Lha malah tanya, ia kesini 'kan niatnya mau minta diantar. Bikin emosi saja. "Katanya mau kawin lari sama Samsul. Ayok tak antar! Ditunggu dimana?"
Aletta tertawa sampai matanya tinggal segaris. "Gak jadi, Mel! Aku sudah putus kok"
Emosi aku dibuatnya . Kudorong tubuhnya sampai ke pinggir ranjang. "Maksudmu apa? Bikin aku baper? Mau pamer mutusin cowok seenteng membuang remahan rengginang?".
"Oala Mel, jangan emosi begitu. Nasib kita sama sekarang ini. Patah hati!"
Duh, mengapa pula seperti ada yang menggores dadaku. Pedih. Jadi ingat lagi kepada Bian yang meninggalkanku untu menikah dengan Sarah.
Aletta menggenggam tanganku. "Sorry, Mel. Tetapi patah hati itu sejarah hidup yang harus dirayakan. Memang sih awalnya perih dan sakit. Ditolak, dicaci, dianggap gagal atau pun ditertawakan. Namun patah hati mengajarkan bahwa kita bukan siapa-siapa di dunia ini."
Ia turun dari ranjang, mengambil air minum lalu memberikannya kepadaku.
"Mama tak menyukai Samsul. Katanya kami berbeda. Dari nama saja sudah tidak balance. Aletta dan Samsul. Kalau sudah menikah nanti namaku menjadi Aletta Dyan Kumala Samsul. Gak cocok 'kan."
Aneh! Ibu dan anak yang sama uniknya. Jika orang lain menangis bombay karena patah hati, Aletta malah membuat perayaan.
"Semula aku tidak setuju dengan Mama. Aku bertekad akan memperjuangkan cintaku dengan Samsul. Dengan kawin lari misalnya. Tetapi Samsul menolak. Begini katanya , jangan melawan orang tua, berdosa. Lebih baik kita menunggu sambil saling memantaskan diri. Kita akan saling menabung rindu sampai waktu yang tepat itu tiba." Aletta mengambil toples keripik pisang, mulai memakannya satu persatu. Ada yang berbeda di raut wajahnya. Sepertinya ia sedih tetapi berusaha mengingkarinya.
"Terus mengapa malah kamu memutuskannya?" tanyaku.