saussurean, adalah komponen dari tanda. Sekarang istilah ini, tanda, yang ditemukan dalam kosakata yang sangat berbeda (dari teologi hingga kedokteran), dan yang sejarahnya sangat kaya (running from the Gospels28 to cybernetics), karena alasan ini sangat ambigu; jadi sebelum kita kembali ke penerimaan Saussurean terhadap kata tersebut, kita harus mengatakan sepatah kata pun tentang bidang gagasan di mana ia menempati tempat, meskipun tidak tepat, seperti yang akan terlihat. Sebab, menurut pilihan sewenang-wenang dari berbagai penulis, tanda ditempatkan dalam serangkaian istilah yang: memiliki kesamaan dan ketidaksamaan dengannya: sinyal, indeks, ikon, simbol, alegori, adalah saingan utama tanda.
Value in linguistics: bahwa memperlakukan tanda 'dalam dirinya sendiri', sebagai satu-satunya penghubung antara penanda dan petanda, adalah abstraksi yang cukup arbitrer (walaupun tak terhindarkan). Sebagai kesimpulan, kita harus menangani tanda, tidak lagi melalui 'komposisinya', tetapi dari 'pengaturannya': ini adalah masalah nilai. Saussure tidak melihat pentingnya gagasan ini pada awalnya, tetapi bahkan pada kursus keduanya dalam Linguistik Umum, ia semakin berkonsentrasi padanya, dan nilai menjadi konsep penting baginya, dan akhirnya lebih penting daripada makna (dengan yang tidak ko-ekstensif). Nilai memiliki hubungan yang erat dengan pengertian bahasa (sebagai lawan bicara); efeknya adalah untuk menghilangkan psikologi linguistik dan membawanya lebih dekat ke ekonomi; karena itu merupakan pusat dari garis structural guistik. Dalam kebanyakan ilmu, Saussure mengamati, tidak ada koeksistensi sinkroni dan diakroni.
The significant correlation: Tanda adalah sepotong (bermuka dua) dari kemerduan, visualitas, dll. Signifikasi dapat dipahami sebagai suatu proses; itu adalah tindakan yang mengikat penanda dan petanda, tindakan yang produknya adalah tanda. Pembedaan ini tentu saja hanya memiliki nilai pengklasifikasian (dan bukan fenomenologis): pertama, karena penyatuan penanda dan petanda, sebagai kita akan lihat, tidak menghabiskan tindakan semantik, karena tanda memperoleh nilainya juga dari lingkungannya; kedua, karena, mungkin, pikiran tidak proceed, dalam proses semantik, dengan konjungsi tetapi dengan ukiran. Dan memang pemaknaan (semiosis) tidak menyatukan entitas sepihak, itu tidak menyatukan dua istilah, untuk alasan yang sangat baik bahwa penanda dan petanda keduanya sekaligus merupakan istilah dan relasi.
Pertama-tama menyatakan elemen yang umum untuk semua istilah ini: mereka semua pasti merujuk kita pada hubungan antara dua relata. Oleh karena itu, fitur ini tidak dapat digunakan untuk membedakan salah satu suku dalam deret tersebut; untuk menemukan variasi makna, kita harus menggunakan fitur lain, yang akan dinyatakan di sini dalam bentuk alternatif (ada/tidak adanya):
- relasi menyiratkan, atau tidak menyiratkan, representasi mental dari salah satu relata;
- hubungan itu menyiratkan. atau tidak menyiratkan, analogi menjadi hubungan itu menyiratkan. atau tidak menyiratkan, analogi antara relata;
- hubungan antara dua relata (stimulus dan responnya) bersifat langsung atau bukan;
- relata persis bertepatan atau. sebaliknya. satu mengalahkan yang lain; v) hubungan itu menyiratkan. atau tidak menyiratkan. koneksi eksistensial 'dengan pengguna. Apakah fitur ini positif atau negatif (ditandai atau tidak).
