Netraku tak lepas dari mereka, bocah kecil yang berlari kian kemari tanpa ada rasa lelah. Sudah lebih dua jam aku memperhatikan mereka, netraku tiada lelah sampai akhirnya salah satu dari mereka entah karena apa terkulai lemah tak berdaya, kakiku tanp komando berlari mendapatkannya.
"Sayang, bangun nak." Beberapa kali tanganku mengusap wajah kecil yang terkulai tanpa kesadaran
"Ada apa, apa yang terjadi? Elma, elma." Entah darimana sosok perempuan sebaya denganku mengambil alih yang berada dalam pelukanku.
"Ada apa dengan anak Saya?" Ucapnya sedih sambil menatapku
"Saya tidak tahu, tiba -- tiba saja dia jatuh ketika bermain bersama teman -- temannya." Ucapku memberi penjelasan.
"Mari saya antar ke rumah sakit." Â Ajakku spontan dengan wajah mengandung kecemasan tingkat tinggi tentunya.
Ajakkanku diterima, langkah kaki kami sama menuju mobil Alya yang selalu menemani kemanapun aku pergi.
***
Namanya Elma Safira, cantik secantik wajah imutnya apakah mirip Mamanya yang juga cantik ataupun mirip Papanya begitu dia berkata ketika sore tadi kami mengantarnya ke rumah sakit, yang entah karena apa sanggup membuatku menghapal jadwal bermainnya pada mall di kotaku. Pertemuan tidak disengaja sebulan yang lalu membuatku merasa langsung jatuh cinta kepadanya.
"Assalamualaikum." Suara yang sudah hampir empat tahun menjadi teman tidurku dalam menjemput mimpi indah.
"Walaikumsallam." Bergegas langkahku menjemputnya diambang pintu kamar.
"Tumben, nunggunya di kamar. Lagi sakit sayang." Aku mengangguk menjawab pertanyaanya.
"Hanya capek Bang." Sambil mengambil tas dan menyeretnya duduk di sofa yang berada di kamar tidur kami.
"Bang, kasihan sekali Elma, masih kecil sudah penyakitan." Ucapku sedih
"Elma siapa?" ucap Bang Azam bingung
"Eh, lupa itu gadis kecil di Mall tadi sore." Bang Azam mendengarkan celotehku dengan tidak berminat.
"Sudah ceritanya, buatkan Abang minum, boleh?" aku tergangga mendengar permintaanya
"Maaf, sebentar Salwa buatku." Berlalu meninggalkan Bang Azam di kamar kami.
***
Sore ini aku sudah duduk di tempat menanti kedatangan Elma, gadis kecil yang memikat hatiku. Sudah seminggu sejak kejadian dia ku antar ke rumah sakit, kami belum berjumpa kembali. Semoga hari ini aku melihatnya kembali.
Sudah dua jam tapi aku menanti, tapi Elma tak kunjung tiba. Aku tidak bisa menunggu lagi jangan sampai Bang Azam tiba dulu di rumah, sejak aku menceritakan Elma kepadanya Bang Azam sepertinya tidak tertarik.
"Sudah anak orang jangan diributkan, Abang penat mendengarkan cerita tentangnya.
Aku tercegat mendengar penuturan Bang Azam, tak biasanya Bang Azam seperti itu, apakah cerita tentang anak kecil biasa menarik minat Bang Azam, apatah lagi sudah empat tahun kami menikah belum ada tanda -- tanda akan kehadiranya.
Netraku sayu, mungkin Elma belum sehat betul karena itu dia tidak bermain di sana sekarang, netra memadang ke tempat permainan anak yang selalunya ada Elma di sana.
Belum jauh langkahku dari tempat bermain aku mendengar celoteh yang sangat aku rindu seminggu ini.
"Pa, kenapa tidak setiap hari Papa bersama El dan Mama di rumah?" suaru lucu itu mengusik gendang telingaku.
Aku mencari arah datangnya suara, tapi hanya punggung Elma beserta ke dua orang tuanya saja yang bisa aku lihat dari tempatku berdiri, tidak mungkin aku menganggu kebersamaan mereka. Aku melanjutkan langkahku, sudah cukup bagiku mendengar celotehnya saja. sesampainya di tempat parkir aku meliha sosok Bang Azam yang tak jauh dariku memasuki mobil Rush putih miliknya, ada keperluan apa Bang Azam di pusat perbelanjaan ini, batinku.
