Mohon tunggu...
Nurkholifah Rifani
Nurkholifah Rifani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Akuntansi Universitas Mercu BuanaDosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 43220010058 NURKHOLIFAH RIFANI Universitas Mercu Buana Jakarta - be grateful

Nurkholifah Rifani (43220010058) - Mata Kuliah Teori Akuntansi - Dosen Pengampu Apollo, Prof, Dr, M.Si.Ak - Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2__Teori Akuntansi Pendekatan Semiotika Roland-Barthes

24 Mei 2022   01:16 Diperbarui: 24 Mei 2022   02:25 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1.1 (Dokumentasi Pribadi)

Dalam mitos, kita menemukan kembali pola tiga dimensi yang baru saja saya uraikan: penanda, petanda dan tanda. Tetapi mitos adalah sistem yang aneh, karena ia dibangun dari rantai semiologis yang ada sebelumnya: ia adalah sistem semiologis tingkat kedua. Apa yang merupakan tanda (yaitu total asosiatif konsep dan citra) dalam sistem pertama, menjadi penanda belaka di sistem kedua. 

Di sini kita harus ingat bahwa bahan-bahan pidato mitis (bahasa itu sendiri, fotografi, lukisan, poster, ritual, objek, dll.), berapapun berbeda pada awalnya, direduksi menjadi fungsi penandaan murni segera setelah mereka ditangkap oleh mitos. Mitos melihat di dalamnya hanya bahan mentah yang sama; kesatuan mereka adalah bahwa mereka semua turun ke status bahasa belaka. Apakah itu berkaitan dengan tulisan abjad atau bergambar, mitos ingin melihat di dalamnya hanya sejumlah tanda, tanda global, istilah terakhir dari rantai semiologis pertama. Dan justru suku terakhir inilah yang akan menjadi suku pertama dari sistem yang lebih besar yang dibangunnya dan yang hanya menjadi bagiannya. Semuanya terjadi seolah-olah mitos menggeser sistem formal dari penandaan pertama ke samping. Karena pergeseran lateral ini penting untuk analisis mitos, saya akan menyajikannya dengan cara berikut, tentu saja dipahami bahwa spasialisasi pola di sini hanyalah metafora.

Dalam semiologi, istilah ketiga tidak lain adalah asosiasi dari dua yang pertama, seperti yang kita lihat. Ini adalah satu-satunya yang diizinkan untuk dilihat secara penuh dan memuaskan, satu-satunya yang dikonsumsi dalam kenyataan yang sebenarnya. Saya menyebutnya: maknanya. Kita dapat melihat bahwa penandaan adalah mitos itu sendiri, sebagaimana tanda Saussurean adalah kata (atau lebih tepatnya unit konkrit). Tetapi sebelum mendaftar ciri-ciri penandaan, kita harus sedikit merenungkan cara pembuatannya, yaitu tentang cara-cara korelasi konsep mitis dan bentuk mitis. Pertama-tama kita harus mencatat bahwa dalam mitos, dua istilah pertama termanifestasi secara sempurna (tidak seperti apa yang terjadi dalam sistem semiologis lainnya): salah satunya tidak 'tersembunyi' di belakang yang lain, keduanya diberikan di sini (dan bukan satu di sini dan yang lain di sana). Betapapun paradoksnya tampaknya, mitos tidak menyembunyikan apa pun: fungsinya adalah untuk mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Tidak ada latensi konsep dalam kaitannya dengan bentuk: tidak ada kebutuhan ketidaksadaran untuk menjelaskan mitos. 