Setiap istilah di lapangan pasti dibedakan. Harus ditambahkan bahwa distribusi bidang bervariasi dari satu penulis ke penulis lain. fakta yang menghasilkan kontradiksi terminologis; ini akan mudah dilihat sekilas dari tabel kejadian fitur dan istilah dalam empat penulis yang berbeda: Hegel. Peirce. Jung dan Wallon (referensi untuk beberapa fitur. apakah ditandai atau tidak. mungkin tidak ada di beberapa penulis). Kita melihat bahwa mengandung kontradiksi terminologis dasarnya pada indeks (untuk Peirce. indeks ada sial. untuk Wallon. bukan) dan pada simbol (untuk Hegel dan Wallon ada hubungan analogi - atau dari 'motivasi' - antara dua relasi simbol. tapi ' tidak untuk Pierce; lebih-lebih lagi. untuk Pierce. simbol tidak eksistensial. sedangkan untuk Jung).
Tapi dapat kita lihat juga bahwa kontradiksi ini - yang dalam tabel ini dibaca secara vertikal - dijelaskan dengan sangat baik. atau lebih tepatnya. bahwa mereka saling mengimbangi melalui transfer makna dari istilah ke istilah yang sama pengarang. Transfer ini di sini dapat dibaca secara horizontal: misalnya simbolnya analogis di Hegel sebagai op berpose untuk tanda yang tidak; dan jika tidak di Pierce. Itu karena ikon dapat menyerap fitur itu. Semua ini berarti. menyimpulkan dan berbicara dalam istilah semiologis (inilah inti dari analisis singkat ini yang mencerminkan, seperti cermin, subjek dan metode penelitian kami). Bahwa kata-kata di lapangan berasal dari mereka makna hanya dari oposisi mereka satu sama lain (biasanya berpasangan), dan jika oposisi ini dipertahankan, artinya tidak ambigu. Secara khusus, sinyal dan indeks, simbol dan tanda, adalah istilah dari dua fungsi yang berbeda, yang dengan sendirinya dapat ditentang secara keseluruhan, seperti yang mereka lakukan di Wallon, yang terminologinya paling jelas dan paling lengkap (ikon dan alegori terbatas pada kosakata Pierce dan Jung). Oleh karena itu kami akan mengatakan, dengan Wallon, bahwa sinyal dan indeks membentuk kelompok relata tanpa representasi mental, sedangkan dalam kelompok yang berlawanan, yaitu simbol dan tanda, representasi ini ada: selanjutnya, sinyal bersifat langsung dan eksistensial, sedangkan indeks tidak (itu hanya jejak); akhirnya, bahwa dalam simbol representasinya analogis dan tidak memadai (Kristen 'mengalahkan' salib), sedangkan dalam tanda hubungannya tidak termotivasi dan tepat (tidak ada analogi antara kata lembu dan gambar lembu, yang sempurna ditutupi oleh relatumnya).
Dalam laporan laba-rugi, laba akuntansi memang telah disajikan dan dihitung secara sistematis dengan mengklasifikasikan penghasilan dan beban sedemikian rupa sehingga dapat dihasilkan bermacam-macam angka laba, misalnya laba kotor, laba operasi, laba sebelum pos luar biasa, laba bersih sebelum pajak, dan laba bersih setelah pajak. Walaupun demikian, makna angka laba pada berbagai tingkatan tersebut tidak serta-merta menjadi jelas dalam persepsi pembaca laporan keuangan, kecuali makna dalam tataran sintaktik, yaitu bagaimana cara laba dihitung. Sesuai dengan asas akrual, bermacam-macam angka laba tersebut tidak selalu merujuk pada aliran kas masuk neto dalam periode pelaporan, karena aliran kas tersebut mungkin sudah teijadi pada periode sebelumnya, masih akan tefrjadi pada periode mendatang, atau bahkan sama sekali tidak merujuk pada aliran kas.