Mobil kami melaju, dengan posisi mobil Bang Azam di depan, tak berselang lama mobil kami sudah sampai di rumah. Ada rasa keterkejutan di wajah Bang Azam, aneh melihat berada di belakangnya.
Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna, aku berjalan menuju ke mobil Bang Azam yang sedari tadi masih setia berdiri di samping mobilnya setelah melihat aku berada di belakang mobilnya.
"Assalamualaikum Bang, sakit? Jam segini sudah pulang kantor?" ucapku sambil meraih tangan Bang Azam untuk menciumnya tanda takzimku kepada suami.
"Mau ambil baju, selama dua hari Abang harus ke luar kota, urusan kantor." Penjelasan Bang Azam.
Seperti biasa setiap bulannya, Bang Azam pasti keluar kota selama dua atau tiga hari untuk mengurus keperluan kantor, tepatnya sejak tahun ke dua pernikahan kami.
"Biasanya pagi Bang berangkatnya, kenapa sekarang sore?" tanyaku kepadanya.
"Mau ikut, curiga?" ucapnya mengejek sambil mengodaku.
"Boleh ikut, besokkan minggu." ucapku berharap
"Senin, selasa libur mengajarnya?" bukannya menjawabku malah balik bertanya membuatku terdiam.
"Lucu aja pas liburku, abang tidak keluar kota." Ucapku pura -- pura merajuk.
"Wa jangan yang aneh -- aneh ya." Ucap Bang Azam sambil menatapku lekat.
Sambil terkekeh aku berjalan masuk rumah menuju kamar kami untuk menyiapkan baju buat Bang Azam.
***
Masih menunggu, sudah lebih dua minggu aku menunggu Elma. Ditemani minuman boba yang lagi trens sekarang ini. Memadang lekat tempat permainan anak sekali -- sekali kepalaku memandang ke kanan dan ke kiri mencari keberadaanya, menghembus napas dalam seperti hari ini aku harus menelan kekecewaan lagi.
Berdiri dari dudukku, melangkahkan kaki beranjak dari tempat ini. Sudah hampir pukul lima sudah lebih satu setengah jam aku duduk menantinya, langkahku terhenti ketika tanpa sengaja melihat sosok Bang Azam lani berjongkok menyetarakan tingginya dengan anak kecil di depannya.
Netraku menyepit, memfokuskan pandangan. Tidak ada salah bukankah Elma, wajah imut yang sedang aku cari keberadaanya. Langkahku mendekati mereka, belum juga sampai aku terkejut dengan wanita yang aku kenal sebagai Mama Elma dengan mesra memanggil Papa kepada Bang Azam. Langkahku terhenti mempehatikan mereka dengan degup jantung yang tiba -- tiba saja menyerangku sehingga aku kesulitan untuk bernapas.
"Bang." Hanya suara pekik kecil tapi bisa membuat Bang Azam mencari keberadaanku.
Aku bukan tipe yang suka mencari keributan di depan orang banyak, dengan tatapan netra yang seandainya bisa aku ingin menelan Bang Azam saat ini, penjelasan apa yang akan diberikannya atas semua yang dilakukannya dibelakangku selama ini, seandainya aku bukan seorang guru yang tidak memperdulikan etika sudah tentu aku akan mengamuk bagai singa yang diganggu kedamainya tapi aku memilih berlari sambil menghapus air yang turun deras membanjii pipiku.
Mobil merahku, seperti warna darah yang kini membanjiri hatiku berjalan laju menuju pantai, ya pantai satu -- satunya tempat jika aku merasa kecewa atau lelah dengan kehidupan ini.
Aku menghempaskan badanku tidak menghiraukan bajuku akan kotor atau tidak yang penting sekarang ini aku merasa perkahwinanku sudah dikotori oleh Bang Azam.
Entah berapa lama aku merenungi nasib pernikahanku, azan magrib berkumandang. Aku mengangkat badanku menuju mobil yang hanya tinggal sendirian tanpa ada kawannya lagi. laju mobil menuju masjid terdekat yang menjadi tujuanku, setelah mengunci pintu mobil aku melangkah lemah membawa persiapan sholat yang selalu ada di mobil.
