Mohon tunggu...
Nurfaza Aula
Nurfaza Aula Mohon Tunggu... Guru - Be a Good Person, menjadi pribadi yang lebih baik

Seorang pembelajar yang berusaha untuk terus dapat belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori Konstruktivistik dalam Pembelajaran PAI

11 Februari 2020   19:28 Diperbarui: 11 Februari 2020   20:08 4601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konstruksi berarti bersifat membangun. Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya dengan bantuan fasilitasi orang lain.

Teori konstruktivisme merupakan suatu teori yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget yang menegaskan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. 

Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran, sedangkan akomodasi, adalah menyusun kembali struktur pikiran, karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi, 1988:133).

Teori konstruktivisme juga merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Konstruktivisme merupakan komponen pertama konsep belajar mandiri. Landasan konsep kegiatan belajar yang berlandaskan paradigma ini yaitu penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengolah informasi yang masuk, sehingga terbentuk pengetahuan baru menuju pembentukan sesuatu kompetensi yang dikendaki pembelajar.

Dalam hal ini, pengertian belajar yaitu suatu aktivitas atau proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Konteks memperoleh pengetahuan, menurut pemahaman sains konvensional, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman (experience). Pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan (knowledge). Namun, setelah lahir teori kognitivisme, definisi pengetahuan seperti ini mengalami perubahan. Sejumlah fenomena selalu ada dalam pengalaman manusia, sehingga pengetahuan terbangun dari sekumpulan fakta-fakta[1].

 Pemikiran filosof Giambattista Vico merupakan pemikiran paling awal tentang paradigma konstruktivisme ketika ia mengatakan bahwa: "Manusia hanya akan memahami hal-hal yang ia bangun sendiri".[2] Maksudnya yaitu pengetahuan baru hanya dapat dipahami dengan kacamata pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. 

Menggunakan kacamata untuk melihat pengetahuan baru kemudian membangun pengetahuan baru hasil dari olahannya sendiri. Seseorang akan mengolah pengetahuan ketika ia memperoleh pengetahuan baru yang didapatkannya. Sehingga, ia tidak lagi dianggap sebagai pihak yang begitu saja menerima pengetahuan, tetapi terdapat proses mengolah sebelum memahami.

Oleh karenanya, pemikiran tentang paradigma baru menempatkan siswa sebagai komponen penting dalam proses pembelajaran dalam pendidikan. Selain hal di atas, Vico juga menjelaskan bahwa "mengetahui" berarti "mengetahui bagaimana membuat sesuatu". 

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa seseorang baru mengerahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Sayangnya, Vico menurut banyak pengamat tidak membuktikan teorinya.

Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan hilang. Kemudian Piaget menuliskan gagasannya tentang konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar melebihi gagasan Vico, tidak jelas apakah gagasan Piaget dipengaruhi oleh Vico atau tidak.[3]

Sumber : kampudesa.or.id
Sumber : kampudesa.or.id
                                                                                                                           Karakteristik Teori Pembelajaran Konstruktivistik

Yager menjelaskan tiga belas karakteristik pembelajaran konstruktivistik dari dua segi, yaitu segi pembelajar/pendidik (teachers) dan peserta didik (learners)[4]. 

Pendidik konstruktivistik memiliki karakteristik sebagai berikut: 

(1) pendidik konstruktivistik meminta pertanyaan dan ide peserta didik, 

(2) pendidik konstruktivistik menerima dan mendorong ide-ide yang dibuat/ditemukan oleh peserta didik, 

(3) pendidik konstruktivistik mendorong kepemimpinan, kerjasama, pencarian informasi, dan presentasi ide-ide pebelajar, 

(4) pendidik konstruktivistik memodifikasi strategi pembelajaran mereka berdasarkan pikiran, pengalaman, dan minat pebelajar, 

(5) pembelajar konstruktivistik menggunakan bahan-bahan tercetak yang sama seperti dari ahli untuk memperoleh informasi lebih, 

(6) pendidik konstruktivistik mendorong diskusi dengan cara meminta ide-ide baru dari pertanyaan dan jawaban pebelajar, 

(7) pendidik konstruktivistik mendorong atau meminta prediksi pebelajar atas penyebab dan pengaruh dalam hubungannya dengan kasus dan perisitiwa tertentu, 

(8) pendidik konstruktivistik membantu pebelajar untuk menguji ide-ide mereka sendiri, 

(9) pendidik konstruktivistik meminta ide-ide peserta didik, sebelum peserta didik dikenalkan dengan ide dan bahan-bahan pembelajaran, 

(10) pendidik konstruktivistik mendorong pebelajar pada tantangan konsep dan ide-ide yang lain,

(11) pendidik konstruktivistik menggunakan strategi pembelajaran kooperatif melalui interaksi peserta didik, sharing ide, dan tugas-tugas belajar, (12) pendidik konstruktivistik mendorong peserta didik menghormati dan menggunakan ide-ide orang/teman lainnya melalui refleksi dan analisis, dan 

(13) pendidik konstruktivistik memungkinkan penyusunan kembali ide-ide peserta didik melalui refleksi terhadap fakta/petunjuk dan pengalaman baru. 

