Bunyi handphone yang sedari memekak teliga tidak aku hiraukan, aku masih berjibaku dengan pemikiranku ada apa dengan rumah tanggaku. Mengapa tidak ada tanda -- tanda pengkhianatan dari Bang Azam, tapi yang aku lihat tidak mungkin membohongiku, lelah akhirnya aku tertidur  menyemput mimpi dalam ketidak sadaranku.
Bunyi ketukan di pintu membuatku membuka netra yang perit karena dalam mimpipun aku menangis. Dengan badan yang lemah karena dari semalam sore kosong membuat langkahku tertatih menuju pintu, setelah sampai di pintu aku membuka kuncinya dan menekan knop pintu untuk melihat siapa yang datang disaat aku tidak ingin menjumpai sesiapapun saat ini.
"Sayang, jangan membuat Abang mati memikirkan Salwa semalaman tidak pulang." Aku tidak kuasa untuk menolak dekapan Bang Azam, akhirnya semuanya gelap segelap nuasa pernikahanku saat ini.
***
"Wa, bangun Salwa jangan buat abang cemas." Perlahan suara itu masuk kependengaranku, membuatku membuka mata, warna putih mendominasi penghihatanku, mengalihkan pandangan dari warna putih langit kamar aku mencari sumber suara, ternyata Bang Azam di duduk di samping sambil mengemggam tanganku, melihat aku membuka mata Bang Azam bangun mengecup keningku, setelah mengecup keningku Bang Azam duduk di tempat semula sambil terus mencium tanganku yang berada dalam genggamannya.
"Wa, Abang minta maaf, seharusnya ini sudah lama Abang ceritakan tapi karena permintaan Bunda, Abang harus menyembunyikannya dari Salwa." Deg, degup jantung berpacu mendengar kalimat Bang Azam, Ya Allah aku tidak sanggup mendengarnya satu persatu air mata mulai turun membasahi pipiku.
"Sayang jangan menangis, maafkan Abang. Sungguh Abang tidak bermaksud menyakiti Salwa. Dengarkan Abang dulu, berhenti nangisnya sayang." Biasanya aku merasa senang jika Bang Azam memujukku jika aku merasa sedih, tapi saat ini hatiku bagaikan tercabik mendengar suara yang keluar dari mulutnya, tangisku bertambah -- tambah karenanya.
Bang Azam bangun, merengkuhku dalam pelukkan yang selalu membuatku nyaman, tapi sekarang aku merasa terhimpit ribuan ton batu dalam dekapan Bang Azam, berusaha melepaskannya tapi tak aku tidak ada kekuatan, aku hanya bisa pasrah dengan luka yang mengangga saat ini.
"Wa, dengarkan Abang. Elma anak Nisam, ingat Nisam sepupu Abang yang sudah seperti adik Abang. Salwa pernah berjumpa dengannya. Nisam meninggal tiga tahun yang lalu , Elma waktu itu masih bayi. Entah kenapa Elma hanya Abang yang bisa menenangkannya. Sejak itu jika Elma sakit Abang terpaksa, Abang bagaikan obat yang mujarab untuk Elma, tapi hanya untuk Elma. Abang ,diminta Bunda untuk membantu Najwa istri Nizam menenangkan anaknya hanya itu. mungkin ini yang namanya takdir, Abang baru mengatakan pada Elma jika Elma punya Bunda lain selain Mamanya. Abang sudah memutuskan untuk mengadopsi Elma menjadi Anak kita, Bunda dan Najwa tidak keberatan. Jadi ini murni karena Elma apalagi mendengar cerita Najwa, Elma sangat dekat dengan Salwa." Pernyataan Bang Nizam membuat tangisku mereda, aku mulai mencerna perkataannya.
"Papa, Bunda kenapa." Suara gadis kecil yang membuatku rindu tiba -- tiba menguak pintu kamar rawat inapku, dengan wajah imutnya dia menghampiriku dan meminta Bang Nizam untuk memangkunya supaya bisa memandangku dengan jelas.
"Bunda menangis, sakit sekali ya Bunda. " Ucapnya sambil tangan mungilnya menyentuh wajahku. Â