Baru saja matahari bangun dari peraduan. Cahayanya putih dan hangat. Namun belum mampu mengeringkan kedua bola mata seorang ibu yang masih basah bekas menangis semalam.
"Bu, barusan Lana pendarahan lagi," suara Rinto---Bapak Lana---lewat handphone jadul yang mereka punya.
"Pendarahan lagi?" sahutnya lemas. "Berarti ini sudah yang ke tujuh, Pak?"
Mengingat buah hatinya yang saat ini tengah terbaring di rumah sakit, hati wanita itu bagai diiris. Sudah tujuh tahun putrinya mengidap tumor ganas. Virus itu betah mengendap di perut Lana bertahun-tahun hingga beranak pinak. Membentuk gundukan besar di perut.
"Ya, begitulah. Mau bagaimana lagi?" sahut suaminya.
Dulu, biaya operasi sangat mahal sehingga keluarga miskin itu tak sanggup membayarnya. Beruntung sekarang bisa mengurus surat-surat supaya biaya perawatan ditanggung pemerintah.
Walaupun obat yang diterimanya adalah jenis generik, artinya bukan obat paten. Obat dengan kualitas nomor ke sekian. Tapi sebenarnya itu jauh lebih baik ketimbang tak mendapat obat sama sekali. Namun tetap saja sang kejora dalam keadaan kritis terus menerus.
"Cepat datang," tutup Rinto dari sana.
"I-iya ...," jawab Miranti buru-buru.
Ia jalan bergegas. Semilir angin sejenak membakar pipinya. Tas besar di bahu perempuan bertubuh kurus dan wajah letih itu hampir melorot. Tas itu berisi surat-surat penting dan fotokopian lembar-lembar yang dibutuhkan untuk perawatan. KTP, Kartu Keluarga, surat rawat inap, resep dokter, dan lain-lain.
Bocah laki-laki yang dituntunnya ikut berjalan cepat-cepat mengiringi langkah ibu. Ia tak mau bicara banyak. Sebab tahu, kalau rewel maka ibunya akan marah.
"Cepat, Nak. Kasihan kakak di rumah sakit."
Bocah itu pun hanya diam dan semakin mempercepat langkahnya.
Kondisi terakhir perut Lana buncit seperti wanita hamil. Tubuhnya sudah tak berdaging. Tulang pipinya menonjol dengan seluruh kulit berwarna kuning pucat. Besar tubuhnya tidak menunjukkan usianya. Penyakitnya membuat ia tak dapat tumbuh berkembang dengan normal seperti anak kebanyakan. Dan kalau saja tidak sakit, ia seharusnya sudah duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.
Rinto menyambut mereka dengan wajah kusut. Miranti segera menuju ruang tindakan.
"Bagaimana kondisi anak saya, Dokter?" tanyanya pada seseorang berjas panjang putih.
Lelaki itu memperbaiki letak kacamatanya.
"Ibu harap bersabar. Tim kami masih bekerja di dalam. Saat ini lambungnya juga bengkak. Bahkan urat lambungnya mengalami varises."
Bagai menginjak awan kala mendengar penjelasan dokter. Membayangkan penderitaan yang harus dialami putrinya.
"Ibu banyak berdoa ya?" lanjut dokter lagi.
Brak!
Pintu ruang tindakan ditutup. Selain dokter dan petugas, siapa pun dilarang memasukinya.
Miranti jatuh terduduk, dipeluk Doni, putra ciliknya. Rinto hanya menghela napas panjang.
***
Beberapa waktu kemudian Lana berhasil melewati masa kritisnya. Miranti segera memberikannya minuman. Diusapnya keringat di wajah Lana.
"Ini resep yang harus ditebus ya?" Seorang suster cantik memberikan selembar kertas.
"Makasih, Sus," sahut Rinto. "Bu, mana kopian KTP dan lain-lainnya? Biar kutebus sekarang saja," tanyanya.
"Itu, Pak. Di tas hijau. Tadi pagi sudah kukopi sampai dua puluh lembar," sahut sang istri.
"Kok banyak sekali?"
"Buat jaga-jaga. Daripada nanti kurang. Kalau fotokopi di sini kan mahal."
"Benar juga." Rinto lekas mengumpulkan beberapa lembaran berkas yang dibutuhkan.
Untuk menebus sebuah resep dengan jaminan pemeliharaan kesehatan yang disediakan pemerintah, ia harus menyertakan fotokopi surat-surat masing-masing lima lembar.
"Doni ... mana ..., Ma ...?" tanya Lana lemah.
"Apa, sayang? O, itu lagi main. Doni! Sini! Dipanggi Kakak!" teriak Miranti pada Doni.
Sekilas nampak bintang kejora itu tersenyum melihat adiknya. Ia ingat ia sering bermain mobil-mobilan atau juga boneka-bonekaan dengan adiknya itu.
"Sekolahnya ... bagaimana ..., Dik?" tanya Lana dengan napas memburu.
"Senang, Kak. Tadi aku belajar menari sama guru tari," sahut Doni. Di sekolahnya memang ada ekstra kurikuler menari.
"Oh ..., ya ...?" Mata kejora itu berbinar mendengar kebahagiaan adik kecilnya.
"Main mobilan yuk, Kak," pinta sang adik kecil.
Lana menggeleng lemah. Kepalanya masih terasa sakit.
"Doni, sebaiknya kamu pijitin kaki Kakak," ujar Miranti.
"Nggak mau, ah." Doni pun berlari kembali ke sisi jendela rumah sakit untuk meneruskan main.
Lana hanya tersenyum kecil.
***
Sang Ibu memintanya agar makan supaya nanti perutnya siap jika obat sudah selesai ditebus Bapak. Tapi Lana menggeleng.
Lehernya sakit. Mulutnya terasa pahit sekali. Rasanya tak sanggup menelan apa-apa. Meski Miranti berulang kali membujuk, Lana tetap tak berselera.
Jam di ruang perawatan rumah sakit menunjukkan pukul 11.oo.
"Kok Bapak lama ya?" tanya Miranti. "Kan adik harus berangkat sekolah. Giliran Bapak yang ngantar. Atau Ibu susul ke apotek ya, Nak?" tanya Miranti pada Lana. Lana mengangguk.
"Iya ..., Ibu ... susul ... saja .... Aku ...nggak ... akan ... kenapa-napa ... kok ...," ujar Lana tersenyum menenangkan pikiran sang Ibu.
Bulir bening itu menggantung di matanya. Miranti mencium kening putrinya sejenak sebelum menyusul suaminya ke apotek. Rinto harus mengantarkan Doni sekolah. Doni sekolah siang. Ia yang akan menunggu obat di apotek.
Sesampai di ruang obat itu dilihatnya suaminya tengah duduk termenung. Doni yang melihat ayahnya langsung memeluk dari belakang.
"Lana nggak apa-apa ditinggal?" tanyanya pada sang istri.
"Nggak pa-pa. Kondisinya sudah rada mendingan dari yang tadi," sahut Miranti.
"Ya sudah. Aku antar Doni dulu ya?" pamit Rinto.
"Pak. Nanti habis antar Doni, pakaian Bu Rani diangkat dan setrika ya,Â
Pak," pesan Miranti sebelum Rinto keluar ruangan apotek.
Kuli cuci baju para tetangga adalah pekerjaan mereka sehari-hari. Yang ditanya menjawabnya dengan anggukan.
Tepat pukul 12.00 Miranti telah kembali ke ruang perawatan. Di tangannya seplastik obat yang baru saja ditebus.
Gadis sulungnya tengah tertidur. Napasnya naik turun satu-satu. Seperti suara orang tersengal. Miranti yang mendengarkannya saja lelah sendiri.
Sejenak ia merebahkan penatnya di kursi kayu tak bersandaran yang tersedia di sisi ranjang sebeum mengantarkan obat itu kepada suster. Kepalanya ditengadahkan.
Tak seperti biasa, pada jam kunjungan kali ini, sekitar sepuluh dokter datang memeriksa kondisi Lana. Di antaranya bule. Berbahasa Inggris sehingga Miranti sulit memahami apa yang dibicarakan.