Selanjutnya Brooks dan Brooks dalam Kim [5] mengemukakan ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut: 

(1) kurikulum dijelaskan dari keseluruhan ke bagian, dengan menekankan pada konsep besar, 

(2) sangat menghargai (menilai) peserta didik yang terdorong untuk bertanya, 

(3) aktivitas kurikulum sangat tergantung pada sumber-sumber data utama dan bahan-bahan manipulatif, 

(4) peserta didik dipandang sebagai pemikir (thinkers), 

(5) pendidik secara umum bertindak dalam cara-cara interaktif, mediasi lingkungan (mediating environment) untuk peserta didik, 

(6) pembelajar meminta sudut pandang peserta didik (student's point of view) untuk memahami konsepsi-konsepsi peserta didik saat ini untuk digunakan dalam pembelajaran berikutnya, 

(7) asesmen terhadap belajar pesereta didik menyatu dengan pengajaran dan terjadi melalui pengamatan pendidik pada peserta didik dan melalui pertunjukan (exhibitions) dan portofolio peserta didik, dan 

(8) peserta didik bekerja dalam kelompok.  

Berdasarkan penjelasan Yager dan Brooks  di atas dapat diambil pemahaman bahwa pembelajaran konstruktivistik memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka dan kebebasan dalam mengembangkan ketrampilan berfikir. Berkaitan dengan ini, beberapa proposisi dengan implikasi didalamnya dapat dijadikan acuan pendidik dalam pembelajaran, yaitu: (1) bahwa belajar merupakan upaya mengkonstruksi hubungan dan fenomena alam.

[6] Implikasinya adalah pendidik perlu membangkitkan masalah yang menantang kepada peserta didik; (2) pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi (misunderstanding) sangat menentukan efisiensi dan keefektifan proses dan hasil belajar.[7] 

Implikasinya adalah pendidik perlu menggali pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi atau misunderstanding pebelajar sebelum pembelajaran berjalan lebih jauh serta menghubungkan pengetahuan awal dengan konsep baru yang akan dipelajari; (3) belajar merupakan proses pemaknaan informasi baru, penyusunan pengetahuan dari pengalaman kongkrit, aktivitas kolaboratif, refleksi, dan interpretasi.[8] Implikasinya adalah pebelajar perlu didorong belajar lewat diskusi, berdebat, berfikir kritis, dan memunculkan berfikir divergen; (4) kebebasan menjadi unsur utama dalam lingkungan belajar. Implikasinya adalah pebelajar perlu diberikan waktu yang cukup atau luas terkait dengan tugas, balikan, dan perbaikan dalam belajar; (5) motivasi mempengaruhi belajar dan unjuk kerja. Implikasinya adalah pebelajar perlu diberi motivasi dalam mengerjakan tugas-tugas actual/nyata dalam kehidupan sehari-hari yang disesuai- kan dengan pengetahuan dan pengalaman mereka; 

(6) belajar memiliki aspek sosial. Implikasinya adalah pebelajar perlu diberikan tugas-tugas yang melibatkan kerja kooperatif dalam kelompok yang heterogen dengan peran yang berbeda-beda. 

Dengan kesempatan yang luas yang diberikan kepada pebelajar agar secara aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka dan kebebasan dalam mengembangkan keterampilan berfikir, maka hal ini berimplikasi terhadap sistem asesmen dalam pembelajaran konstruktivistik

Asesmen dalam pembelajaran konstruktivistik bukanlah suatu penilaian atau tes yang terpisah pada akhir pembelajaran, tetapi terintegrasi ke dalam proses belajar itu sendiri. 

Tujuan asesmen bukan untuk menemukan seberapa banyak informasi yang dipelajari pebelajar dapat diingat, tetapi lebih kepada untuk memajukan proses belajar dan untuk menemukan jenis perubahan kualitatif apa dalam pengetahuan pebelajar serta seberapa dalam pemahaman pebelajar atas konsep-konsep yang mereka pelajari. 

