Kami melaju terus, hingga hampir sampai di mulut gang rumah Pak Ri. Deg....! Hatiku berdesir ketika kulihat ada bendera kematian yang terpasang di tembok pagar rumah di ujung gang rumah Pak Ri. Mungkinkah...? Ah...! Cepat-cepat kutepis pikiran buruk tentang Pak Ri.Â
Saat memasuki gang yang tidak seberapa panjang itu, tatapan mataku langsung tertuju ke sebuah rumah sederhana, yang terletak di pojok paling ujung. Banyak kursi berjajar tak beraturan di depannya.Â
Tak ayal lagi, hal ini membuat dadaku terasa penuh, sesak, dan tanpa terasa mataku mulai basah. Pak Ri...? Mungkinkah Pak Ri yang meninggal? Kami pun bergegas turun tepat di depan rumah duka itu. Tampaknya masih baru kejadiannya. Kursi-kursi masih berjajar di depan rumah.Â
Suasana tergambar seperti baru saja selesai acara pemakaman seseorang yang meninggal. Karena di sebuah pojok halaman terdapat keranda yang sudah kosong, dan tampak beberapa orang antre membasuh kakinya, seperti yang biasa dilakukakan orang-orang yang baru saja memakamkan jenazah.
Kami berempat pun mulai memasuki halaman rumah tersebut.
"Assalaamualaikum...!" Ucapku mendahului yang lain.
"Waalaikum salam...! Silakan masuk, Ibu-ibu....!" Jawab seorang ibu muda, kira-kira 40 tahunan.
Aku dan teman-temanku masih berdiam diri, tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Kami lebih banyak mendengarkan cerita yang disampaikan ibu muda tadi, sambil menebak-nebak siapa sebenarnya yang meninggal. Sampai  akhirnya, pertanyaan di benak kami masing-masing terjawab oleh ucapan ibu muda, yang ternyata anak bungsu Pak Ri.
"Ibu-ibu, mohon dimaafkan segala kesalahan Bapak, ya...!"
Tak ayal lagi, meskipun kami sudah menduga-duga, kalimat itu membuat kami kaget juga. Namun, seperti sudah janjian, kami diam, seolah-olah sudah tahu. Beberapa saat kemudian, kami pun pamit pulang.
***