Kami berrempat kembali ke gedung itu. Susah juga aku mengingat tempat dimana boneka jelangkung kubuang. Semalam asal saja kulempar. Lha wong tidak berguna.
"Helos! Wasto!" Iral berteriak sambil melambaikan tangan kepadaku yang tengah menunduk-nunduk mencari-cari di antara semak-semak.
"Itu! Itu!" Tangan Iral menunjuk ke arah sisi gedung tempat kami semalam berkumpul.
Astaga! Boneka jelangkung itu ada di situ. Teronggok persis di tempat Wasto meletakkannya semalam. Kok, bisa? Seingatku sudah kubuang. Sumpah!
Tidak ada yang berani mengambil boneka jelangkung itu. Wasto yang konon berteman dengan segala hantu pun tidak. Ia menelepon bapaknya.
Bapaknya Wasto datang bersama dengan Abah. Bapaknya Wasto mengambil boneka itu lalu membungkusnya dengan kain putih. Abah mengusulkan agar boneka itu dibakar saja.
Kami berenam menyaksikan boneka jelangkung itu dibakar. Anehnya abu bakarannya sedikit. Hanya dua jumput saja. Meskipun heran, aku pulang dengan perasaan lega. Kurasa teman-teman pun sama. Kami tak akan diganggu lagi. Ini terakhir kalinya kami bermain-main dengan jelangkung. Gagal? Tidak masalah!
Sampai di rumah aku langsung saja mandi. Gerah dan gatal-gatal juga karena blusukan di semak-semak tadi. Selesai mandi, aku membuka lemari untuk mengambil pakaian.
Astaga! Â Betapa terkejutnya aku ketika ada bau sangit bekas bakaran menyeruak hidung dan ada sepasang mata mata menatapku tajam. Kepalanya terbuat dari batok kelapa dan badannya terlihat hangus sebagian.Sesaat kami saling menatap. Aku terdiam, jantung seakan berhenti berdetak.Aku kaget tapi tidak tahu harus ngapain.
"Kebiasaan! Jangan taruh handuk basah di tempat tidur! Soleh ....!"
Suara Umik lagi-lagi mengejutkanku. Sontak aku menoleh. Tampak wajah Umik berlipat, netranya mengkilat menampakkan bara di dalamnya. Tangannya membawa sothil yang nampak mengepulkan asap.