Tentu saja, kita berurusan dengan dua jenis manifestasi yang berbeda: bentuk memiliki kehadiran langsung yang literal; apalagi diperpanjang. Ini berakar - ini tidak dapat diulang terlalu sering - dari sifat penanda mitos, yang sudah linguistik: karena dibentuk oleh makna yang sudah digariskan, itu hanya dapat muncul melalui substansi tertentu (sedangkan dalam bahasa, penanda tetap mental). Dalam kasus mitos lisan, ekstensi ini linier (untuk nama saya singa); dalam mitos visual, itu multidimensi (di tengah, seragam Negro, di atas, hitamnya wajahnya, di kiri, salut militer, dll.). Unsur-unsur bentuk karena itu terkait dengan tempat dan kedekatan: modus kehadiran bentuk spasial. Konsep, sebaliknya, muncul dalam mode global, itu adalah semacam nebula, kondensasi, kurang lebih kabur, dari pengetahuan tertentu. Elemen-elemennya dihubungkan oleh hubungan asosiatif: tidak didukung oleh ekstensi tetapi oleh kedalaman (walaupun metafora ini mungkin masih terlalu spasial): modus kehadirannya adalah memorial. Relasi yang menyatukan konsep mitos dengan maknanya pada hakikatnya adalah relasi deformasi.

Nature of the signified: Dalam linguistik, sifat petanda telah memunculkan diskusi-diskusi yang terutama berpusat pada tingkat 'realitasnya'; semua setuju, bagaimanapun, dalam menekankan fakta petanda bukanlah 'sesuatu' tetapi representasi mental dari 'benda'. Kita telah melihat bahwa dalam definisi tanda oleh Wallon, karakter perwakilan ini adalah fitur yang relevan dari tanda dan simbol (sebagai lawan dari indeks dan sinyal). Saussure sendiri telah dengan jelas menandai sifat mental petanda dengan menyebutnya sebagai konsep: petanda dari kata lembu bukanlah lembu hewan, tetapi citra mentalnya (ini akan terbukti penting dalam diskusi selanjutnya tentang sifat tanda).

Nature of the signifier: Sifat penanda menyarankan pernyataan yang kira-kira sama dengan yang ditandai: itu adalah murni re1atum, yang definisinya tidak dapat dipisahkan dari yang ditandai. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa penanda adalah mediator: beberapa hal diperlukan untuk itu. Tetapi di satu sisi itu tidak cukup untuk itu, dan di sisi lain, dalam semiologi, penanda dapat juga disampaikan oleh suatu hal tertentu: yaitu kata-kata. Materialitas penanda ini membuatnya sekali lagi perlu untuk membedakan dengan jelas materi dari substansi: suatu substansi bisa menjadi immaterial (dalam hal substansi konten); oleh karena itu, yang dapat dikatakan hanyalah bahwa substansi penanda selalu material (suara, objek, gambar). Dalam semiologi, di mana kita harus berurusan dengan sistem campuran di mana berbagai jenis materi terlibat (suara dan gambar, objek dan tulisan, dll.), mungkin tepat untuk mengumpulkan semua tanda, sejauh mereka ditanggung oleh satu hal yang sama, di bawah konsep tanda khas : tanda verbal, tanda grafis, tanda ikonik, tanda gestural semuanya adalah tanda khas.

Metode semiotika yang digunakan pada penelitian ini adalah semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes, atau disebut dengan semiotika Barthesian. Roland Barthes menekankan interaksi antara tanda dengan pengalaman individu dan budaya penggunanya, hubungan antara hasil kesepakatan dalam teks dengan kesepakatan yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes tentang sistem pertandaan ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup dua hal yakni denotatif dankonotasi.
Roland Barthes merupakan salah satu pemikir strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiotika Saussurean. Barthes berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang
menggambarkan asumsi-asumsi dari suatu kelompok masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu. Barthes menganggap bahwa pembaca (the reader) memiliki peran yang penting dalam mempelajari tentang tanda.
Lahirnya konotasi dalam sistem pertandaan membutuhkan peran aktif pembaca agar dapat menghasilkan makna yang berarti. Secara Panjang lebar, Barthes membahas apa yang sering disebut sebagai system pemaknaan tataran kedua (two order significations) yang merupakan hasil konstruksi sistem lain yang sudah ada sebelumnya. Berikut model semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes.

Gambar 1.4 (Dokumentasi pribadi)
Gambar 1.4 (Dokumentasi pribadi)

Makna denotatif merupakan makna objektif atau makna umum yang sudah menjadi kesepatakan bersama. Hubungan antara penanda dan petandanya memiliki tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Denotatif adalah apa yang digambarkan terhadap subjek sedangkan konotasi mempunyai nilai subyektif atau intersubyektif. Konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pada signifkasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah
semiotika tingkat dua, teori mitos di kembangkan Barthes untuk melakukan terhadap ideologi budaya massa (Sunardi, 2007). Sementara itu, dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi digunakan untuk menjelaskan bagaimana suatu tanda bekerja dan memeliki makna tertentu. Konotasi menggambarkan hubungan ketika tanda bertemu dengan pengalaman dan nilai-nilai kultural pengguna tanda tersebut. Makna berkembang menjadi subjektif dan intersubjektif. Terjadinya konotasi disebabkan karena adanya pengaruh penafsir dan tanda lainnya.
Makna konotatif lebih bersifat subjektif, dalam arti bahwa terdapat pergeseran dari makna pada umumnya (denotatif) karena adanya penambahan rasa dan nilai tertentu. Sedangkan makna denotatif merupakan makna yang hampir semua orang mengerti artinya. Makna konotatif biasanya ini hanya bisa dipahami oleh kelompok masyarakat tertentu yang jumlahnya relatif lebih sedikit. Sebuah tanda mempunyai makna konotatif apabila tanda tersebut memiliki makna lain, baik positif maupun negatif.

Seorang peneliti harus memahami unsur-unsur tanda untuk mengungkap makna konotatif suatu tanda.
Hubungan antara unsur-unsur tanda dalam sebuah totalitas dan menghubungkannya dengan nilai budaya dalam suatu masyarakat. Suatu mitos dalam sistem pertandaan dapat dideteksi dengan menggunakan ciri-ciri mitos yang ditulis oleh Roland Barthes dalam bukunya yang berjudul Mythologies (Barthes, 1957), yakni:

  • The Inoculation
    Menerima sedikit "kejelekan" dalam satu institusi sehingga menyingkirkan kesadaran tentang adanya masalah yang lebih mendasar. Misalnya oknum anggota DPRD terlibat kasus korupsi.
  • The Privation of History
    Mengabaikan makna sejarah yang sebenarnya. Berusaha mewujudkan identitas baru dengan meninggalkan sejarah masa lalu. Contoh: Menuju era baru yang lebih maju.
  • Tautology
    Merupakan suatu pernyataan yang sudah menjadi kebiasaan dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Isi dari sebuah pernyataan direduksi ke dalam sebuah tampilan. Contoh: kalimat
    “ya, sudah begitu dari sananya”, “Lali jenenge eling rasane”,
    “Percayalah apa yang dikatakan...”. Contoh lainnya adalah suatu
    pernyataan tanpa makna seperti “Mignight's Summer Dream”
    karya Shakespere” yang tidak memiliki makna apapun selain prestise karena terdapat nama William Shakespere.
  • Neither-norism
    Suatu tindakan yang tidak memihak atau tidak berani memilih, dan menganut opini pada posisi di tengah. Contoh: Golput, Gerakan Non Blok, Demokrasi, Multiparadigma dan sebagainya.
  • The Quatification of quality
    Mereduksi kualitas ke dalam kuantitas. Semua perilaku manusia, dan realitas sosial direduksi menjadi nilai kuantitas. Contoh: Angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi.
  • Identification
    Mereduksi perbedaan atau ciri khas yang menjadi identitas
    dasar. Contoh: sarung identik dengan kaum santri, “Orang pintar minum...”, semua agama sama, dan sebagainya.
  • The statement of fact
    Suatu kebiasaan yang sudah menjadi pendapat umum, segala sesuatu tidak lebih dari penampakannya. Contoh:
    “Anggaran harus pro rakyat”.

Contoh bagaimana suatu tanda berkembang dari makna denotatif, konotatif sampai menjadi mitos adalah kata “bunga”. Ketika kita mendengar kata “bunga” untuk pertama kalinya maka pikiran pikiran kita akan membayangkan suatu konsep tentang tumbuhan yang memiliki kelopak, tangkai, daun, berwarna-warni, dan harum baunya. Ini yang disebut dengan
makna denotatif, yakni makna yang sudah menjadi kesepakatan pada umumnya. Makna bunga dapat berkembang menjadi makna konotatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun