Mohon tunggu...
Nurkholifah Rifani
Nurkholifah Rifani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Akuntansi Universitas Mercu BuanaDosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 43220010058 NURKHOLIFAH RIFANI Universitas Mercu Buana Jakarta - be grateful

Nurkholifah Rifani (43220010058) - Mata Kuliah Teori Akuntansi - Dosen Pengampu Apollo, Prof, Dr, M.Si.Ak - Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2__Teori Akuntansi Pendekatan Semiotika Roland-Barthes

24 Mei 2022   01:16 Diperbarui: 24 Mei 2022   02:25 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1.1 (Dokumentasi Pribadi)

Gambar 1.2 Hubungan Penanda (Signifier) dan Petanda (Signified) (Dokumentasi Pribadi)
Gambar 1.2 Hubungan Penanda (Signifier) dan Petanda (Signified) (Dokumentasi Pribadi)
Hubungan Penanda (Signifier) dan Petanda (Signified)

Suatu tanda yang terdiri dari penanda dan petanda merupakan satu kesatuan, bagaikan sehelai kertas yang tidak dapat terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda bersifat arbitrary atau mana suka. Antara penanda dan petanda tidak memiliki hubungan logis yang pasti. Hal inilah yang membuat tanda menjadi menarik dan menimbulkan permasalahan pada saat yang sama (Berger, 1998:7-8)

Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Selanjutnya, (Barthes 1957, dalam de Saussure yang dikutip Sartini) menggunakan teori Signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah significant menjadi ekspresi (E)
dan signifie menjadi isi (C). Namun, Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu sehingga membentuk tanda (sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala meta-bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman.
Pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.

Semiotika merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang tanda, sistem tanda, dan bagaimana suatu tanda dapat menceritakan hal lain selain tanda itu sendiri (Gordon, 2002:14). Kita

Suatu tanda yang terdiri dari penanda dan petanda merupakan satu kesatuan, bagaikan sehelai kertas yang tidak dapat terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda bersifat arbitrary atau mana suka. Antara penanda dan petanda tidak memiliki hubungan logis yang pasti. Hal inilah yang membuat tanda menjadi menarik dan menimbulkan permasalahan pada saat yang sama (Berger, 1998:7-8)

Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Selanjutnya, (Barthes 1957, dalam de Saussure yang dikutip Sartini) menggunakan teori Signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah significant menjadi ekspresi (E)
dan signifie menjadi isi (C). Namun, Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu sehingga membentuk tanda (sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala meta-bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman.
Pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.

Semiotika merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang tanda, sistem tanda, dan bagaimana suatu tanda dapat menceritakan hal lain selain tanda itu sendiri (Gordon, 2002:14).

Tanda semiologis memungkinkan kita untuk meramalkan sifat tanda semiologis dalam kaitannya dengan tanda linguistik. Tanda semiologis juga merupakan gabungan dari penanda dan petanda (warna cahaya, misalnya, adalah perintah untuk bergerak, dalam Kode Jalan Raya), tetapi berbeda pada tingkat maknanya. Banyak sistem semiologis (objek, gerak tubuh, gambar bergambar) memiliki substansi ekspresi yang esensinya bukan untuk menandakan; seringkali, mereka adalah objek penggunaan sehari-hari, digunakan oleh masyarakat secara turunan, untuk menandakan sesuatu. Misalnya pakaian digunakan untuk perlindungan dan makanan untuk dimakan meskipun juga digunakan sebagai tanda. 

Adanya usulan untuk menyebut tanda-tanda semiologis ini, yang asalnya utilitarian dan fungsional, sebagai fungsi tanda. Fungsi tanda menjadi saksi adanya gerakan ganda yang harus dibongkar. Pada tahap pertama (analisis ini murni operatif dan tidak menyiratkan temporalitas yang nyata) fungsi menjadi diliputi dengan makna. Ini semantisasi tak terelakkan: begitu ada masyarakat, setiap penggunaan diubah menjadi tanda itu sendiri; penggunaan jas hujan adalah untuk memberikan perlindungan dari hujan, tetapi penggunaan ini tidak dapat dipisahkan dari tanda-tanda situasi atmosfer. Karena masyarakat kita hanya memproduksi objek-objek yang distandarisasi dan dinormalisasi, objek-objek ini tidak dapat dihindarkan merupakan realisasi dari sebuah model, ujaran bahasa, substansi dari makna yang signifikan. Untuk menemukan kembali objek yang tidak menandakan, satu harus membayangkan alat yang benar-benar diimprovisasi dan tanpa kemiripan dengan model yang ada (Levi-Strauss telah menunjukkan sejauh mana mengutak-atik sendiri pencarian makna), yaitu sebuah hipotesis yang hampir tidak mungkin diverifikasi dalam masyarakat mana pun. Semantisasi universal dari penggunaan ini sangat penting.

Ia mengungkapkan fakta bahwa tidak ada realitas kecuali jika ia dapat dipahami, dan pada akhirnya harus mengarah pada penggabungan sosiologi dengan sosiologic. Tetapi begitu tanda terbentuk, masyarakat dapat memfungsikannya dengan sangat baik, dan membicarakannya seolah-olah tanda itu ada. Sebuah benda yang dibuat untuk digunakan, contoh mantel bulu akan digambarkan seolah-olah hanya berfungsi untuk melindungi dari dingin. Fungsionalisasi berulang ini, yang membutuhkan, agar ada, bahasa orde kedua, sama sekali tidak sama dengan fungsionalisasi pertama (dan memang benar-benar ideal). Karena fungsi yang diwakili sebenarnya sesuai dengan fungsi kedua (tersamar). Pelembagaan semantik, yang merupakan tatanan konotasi. Oleh karena itu, fungsi tanda memiliki (mungkin) nilai antropologis, karena itu adalah unit di mana hubungan teknis dan signifikan dijalin bersama.

Pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun