“Ya, Allah. Mungkinkah aku tengah menunggu antrian?” gumamku dalam isak.
Aku tidak tahu giliranku kapan, dan akan seperti apa akhir kisahku nanti. Di sini, betapa mudahnya kematian datang menjemput dengan cara-cara yang kita tidak pernah tahu.
Ruangan tiba-tiba hening, hanya beberapa suara monitor berbunyi normal. Dari kejauhan aku mendengar suara tangisan pilu, meraung-raung menyayat hati. Ada kehilangan, penyesalan dan ratapan dari tangis keluarga yang telah kehilangan seseorang yang mereka cintai.
'Akankah ada seseorang yang menangisiku nanti? Akankah ada yang terluka nanti jika saatku tiba?'
Air mataku deras keluar dari ujung kelopak mata. Mengucap takbir, tahmid, dan dzikir denhan lirih. Sepertinya hanya itu yang bisa membuatku tetap sadar, sabar dan ikhlas.
Tiba-tiba seorang Ibu datang, masuk dengan wajah sembab, matanya bengkak, hidungnya merah, jelas tergambar jika dia baru saja menangis.
Tanganku dipegangya kuat, ia memaksakan senyum di antara air mata yang akhirnya tumpah juga. Genggamannya cukup erat, seolah ingin menyampaikan sesuatu namun ia tak mampu. Ya, dukanya terlalu dalam. Tangan kirinya memegang boneka kucing berwarna kuning. Itu Poporing, bonekaku yang sengaja aku simpan di samping Biyah, untuk menemani Biyah berjuang menjemput keajaiban.
“Ahhh, Biyah ....” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Aku membalas genggaman tangan yang meminta kekuatan. Untuk sejenak, kita menangis tanpa kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H