Seperti dikatakan oleh seorang informan (Sari Kusuma - akuntan publik), bahwa sebelum berakhir dengan munculnya label laba, perubahan aset dan kewajiban lebih dulu diberi label "penghasilan" dan label "beban". Label laba baru muncul setelah label penghasilan dipertemukan dengan label beban, yang dalam akuntansi disebut penandingan (matching). Saat ini simbol-simbol akuntansi yang merupakan hasil simulasi makin banyak, sehingga pada akhirnya symbol laba akuntansi pun menjadi simulakra murnii, menjadi tidak ada sesuatu di luar teks. Karena tidak ada sesuatu “di luar teks, maka makna laba akuntansi pun menjadi intertekstual, atau secara lebih spesifik laba akuntansi adalah jejak .
Karena pembaca laporan keuangan tidak dapat menemukan realitas faktual yang direpresentasikan oleh laba akuntansi di luar teks, maka makna laba akuntansi menyebar sesuai dengan pengalaman dan kepentingan masing-masing penafsir.
Tugas penyusun laporan keuangan adalah memberikan informasi dan mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Misalnya Aktiva, utang, modal, pendapatan, dan laba adalah symbol dari skala perusahaan, kedudukan sebagai perusahan kecil, menangah, atau perusahaan besar. Demikian juga produksi teks laporan keuangan akan menghasilkan status nama sebagai perusahaan berkinerja perusahaan atau perusahaan pailit yang digambarkan dalam symbol penghargan dan pengakuan dari stakeholders. Terdapat symbol lain berupa tipe kemampuan keuangan perusahaan di ukur dengan rasio misalnya Liquidity Ratio, Activity Ratio, Leverage {Debt} Ratio, Profitability Ratio. Implikasi berikutnya secara semotik laporan keuangan klien (auditee) adalah terjadinya kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan lahirnya satu diskursus. Di sini menunjukkan hubungan antara diskursus ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Diskursus ilmu pengetahuan yang hendak menemukan yang benar dan yang palsu pada dasarnya dimotori oleh kehendak untuk berkuasa (will to power).
Ilmu pengetahuan dilaksanakan untuk menetapkan apa yang benar dan mengeliminasi apa yang dipandang palsu. Di sini menjadi jelas kehendak untuk kebenaran adalah ungkapan dari kehendak untuk berkuasa. Tidak mungkin pengetahuan itu netral dan murni. Di sini selalu terjadi korelasi yaitu pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan. Penjelasan ilmiah yang satu berusaha menguasai dengan menyingkirkan penjelasan ilmu yang lain. Selain itu, ilmu pengetahuan yang terwujud dalam teknologi digunakan memaksakan sesuatu pada manusia. Karena dalam zaman teknologi tinggi pun sebenarnya tetap ada pemaksanaan, maka kita tidak dapat berbicara tentang kemajuan peradaban. Yang terjadi hanyalah pergeseran instrumen yang dipakai untuk memaksa. Laporan keuangan auditee adalah ekspresi pemilik modal (kapitalisme) sebagai penguasa untuk menerapkan kekuasaannya mengalienasi pihak dalam tata kelola.
Referensi:
Roland-Barthes, (1988). Mythologies.
Roland-Barthes, (1957). Elements of Semiology.
Apollo. (2022). Semiotika Roland Barthes.
https://www.kompasiana.com/balawadayu/61e0350080a65a018e11a372/semiotika-roland-barthes?page=all#section2.
Norman B. Macintosh, (2002). A Linguistic Approach To Understanding Accounting: A “Wild Card” Possibility. Queen's University, Kingston, Canada.
Sara Hatem Jadou, Iman M. M. Muwafaq Al Ghabr, (2021). Barthes' Semiotic Theory and Interpretation of Signs. Iraq.
http://doi.org/10.37648/ijrssh.v11i03.027
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H