Asesmen dalam konstruktivistik didasarkan pada tugas-tugas otentik yang menekankan kepada proses belajar dan mendorong pebelajar terlibat dalam aktivitas yang reflektif. 

Pengertian Pembelajaran dalam Pendidikan Agama Islam

Penyelenggaraan pembelajaran merupakan salah satu tugas utama guru. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dimyati dan Mujdiono bahwa pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditunjuk untuk membelajarkan siswa.[9] Adapun pembelajaran berasal dari kata dasar "ajar", yang artinya petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui. 

Dari kata ajar ini lahirlah kata kerja "belajar", yang berati berlatih atau berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu dan kata "pembelajaran" berasal dari kata "belajar" yang mendapat awalan pem- dan akhiran -an yang merupakan konflik nominal (bertalian dengan prefiks verbal meng-) yang mempunyai arti proses.[10]  

Adapun Pendidikan Agama Islam, menurut Omar Muhammad Al-Taumy al- Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan alam sekitarnya melalui proses pendidikan. Perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islami.[11] 

Dalam GBPP PAI 1994 sekolah umum, dijelaskan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha secara sadar untuk menyiapkan siswa dalam menyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan Agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

Dan menurut Zakiyah Drajat Pendidikan Agama Islam ialah : "Usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life)".[12]  

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989, Pendidikan Agama Islam adalah usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran Islam, bersifat inklusif, rasional, dan filosofis dalam rangka menghormati orang lain dalam hubungan kerukunan dan kerjasama antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan Nasional.

[13] Belajar merupakan suatu proses yang berjalan tiada henti, yang dilakukan setiap waktu, di setiap tempat dan kesempatan. Secara formal, dan dilembagakan, belajar dilakukan di sekolah dalam rangka membentuk manusia yang utuh, sehat jasmani dan rohani.[14]  

Hal yang cukup memprihatinkan adalah meskipun belajar merupakan bagian yang tidak dapat ditawar lagi dalam kehidupan manusia, seringkali kegiatan belajar menjadi hal yang tidak menarik perhatian.

 Hal ini disebabkan, rasa malas dan rendahnya motivasi belajar yang berdampak pada prestasi siswa. Oleh karenanya, pendidikan agama Islam dilakukan untuk menyiapkan anak didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan

 Aplikasi Pembelajaran Konstruktivistik dalam Pembelajaran PAI

 

Agar strategi pembelajaran konstruktivistik dapat diimplementasikan dalam pembelajaran secara tepat, perencanaan pembelajaran konstruktivistik memerlukan cara yang menampakkan langkah-langkah secara jelas pula. Salah satu cara tersebut adalah siklus belajar 5E.

Siklus belajar merupakan langkah-langkah pembelajaran yang menekankan pengalaman sebagai bagian penting dalam pembelajaran yang sesuai dengan teori konstruktivisme sosial.

[15] Siklus belajar adalah cara merencanakan pembelajaran yang disusun dalam langkah-langkah tertentu, yang pada awalnya diaplikasikan dalam pembelajaran sains yang dirancang sesuai dengan teori kontemporer tentang bagaimana pebelajar harus belajar.[16] 

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Gerber, et.al. bahwa siklus belajar banyak diaplikasikan dalam pembelajaran.[17] Oleh karena pembelajaran konstruktivistik lebih berpusat kepada pebelajar (learner-centered instruction) yang menekankan bagaimana pebelajar membangun pengetahuan dan pemahaman yang mereka konstruk sendiri dalam situasi sosial secara aktif dan kolaboratif, maka strategi pembelajaran konstruktivistik dapat menggunakan tahap-tahap dalam siklus belajar 5E.  

Hal ini sesuai dengan penjelasan Miami Musium of Science yang menyatakan bahwa siklus belajar 5E merupakan siklus pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik dalam proses belajar konstruktivistik di mana struktur lingkungan belajar dirancang memberikan banyak kesempatan kepada pebelajar untuk beraktivitas dan mendorong pendidik dalam membangun pemahaman.[18] 

Senada dengan Miami Musium of Science, Dabbell menyatakan bahwa siklus belajar 5E merupakan siklus belajar yang memiliki langkah-langkah yang mudah untuk diaplikasikan karena didasarkan pada prinsip-prinsip konstruktivisme sosial dan penilaian aktif (active assessment).[19] 

 Siklus belajar 5E ini merupakan penyempurnaan yang dilakukan oleh Bybee dari siklus belajar 3 fase atau langkah, yang pada awalnya dikembangkan oleh Robert Karplus dan koleganya berdasarkan teori belajar Piaget yang berbasis konstruktivisme, yaitu langkah eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application).[20]  

Pada siklus belajar 5E, ditambahkan langkah Engage sebelum Explore dan ditambahkan pula langkah Evaluate pada bagian akhir siklus. Pada siklus ini, langkah concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi explain dan elaborate. Oleh karenanya, disebut siklus belajar 5E (Engage, Explore, Explain, Extend/Elaborate, dan Evaluate).