Lama aku mengadu pada-Nya, segala sesak yang sedari tadi menyesakkan dada setelah melihat Bang Azam, sudah pukul Sembilan malam tapi aku bimbang untuk pulang ke rumah belum siap untuk menghadapi semuanya. Untuk pulang ke rumah Bunda juga tidak mungkin pasti banyak pertanyaan yang malah membuatku semakin kecewa, bagaimana tidak aku berkeras untuk  menikah dengan Bang Azam walaupun ada penolakan keras dari ke dua orang tuaku terutama Bunda.
"Sudah malam tidak pulang Nak." Ucapan penjaga masjid membuatku melepas lamunanku.
"Boleh saya menumpang tidur di masjid Pak." Entah apa yang membuatku sampai berbicara seperti ini.
"Di samping masjid ada kamar untuk menginap, tidur di sana saja Bu, mari saya antar.." Ada rasa lega mendengar penuturnya.
"Terima kasih Pak." Jawabaku lega, sudah banyak masjid menyediakan fasilatas menginap dengan pembayaran seiklasnya untuk membantu perawatan masjid. Aku berjalan mengikuti Bapak penjaga masjid.
"Ini kunci kamarnya, silakan Ibu istrirahat." Setelah mengucapkan itu, Bapak penjaga masjid berlalu dari hadapanku.
Menekan knop pintu, mengucapkan salam seperti kebiasanku ketika masuk ke dalam satu ruangan. Memandang sekeliling lumayan seperti home stay ada kamar mandi di dalam. Aku merebahkan diri di ranjang single yang tersedia, memandang langit kamar mencari celah dimana letak kesalahanku sampai Bang Azam berpaling dariku.
Bunyi handphone yang sedari memekak teliga tidak aku hiraukan, aku masih berjibaku dengan pemikiranku ada apa dengan rumah tanggaku. Mengapa tidak ada tanda -- tanda pengkhianatan dari Bang Azam, tapi yang aku lihat tidak mungkin membohongiku, lelah akhirnya aku tertidur  menyemput mimpi dalam ketidak sadaranku.
Bunyi ketukan di pintu membuatku membuka netra yang perit karena dalam mimpipun aku menangis. Dengan badan yang lemah karena dari semalam sore kosong membuat langkahku tertatih menuju pintu, setelah sampai di pintu aku membuka kuncinya dan menekan knop pintu untuk melihat siapa yang datang disaat aku tidak ingin menjumpai sesiapapun saat ini.
"Sayang, jangan membuat Abang mati memikirkan Salwa semalaman tidak pulang." Aku tidak kuasa untuk menolak dekapan Bang Azam, akhirnya semuanya gelap segelap nuasa pernikahanku saat ini.
***
"Wa, bangun Salwa jangan buat abang cemas." Perlahan suara itu masuk kependengaranku, membuatku membuka mata, warna putih mendominasi penghihatanku, mengalihkan pandangan dari warna putih langit kamar aku mencari sumber suara, ternyata Bang Azam di duduk di samping sambil mengemggam tanganku, melihat aku membuka mata Bang Azam bangun mengecup keningku, setelah mengecup keningku Bang Azam duduk di tempat semula sambil terus mencium tanganku yang berada dalam genggamannya.
"Wa, Abang minta maaf, seharusnya ini sudah lama Abang ceritakan tapi karena permintaan Bunda, Abang harus menyembunyikannya dari Salwa." Deg, degup jantung berpacu mendengar kalimat Bang Azam, Ya Allah aku tidak sanggup mendengarnya satu persatu air mata mulai turun membasahi pipiku.
"Sayang jangan menangis, maafkan Abang. Sungguh Abang tidak bermaksud menyakiti Salwa. Dengarkan Abang dulu, berhenti nangisnya sayang." Biasanya aku merasa senang jika Bang Azam memujukku jika aku merasa sedih, tapi saat ini hatiku bagaikan tercabik mendengar suara yang keluar dari mulutnya, tangisku bertambah -- tambah karenanya.
Bang Azam bangun, merengkuhku dalam pelukkan yang selalu membuatku nyaman, tapi sekarang aku merasa terhimpit ribuan ton batu dalam dekapan Bang Azam, berusaha melepaskannya tapi tak aku tidak ada kekuatan, aku hanya bisa pasrah dengan luka yang mengangga saat ini.
"Wa, dengarkan Abang. Elma anak Nisam, ingat Nisam sepupu Abang yang sudah seperti adik Abang. Salwa pernah berjumpa dengannya. Nisam meninggal tiga tahun yang lalu , Elma waktu itu masih bayi. Entah kenapa Elma hanya Abang yang bisa menenangkannya. Sejak itu jika Elma sakit Abang terpaksa, Abang bagaikan obat yang mujarab untuk Elma, tapi hanya untuk Elma. Abang ,diminta Bunda untuk membantu Najwa istri Nizam menenangkan anaknya hanya itu. mungkin ini yang namanya takdir, Abang baru mengatakan pada Elma jika Elma punya Bunda lain selain Mamanya. Abang sudah memutuskan untuk mengadopsi Elma menjadi Anak kita, Bunda dan Najwa tidak keberatan. Jadi ini murni karena Elma apalagi mendengar cerita Najwa, Elma sangat dekat dengan Salwa." Pernyataan Bang Nizam membuat tangisku mereda, aku mulai mencerna perkataannya.
"Papa, Bunda kenapa." Suara gadis kecil yang membuatku rindu tiba -- tiba menguak pintu kamar rawat inapku, dengan wajah imutnya dia menghampiriku dan meminta Bang Nizam untuk memangkunya supaya bisa memandangku dengan jelas.
"Bunda menangis, sakit sekali ya Bunda. " Ucapnya sambil tangan mungilnya menyentuh wajahku. Â
Aku tidak bisa berkata -- kata, dari arah pintu aku melihat Ibu mertuaku bersama Mamanya Elma memandagnku dengan senyum mengembang. Â Bunda menghampiri meraih tanganku
"Wa, bunda minta maaf. Nizam sudah Bunda anggap anak sendiri karena itu minta tolong  Nizam kasihan Elma masih terlalu kecil dan sering  bertanya tentang Ayahnya. Entah karena apa Elma sangat dekat dengan Nizam, jangan takut Najwa bukan istri Azam, sebenarnya pertemuan Elma dengan Salwa bunda yang mengaturnya, selama dua tahun ini kami selalu menyebut Salwa sebagai Bunda Elma karena itu ketika pertama bertemu dengan Salwa, Elma terlalu bahagia, sepanjang jalan pulang ke rumah Elma berceloteh tentang Salwa. Sampai -- sampai Elma jatuh sakit ketika kami tidak mengikuti keinginannya untuk bertemu dengan Salwa. Salwa ingat kejadian ketika Elma pingsan bukan. Bunda terus saja bercerita setelah sebelumnya Bang Nizam membawa keluar Elma sehingga Bunda leluasa bercerita kepadaku, sementara Najwa hanya mendengarkan dan sekali -- sekali melempar senyum kepadaku.
"Maafkan Najwa kak, tentu kakak terkejut ketika pertama kali kita bertemu dan mendengar Najwa memanggil Bang Nizam dengan Papa, tapi kakak jangan risau sebentar lagi Najwa akan menikah dan pindah ke Malaysia, Najwa titip Elma dengan kakak. Aku menatap Najwa tak percaya bagaikan dogeng seorang Ibu akan menitipkan anaknya kepadaku.
Tak lama pintu terbuka sosok Bang Nizam dan Elma Nampak, tidak hanya mereka tapi ada satu lagi sosok lelaki bersama mereka.
"Kenalkan ini calon Najwa kak." Ucap Najwa malu -- malu.
"Aslam kak." Suara tegas yang sama dengan suara Bang Nizam
Aku masih mengeleng -- geleng kepalaku tidak percaya dengan semua ini, ternyata kumpulan rindu dalam doa malamku terjawab dengan kehadiran Elma yang bagaikan penghapus rindu yang selalu aku harapkan kehadirnya, hilang sudah sebak di dada berganti rindu kepada Bang Nizam dan Elma.
"Sini anak Bunda." Ucapku sambil mengulurkan tanganku meminta Bang Nizam memberikan Elma yang berada dalam gendongaannya.
Aku mencium seluruh wajahnya, Â suaranya terdengar memprotes karena aku tidak berhenti menciuminya.
"Bunda geli." Suara yang sangat aku rindukan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H