Banyak jiwa-jiwa yang akhirnya harus berada di dimensi itu, ruh-ruh yang belum bisa pulang. Seperti halnya Alfa, bocah 7 tahun yang tidak menyadari kalau dirinya bukan lagi manusia berwujud sepertiku yang masih bisa mencium aroma udara pagi.
Aku sudah mengeceknya, faktanya Alfa sudah meninggal 8 tahun lalu karena terjatuh dari jendela rumah sakit saat disuruh ibunya menunggui adiknya yang sedang dirawat saat itu. Yang dia tahu, ibunya pulang meninggalkannya di sini karena marah, dia tidak menjaga adiknya dengan baik, dan sampai saat ini, dia menunggu Ibunya datang menjemput.
Lalu Biyah, pasien leukimia yang baru beberapa hari terakhir koma. Dia harus bolak balik menemui ibunya yang selalu memanggil-manggil namanya, dia memyaksikan Ibunya menangis setiap hari meratapi tubuh mungil yang masih bertahan karena bantuan alat dan obat. Sebetulnya, dia hanya menunggu komando Tuhan, menjemputnya atau memberinya keajaiban untuk bisa menemani ibunya lagi. Jiwa anaknya yang masih suci, tetap riang bermain, menikmati hari-harinya bersama teman sedimensinya.
Fito, bocah laki-laki dengan perawakan keturunan Belanda, terjebak di bangsal ini karena kabur dari kejaran si pak tua. Pak tua yang ditakuti anak-anak adalah seorang pemburu ruh suci, untuk syarat keabadian, kekebalan, dan kesaktiannya, dia mencari jiwa dan ruh anak-anak untuk dijadikan persembahan, seperti yang terjadi dengan Sira. Sememtara anak-anak lainnya adalah mereka yang datang hanya singgah di dimensi ini kemudian pergi menuju tempat yang sudah menantinya dalam kedamaian.
Terdengar suara kesibukan disekitarku. Membuka mata perlahan, pandangan masih sedikit kabur, kedipkan mata beberapa kali, kemudian kubuka lagi dengan harapan pandangan menjadi jelas. Ternyata masih sama, semua berbayang, setiap benda seolah bergerak melebar kemudian mengecil.
“Aku di mana?” tanyaku, dengan suara lemah.
“Pagi, Nuwi! Hayoo, di mana?” Terdengar suara Perawat menjawab pertanyaanku.
“semalam dari mana? Tuh, kan? Jadinya drop lagi, deh,” lanjut perawat.
Aku terdiam, tak ada yang bisa aku sampaikan, karena aku yakin mereka tidak akan mempercayainya.
Aku tidak tahu dari kapan mata ini bisa melihat mahluk astral dan bisa berkomunikasi dengan mereka. Karenanya, aku harus masuk ruang psikiatri karena dianggap depresi, sering berbicara sendiri dan asik dengan dunia sendiri. Tidak ada seorang pun yang mempercayai ceritaku, dan akhirnya, aku memilih diam dan menghadapi ketakutan ini berkali-kali tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Nuwi, sssttt! jangan bicara.” Terdengar suara Alfa berbisik di sampingku.