 Adapun langkah-langkah siklus belajar 5E sebagaimana yang dijelaskan Miami Musium of Science yaitu: (1) engage, (2) explore, (3) explain, (4) extend/elaborate, dan (5) evaluate.

 Aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada kelima langkah siklus belajar 5E adalah sebagai berikut. Pertama, Engage (menarik minat, keingintahuan, keterlibatan), di mana pembelajar mengases pengetahuan awal pebelajar dan membantu mereka menjadi terlibat dalam konsep baru dengan membaca, mengajukan pertanyaan, melakukan demonstrasi, atau melakukan beberapa aktivitas singkat/pendek yang memajukan keingintahuan dan menimbulkan pengetahuan awal pebelajar.

Kedua, Explore (eksplorasi), di mana pebelajar bekerja di dalam tim kolaboratif untuk menyelesaikan aktivitas yang membantu mereka menggunakan pengetahuan awal guna menghasilkan ide-ide, menggali pertanyaan-pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan jawaban, serta mendesain dan melakukan inkuiri.

 Ketiga, Explain (menjelaskan), di mana pebelajar diberi kesempatan untuk menjelaskan pemahaman mereka pada konsep yang sedang dikaji. Mereka dapat menjelaskan dengan membuat presentasi, berbagi (sharing) ide dengan yang lain, mereview penjelasan pengetahuan dan membandingkannya dengan pemahaman mereka sendiri, dan atau mendengarkan penjelasan dari pembelajar yang membantu mereka ke arah pemahaman yang lebih mendalam. 

Keempat, Extend/Elaborate (memperluas/memperdalam), di mana pebelajar memerinci atau memperdalam pemahaman mereka pada suatu konsep dengan melakukan aktivitas tambahan. Mereka dapat melakukan kembali aktivitas, projek, atau ide lebih awal, atau melakukan aktivitas yang memerlukan aplikasi konsep. Fokus pada tahap ini adalah menambah luas dan dalamnya pemahaman mereka. 

Kelima, evaluate (evaluasi), di mana pembelajar mendorong pebelajar untuk mengases seberapa jauh pemahaman dan kemampuan mereka terhadap suatu konsep, serta memberikan kesempatan pula kepada pembelajar untuk mengevaluasi perkembangan pebelajar ke arah pencapaian tujuan yang diharapkan. 

Relevansi Teori Konstruktivistik dengan Pendidikan Agama Islam

 Dewasa ini, konstruktivisme merupakan landasan yang digunakan dalam dunia pendidikan untuk membetuk kegiatan belajar mengajar yang aktif. Pendidikan Islam merupakan salah satu wilayah yang memanfaatkan teori belajar konstruktivis untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan mandiri, mengaktifkan belajar anak didik untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri, dan pendidik menjadi inovatif dalam mengajarnya.

 

Mengingat bahwa teori belajar konstruktivisme bukan berasal dari pemikiran orang muslim maka perlu kiranya diperhatikan urgensi dan relevansinya sebelum diterapkannya dalam pembelajaran PAI. Persamaan dalam teori konstruktivisme dan teori pendidikan Islam menunjukkan adanya relevansi di antara keduanya. Pandangan konstruktivisme tentang belajar ada kesesuaiannya dengan pendidikan Islam. 

Teori belajar konstruktivisme lebih fokus pada aspek pengetahuan (kognitif). Hakikat belajar dipahami sebagai proses aktif siswa untuk mengkonstruk pengertian dan pemahaman mereka.

Sedangkan dalam pandangan pendidikan Islam, belajar dipahami secara komprehensif meliputi pengembangan seluruh aspek kepribadian peserta didik. Mengajar menurut konstruktivistik merupakan upaya guru membantu siswa dapat belajar secara optimal. Peran guru sebagai fasilitator dan motivator belajar. 

Dalam pandangan pendidikan Islam, disamping sama seperti pandangan konstruktivisme, mengajar juga berarti memberi contoh perilaku. Oleh karenanya, guru selain sebagai fasilitator dan motivator belajar, ia juga harus berperan sebagai model yang baik.[21]

Tingkah laku bagi seorang guru PAI merupakan teladan bagi siswa-siswinya. Apa yang dilakukan oleh guru PAI akan selalu diperhatikan dan dinilai bagi siswa. Apabila seorang guru mampu memberikan contoh baik dalam bertindak dan mampu mengajak siswanya dalam hal kebaikan, maka guru tersebut dapat dikatakan berhasil. Hal penting bagi ajaran agama Islam yaitu siswa mampu mengamalkan dari setiap ajaran agama Islam dalam kehidupan mereka. 

Guru PAI juga harus mampu menyesuaikan diri dengan dunia yang semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Guru PAI yang konstruktivis mampu menghubungkan dengan baik antara ajaran agama yang tekstual dengan kehidupan yang konstekstual. Kondisi perkembangan kognitif dan pengalaman siswa yang selalu bertambah akan memposisikan diri mereka dalam lingkungan masyarakat.Oleh karenanya, pemikiran kritis dan dinamis dalam memahami perkembangan IPTEK menjadi hal penting bagi guru PAI. 

Pemahaman perkembangan ilmu pengetahuan tersebut akan membawa pada kemajuan pembelajaran PAI. Teori konstruktivisme dapat diterapkan dalam pembelajaran PAI, karena mempunyai manfaat yang cukup besar bagi guru ataupun siswa. Meskipun teori ini bukan terlahir dari pemikiran orang muslim, tapi dapat digunakan dalam mencapai tujuan pembelajaran PAI.

 REFERENSI:

[1]Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 9

[2] Haris Mudjiman, Belajar Mandiri, (Surakarta: UNS Press, 2009), hal. 23

[3] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius,2001), hlm. 24-25

[4] 5R.E. Yager, "The Constructivist Learning Model: Toward Real Reform in Science Education', dalam The Science Teacher, 56(6, 1991), hlm. 52-57

[5] S. Kim, "The Effect of a Constructivist Teaching Approach on Student Academic Achievement, Self-Concept, and Learning Strategies", dalam Asian Pacific Education Review, Vol. 6, No. 1, 2005, hlm. 7-19

[6] G. Brooks, dan M.G. Brooks, The Case for Constructivist Rooms. (Virginia:Association for Supervision and Curriculum Development, 1993)

[7] 8R. Duit, "Preconception and Misconception" dalam E.D. Corte, dan F. Weinert (eds.): International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology (New York:Pergamon,1996), hlm. 455-459

[8] N. S. Degeng, "Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan Menuju Kesemrawutan" Pidato Pengukuhan Guru besar ke-46. Departemen pendidikan dan kebudayaan, Institut keguruan dan Ilmu pendidikan Malang, 1998.

[9] Dimyati dan Mujdiono, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta:PT Rineka Cipta, 1999),hlm. 114

[10] Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 1990), hlm. 664

[11] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 13

[12] Zakiah Darajdat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:Bumi Aksara, 1996), hlm. 86.

[13] Aminnudin, dkk, Membangun Karakter dan Kepribadian Melalui Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hlm. 1

[14] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukkan Pemikiran da Kepribadian Muslim, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 4

[15] M.D. Roblyer, Integrating Educational Technology into Teaching (Upper Saddle River: Pearson Merrill Prentice Hall, 2006)

[16] A.W. Lorsbach, "The Learning Cycle as a Tool for Planning Science Instruction" (Online).(http://coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.htm, diakses 23 November 2017)

[17] 3B.L. Gerber, at.al.," Site-Based Professional Develompent: Learning Cycle and Technology Integration, Proceeding of the Annual Meeting of the Association of the Education of Teacher in Science. Costa Meza, CA. 23 November 2017, (Online),(http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/recordDetail?accno=ED47298).

[18] Miami Musium of Science. "Constructivism and the Five E's."

 (Online),(http://www.miamisci.org/ph/lpintro5e.htm, diakses 23 November 2017)

[19] Dabell, "The 5Es." (Online), (https://www.ncetm.org.uk/blogs/1161, diakses 23 November 2017).

[20] 6J.W.Renner, et.al., "The Necessity of Each Phase of The Learning Cycle in Teaching High School Physics." Journal of Research in Science Teaching. Vol 25 (1, 1988), hlm. 39- 58

[21] Sukiman, Teori Pembelajaran dalam Pandangan Konstruktivisme dan Pendidikan Islam dalam google.com. Akses tanggal 23 November 2017.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun