Pak," pesan Miranti sebelum Rinto keluar ruangan apotek.
Kuli cuci baju para tetangga adalah pekerjaan mereka sehari-hari. Yang ditanya menjawabnya dengan anggukan.
Tepat pukul 12.00 Miranti telah kembali ke ruang perawatan. Di tangannya seplastik obat yang baru saja ditebus.
Gadis sulungnya tengah tertidur. Napasnya naik turun satu-satu. Seperti suara orang tersengal. Miranti yang mendengarkannya saja lelah sendiri.
Sejenak ia merebahkan penatnya di kursi kayu tak bersandaran yang tersedia di sisi ranjang sebeum mengantarkan obat itu kepada suster. Kepalanya ditengadahkan.
Tak seperti biasa, pada jam kunjungan kali ini, sekitar sepuluh dokter datang memeriksa kondisi Lana. Di antaranya bule. Berbahasa Inggris sehingga Miranti sulit memahami apa yang dibicarakan.
Mereka memfoto Lana. Baju yang menutupi perutnya yang buncit pun disingkap untuk menunjukkan gundukan perut itu agar tampak jelas dalam foto.
Tak tahu seperti apa perasaan Miranti saat itu, namun ia mengikuti saja ketika diminta untuk foto juga.
"Begini Bu, dokter-dokter ini dari Amerika. Mereka peduli dan menaruh simpati pada penyakit putri Ibu. Mereka hendak mengujicobakan beberapa obat temuan mereka pada anak ibu. Apakah ibu mengijinkan?" Akhirnya salah seorang dokter memberitahukan isi percakapan para dokter bule itu.
Mata miranti membelalak. Anakku akan menjadi kelinci percobaan? Oh, tidak. Tak akan! Tapi, mungkin dengan obat temuan mereka, Lana bisa sembuh?
"Oh, terima kasih, Dokter. Tapi,bolehkah saya tanyakan dulu pada suami saya?"