"Pak Ri...?" tak urung kuucapkan juga nama laki-laki itu setengah tidak percaya. Laki-laki itu pun mendongakkan kepalanya. Wajahnya datar, seperti tidak pernah terjadi apa-apa terhadap dirinya.
"Nggih, Buk...!" Jawabnya lirih.
"Masuk, Pak...!" ajakku, mempersilakan Pak Ri untuk masuk.
"Nggih, Buk, matur nuwun  Di sini saja...!"
Setelah kuletakkan tas dan barang belanjaanku, kupanggil suamiku untuk njagongi Pak Ri di teras rumahku. Dan ternyata memang terasa adem, lantaran semilir angin dari arah selatan seolah menjadi kipas raksasa yang mampu mendatangkan hawa sejuk di saat cuaca panas seperti sekarang ini.
Dengan rasa penasaran aku keluar ke teras rumah untuk ikut njagongi Pak Ri. Sambil kusuguhkan secangkir kopi dan kudapan seadanya.
"Ke mana saja selama ini, Pak Ri...? Saya mencari sampeyan, sampai celingukan ke mana-mana kok nggak kelihatan. Saya tanyakan ke tetangga juga nggak ada yang tahu." Pertanyaanku beruntun.
"Anu, Buk...,ternyata Pak Ri diajak sama anaknya yang tinggal di luar kota ..." Sahut suamiku yang rupanya sudah mengorek keterangan dari Pak Ri selama ngobrol tadi. Seperti biasanya, Pak Ri tidak banyak komentar, paling-paling hanya tersenyum plengeh.
"Waah...enak ya, Pak Ri...! Sampeyan bisa istirahat. Nggak perlu nyabit rumput. Sudah waktunya sampeyan istirahat, tinggal menikmati hasilnya." Sahutku, seolah tidak memberi kesempatan pada Pak Ri untuk menjawab atau berkomentar.
"Nggak enak, Bu...! Kalau ikut anak itu, apa-apa nggak boleh, apa-apa nggak boleh. Badan saya jadi pegel-pegel, nggak gerak sama sekali." Lagi-lagi Pak Ri menjawab dengan intonasi yang sangat tenang.Â
"Apalagi, saya masih sanggup untuk mencari nafkah, meskipun penghasilan tidak besar, tapi cukuplah bagi saya yang hanya tinggal sendirian". Imbuhnya. "Selain itu, mereka sudah punya kewajiban sendiri-sendiri, kasihan kalau bebannya harus bertambah dengan kehadiran saya.