Mereka memfoto Lana. Baju yang menutupi perutnya yang buncit pun disingkap untuk menunjukkan gundukan perut itu agar tampak jelas dalam foto.
Tak tahu seperti apa perasaan Miranti saat itu, namun ia mengikuti saja ketika diminta untuk foto juga.
"Begini Bu, dokter-dokter ini dari Amerika. Mereka peduli dan menaruh simpati pada penyakit putri Ibu. Mereka hendak mengujicobakan beberapa obat temuan mereka pada anak ibu. Apakah ibu mengijinkan?" Akhirnya salah seorang dokter memberitahukan isi percakapan para dokter bule itu.
Mata miranti membelalak. Anakku akan menjadi kelinci percobaan? Oh, tidak. Tak akan! Tapi, mungkin dengan obat temuan mereka, Lana bisa sembuh?
"Oh, terima kasih, Dokter. Tapi,bolehkah saya tanyakan dulu pada suami saya?"
"Silakan saja, Bu. Semoga ibu lekas memberi jawaban supaya anak ibu segera mendapat tindakan."
"Sebentar ya, Dok. Saya telepon suami."
Para dokter itu tak menunggu lama sebab Rinto menjawab dengan ya. Miranti pun tersenyum pada mereka. Dan mereka pun balas mengangguk sambil tersenyum pula.
***
Pukul 03.00 dini hari.
Miranti terbangun oleh suara lemah Lana.
"Bu ... tadi ... Lana ... mimpi ...."
Diusapnya peluh yang memenuhi wajah Lana. "Iya, Nak. Mimpi apa?" tanyanya.
"Terbang ... ke langit ... naik awan ...," suara Lana terputus-putus. "Lana ... ketemu ... bintang ..., ada ... yang ... terang ... sekali, Bu ...."
Ibu mengusap kepala Lana. Hatinya rontok mendengar suara putrinya tersengal-sengal tak karuan. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Namanya ... kejora ... dia baik ... sekali ... mengajak ... kami-kami ... yang tersesat ... untuk bermain ... bernyanyi ... berlari ... dan menari ...."
Miranti tak sanggup berkata apa-apa lagi. Air matanya tumpah.
"Ssst .... Sudah, Nak, sudah. Jangan bicara apa-apa lagi ya, sayang?" Miranti terguguk menutup bibir Lana dengan telunjuknya.
Setelah mengatakan mimpinya, Lana terdiam. Matanya memejam dan badannya mulai menggigil. Semakin lama semakin dingin dan kencang.
Miranti berteriak memanggil suster yang segera berdatangan dan lantas membawanya kembali ke ruangan khusus.
"Pak, cepat ke sini. Lana kritis lagi. Tubuhnya pucat dan tidak bergerak sama sekali, menggigil terus menerus, Pak." Suara Miranti panik lewat handphone jadul itu.
Rinto tergesa membangunkan Doni dan segera mengajaknya ke rumah sakit.
Miranti berlari hilir mudik. Berkali dia mencoba memasuki pintu ruang tindakan tapi pintu itu terkunci. Oleh gembok raksasa yang sangat besar. Dinding-dinding di kanan kirinya pun tiba-tiba meninggi. Dengan batako yang berganti batuan kali yang kokoh.
Dia menggedor-gedor pintu itu. Berulang-ulang sambil meneriakkan nama anaknya.
"Lana ... Lana ...."
Dipandanginya sang anak lewat gorden jendela yang sedikit tersibak. Sang anak tiba-tiba duduk lalu tersenyum. Senyum yang manis sekali. Hangat. Seperti matahari yang baru saja bangun dari peraduan malam. Yang baru terbit dari ufuk timur.
Lalu sedikit demi sedikit semakin melebarkan senyumnya. Bagai matahari yang semakin naik menunjukkan cahaya dengan bulat penuh. Lana melambaikan tangannya. Bibirnya terus tersenyum.
Dipandanginya wajah-wajah orang di sekitarnya lalu mulai menggandeng kedua sosok di kanan kirinya. Ia berdiri di atas pembaringan. Perutnya sudah tak buncit lagi. Tubuhnya mengeluarkan cahaya putih terang.
Ia bangkit di atas tempat tidur. Lana mengangguk dan tertawa ceria kepada sang ibu.
"Tidak ...! Tidak ...! Jangan pergi ...! Jangan pergi ... !" teriak Miranti dari luar.
Tapi mereka akan tetap pergi.
"Lana ...!" teriak Miranti panjang.
Sekilas Lana menoleh. Menatap sang ibu. Lantas segera berari ke arahnya dan memeluknya.
"Jangan sedih, Ibu. Aku pergi ke istana bintang. Di sana aku bisa bertemu dengan kejora yang baik hati. Aku akan bermain dengannya. Bermain-main di taman. Ibu jangan sedih. Nanti kalau ibu datang ibu susul aku, ya! Bawakan mainanku yang itu." Lana menunjuk mainan boneka cokelat miliknya.
Dan diusapnya air mata yang mengalir di pipi Miranti. Miranti enggan melepasnya dan semakin erat memeluk. Tapi tubuh Lana melentur lalu mundur dan perlahan kembali ke hadapan dua sosok bayangan putih yang menggamitnya di kanan kiri.
Lana menengok sekali lagi dan tersenyum.
"Selamat tinggal. Ibu."
"Tidak ...! Jangan pergi ...!"
Dua sosok putih yang tak berekspresi sama sekali itu menolehkan wajah sejenak. Mereka mengusap seluruh tubuh Lana dengan dua tangan. Mulai kepala hingga kaki. Yang diusap hanya diam. Dengan bibir pucat membiru.
Miranti menangis kencang tapi orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya tak ada yang peduli. Mereka seakan tak mau mendengarkan.
"Tolong anak saya, Suster. Tolong anak saya, Dokter. Tolong anak saya, Pak. Tolong anak saya, Bu." Suaranya semakin lemah memanggili mereka namun mereka tetap bergeming hingga akhirnya habis sama sekali. Ia terjatuh di lantai.
Bintang kejora itu telah pergi menemui sang pemiliknya yang Maha Kasih.
***
Miranti berdiri di sisi jendela. Menyibak kain hordeng kuning yang menutupi kaca. Rambut yang diikat ke belakang nampak kusut masai. Sudah lama ia tak begitu memperhatikan penampilan. Mata itu menerawang keluar.
Langit pekat hanya menyisakan sedikit gemintang. Beruntung rembulan masih berbaik hati menyampaikan pantulan sinar mentari pada malamnya. Dilihatnya di kejauhan sebersit bintang kejora yang terangnya melebihi gemintang lainnya. Kejora itu mirip Lana.
Tampak berkilau dari kejauhan. Meski kecil namun cahayanya sangat menyilaukan mata hati Miranti. Kejora itu muncul setiap akan terbit fajar. Namun segera hilang saat fajar benar-benar datang.
Apakah memang kejora itu tak boleh berjumpa cahaya pagi? Seperti putrinya Lana yang tak mungkin lagi meraih mentari esok hari?
"Selamat jalan, sayang. Kutitip cahayamu di tepi fajar. Semoga engkau tenang dan bahagia di sana. Di antara gemintang. Nantikan ibu dan bapak serta adik.
"Suatu saat kami pasti akan datang menemuimu. Menemanimu menari, bernyanyi, dan berlarian di taman. Tenanglah engkau di sana. Berkilaulah sebagaimana mestinya. Meski kau jauh, cahayamu amat terang di hati kami, kejoraku."
Di luar, bintang nampak berkilau-kilau. Cahayanya menenangkan sang rembulan agar tak patah menyibak pekat malam. Rembulan pun kembali ke peraduan. Nampak sendu dalam dekap Rinto dan Doni.
Dipandanginya wajah gemintang kecil. Meski kecil, kilaunya amat terang. Menusuk mata sang rembulan hingga terasa sakit. Rembulan pun menangis kembali. Isakannya didengar serigala hutan. Mereka melolong meningkahi gelap malam.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H