Mohon tunggu...
Nurkholifah Rifani
Nurkholifah Rifani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Akuntansi Universitas Mercu BuanaDosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 43220010058 NURKHOLIFAH RIFANI Universitas Mercu Buana Jakarta - be grateful

Nurkholifah Rifani (43220010058) - Mata Kuliah Teori Akuntansi - Dosen Pengampu Apollo, Prof, Dr, M.Si.Ak - Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2__Teori Akuntansi Pendekatan Semiotika Roland-Barthes

24 Mei 2022   01:16 Diperbarui: 24 Mei 2022   02:25 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1.1 (Dokumentasi Pribadi)

Ketika kata tersebut berinteraksi dengan penanda yang lain. Sebagai contoh, Ketika kata “bunga” di hubungakan dengan dunia per-bank-an, maka yang muncul pertama kali ketika mendengar kata “bunga” adalah sejumlah uang sebagai bentuk balas jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabah karena kita membeli produk jasa mereka. Atau sebaliknya yakni sejumlah uang yang yang harus dibayarkan kepada bank sebagai bentuk balas jasa karena seseorang memiliki pinjaman di bank.
Makna lain dari “bunga” ketika dihubungkan dengan seseorang yang sedang jatuh cinta adalah sebagai bentuk kasih sayang dan keromantisan. 

Makna konotatif ini dari suatu tanda muncul kareana hubungannya dengan pengalaman personal dan budaya penggunanya. Makna konotatif dari kata “bunga” ini dapat berkembang menjadi sebuah mitos, yakni bunga merupakan simbol cinta, perdamaian dan wujud kasih sayang. Sebagai contoh seorang membawa bunga untuk mewujudkan rasa simpati terhadap korban kekerasan atau peperangan. Mitos “bunga” sebagai tanda kasih sayang tentunya tidak berlaku bagi masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa. Budaya „nyekar‟1 bagi masyarakat di pedesaan biasanya dikuti dengan membawa bunga yang akan ditaburkan di tanah makam. “Bunga” bagi masyakat di pedesaan identik dengan kesakralan dari pada bentuk kasih sayang. Perbedaan makna “bunga” ini di pengaruhi oleh hubungannya dengan pengalaman pribadi dan nilai budaya setempat.

Klasifikasi tanda: petanda dan penanda, dalam terminologi Saussurean, adalah komponen dari tanda. Sekarang istilah ini, tanda, yang ditemukan dalam kosakata yang sangat berbeda (dari teologi hingga kedokteran), dan yang sejarahnya sangat kaya (running from the Gospels28 to cybernetics), karena alasan ini sangat ambigu; jadi sebelum kita kembali ke penerimaan Saussurean terhadap kata tersebut, kita harus mengatakan sepatah kata pun tentang bidang gagasan di mana ia menempati tempat, meskipun tidak tepat, seperti yang akan terlihat. Sebab, menurut pilihan sewenang-wenang dari berbagai penulis, tanda ditempatkan dalam serangkaian istilah yang: memiliki kesamaan dan ketidaksamaan dengannya: sinyal, indeks, ikon, simbol, alegori, adalah saingan utama tanda. 

Value in linguistics: bahwa memperlakukan tanda 'dalam dirinya sendiri', sebagai satu-satunya penghubung antara penanda dan petanda, adalah abstraksi yang cukup arbitrer (walaupun tak terhindarkan). Sebagai kesimpulan, kita harus menangani tanda, tidak lagi melalui 'komposisinya', tetapi dari 'pengaturannya': ini adalah masalah nilai. Saussure tidak melihat pentingnya gagasan ini pada awalnya, tetapi bahkan pada kursus keduanya dalam Linguistik Umum, ia semakin berkonsentrasi padanya, dan nilai menjadi konsep penting baginya, dan akhirnya lebih penting daripada makna (dengan yang tidak ko-ekstensif). Nilai memiliki hubungan yang erat dengan pengertian bahasa (sebagai lawan bicara); efeknya adalah untuk menghilangkan psikologi linguistik dan membawanya lebih dekat ke ekonomi; karena itu merupakan pusat dari garis structural guistik. Dalam kebanyakan ilmu, Saussure mengamati, tidak ada koeksistensi sinkroni dan diakroni.

The significant correlation: Tanda adalah sepotong (bermuka dua) dari kemerduan, visualitas, dll. Signifikasi dapat dipahami sebagai suatu proses; itu adalah tindakan yang mengikat penanda dan petanda, tindakan yang produknya adalah tanda. Pembedaan ini tentu saja hanya memiliki nilai pengklasifikasian (dan bukan fenomenologis): pertama, karena penyatuan penanda dan petanda, sebagai kita akan lihat, tidak menghabiskan tindakan semantik, karena tanda memperoleh nilainya juga dari lingkungannya; kedua, karena, mungkin, pikiran tidak proceed, dalam proses semantik, dengan konjungsi tetapi dengan ukiran. Dan memang pemaknaan (semiosis) tidak menyatukan entitas sepihak, itu tidak menyatukan dua istilah, untuk alasan yang sangat baik bahwa penanda dan petanda keduanya sekaligus merupakan istilah dan relasi.

Pertama-tama menyatakan elemen yang umum untuk semua istilah ini: mereka semua pasti merujuk kita pada hubungan antara dua relata. Oleh karena itu, fitur ini tidak dapat digunakan untuk membedakan salah satu suku dalam deret tersebut; untuk menemukan variasi makna, kita harus menggunakan fitur lain, yang akan dinyatakan di sini dalam bentuk alternatif (ada/tidak adanya): 

  1. relasi menyiratkan, atau tidak menyiratkan, representasi mental dari salah satu relata;
  2. hubungan itu menyiratkan. atau tidak menyiratkan, analogi menjadi hubungan itu menyiratkan. atau tidak menyiratkan, analogi antara relata;
  3. hubungan antara dua relata (stimulus dan responnya) bersifat langsung atau bukan;
  4. relata persis bertepatan atau. sebaliknya. satu mengalahkan yang lain; v) hubungan itu menyiratkan. atau tidak menyiratkan. koneksi eksistensial 'dengan pengguna. Apakah fitur ini positif atau negatif (ditandai atau tidak). 

Setiap istilah di lapangan pasti dibedakan. Harus ditambahkan bahwa distribusi bidang bervariasi dari satu penulis ke penulis lain. fakta yang menghasilkan kontradiksi terminologis; ini akan mudah dilihat sekilas dari tabel kejadian fitur dan istilah dalam empat penulis yang berbeda: Hegel. Peirce. Jung dan Wallon (referensi untuk beberapa fitur. apakah ditandai atau tidak. mungkin tidak ada di beberapa penulis). Kita melihat bahwa mengandung kontradiksi terminologis dasarnya pada indeks (untuk Peirce. indeks ada sial. untuk Wallon. bukan) dan pada simbol (untuk Hegel dan Wallon ada hubungan analogi - atau dari 'motivasi' - antara dua relasi simbol. tapi ' tidak untuk Pierce; lebih-lebih lagi. untuk Pierce. simbol tidak eksistensial. sedangkan untuk Jung). 

Tapi dapat kita lihat juga bahwa kontradiksi ini - yang dalam tabel ini dibaca secara vertikal - dijelaskan dengan sangat baik. atau lebih tepatnya. bahwa mereka saling mengimbangi melalui transfer makna dari istilah ke istilah yang sama pengarang. Transfer ini di sini dapat dibaca secara horizontal: misalnya simbolnya analogis di Hegel sebagai op berpose untuk tanda yang tidak; dan jika tidak di Pierce. Itu karena ikon dapat menyerap fitur itu. Semua ini berarti. menyimpulkan dan berbicara dalam istilah semiologis (inilah inti dari analisis singkat ini yang mencerminkan, seperti cermin, subjek dan metode penelitian kami). Bahwa kata-kata di lapangan berasal dari mereka makna hanya dari oposisi mereka satu sama lain (biasanya berpasangan), dan jika oposisi ini dipertahankan, artinya tidak ambigu. Secara khusus, sinyal dan indeks, simbol dan tanda, adalah istilah dari dua fungsi yang berbeda, yang dengan sendirinya dapat ditentang secara keseluruhan, seperti yang mereka lakukan di Wallon, yang terminologinya paling jelas dan paling lengkap (ikon dan alegori terbatas pada kosakata Pierce dan Jung). Oleh karena itu kami akan mengatakan, dengan Wallon, bahwa sinyal dan indeks membentuk kelompok relata tanpa representasi mental, sedangkan dalam kelompok yang berlawanan, yaitu simbol dan tanda, representasi ini ada: selanjutnya, sinyal bersifat langsung dan eksistensial, sedangkan indeks tidak (itu hanya jejak); akhirnya, bahwa dalam simbol representasinya analogis dan tidak memadai (Kristen 'mengalahkan' salib), sedangkan dalam tanda hubungannya tidak termotivasi dan tepat (tidak ada analogi antara kata lembu dan gambar lembu, yang sempurna ditutupi oleh relatumnya).

Dalam laporan laba-rugi, laba akuntansi memang telah disajikan dan dihitung secara sistematis dengan mengklasifikasikan penghasilan dan beban sedemikian rupa sehingga dapat dihasilkan bermacam-macam angka laba, misalnya laba kotor, laba operasi, laba sebelum pos luar biasa, laba bersih sebelum pajak, dan laba bersih setelah pajak. Walaupun demikian, makna angka laba pada berbagai tingkatan tersebut tidak serta-merta menjadi jelas dalam persepsi pembaca laporan keuangan, kecuali makna dalam tataran sintaktik, yaitu bagaimana cara laba dihitung. Sesuai dengan asas akrual, bermacam-macam angka laba tersebut tidak selalu merujuk pada aliran kas masuk neto dalam periode pelaporan, karena aliran kas tersebut mungkin sudah teijadi pada periode sebelumnya, masih akan tefrjadi pada periode mendatang, atau bahkan sama sekali tidak merujuk pada aliran kas.

Seperti dikatakan oleh seorang informan (Sari Kusuma - akuntan publik), bahwa sebelum berakhir dengan munculnya label laba, perubahan aset dan kewajiban lebih dulu diberi label "penghasilan" dan label "beban". Label laba baru muncul setelah label penghasilan dipertemukan dengan label beban, yang dalam akuntansi disebut penandingan (matching). Saat ini simbol-simbol akuntansi yang merupakan hasil simulasi makin banyak, sehingga pada akhirnya symbol laba akuntansi pun menjadi simulakra murnii, menjadi tidak ada sesuatu di luar teks. Karena tidak ada sesuatu   “di luar teks, maka makna laba akuntansi pun menjadi intertekstual, atau secara lebih spesifik  laba akuntansi adalah jejak .

Karena pembaca laporan keuangan tidak dapat menemukan realitas faktual yang direpresentasikan oleh laba akuntansi di luar teks, maka makna laba akuntansi menyebar sesuai dengan pengalaman dan kepentingan masing-masing penafsir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun