Ibu memeluknya erat. "Ibu bangga padamu, Nak."
"Angin juga senang sekali pelajaran berhitung dan menggambar Bu." jelas angin.
Setiap hari angin belajar dengan penuh semangat. Angin juga anak yang sopan dan pandai. Guru dan teman-teman Angin menyayanginya.
Angin juga anak pantang menyerah dan rendah hati. Ia tak pernah mengeluh dan selalu berusaha menyelesaikan tugas sekolahnya. Hambatannya tak sedikit pun menjadi penghalang. Setiap malam ia mengetuk langit dengan doa-doa yang ia panjatkan.
***
Pada suatu hari, Angin memperhatikan aktivitas di kelas seni. Tak lama kemudian pak Budi menwarkan angin untuk masuk dan bergabung.
"Boleh pak?" Tanya Angin dengan mata berbinar.
"Tentu saja nak, mari kita belajar mencampur warna dan melukis," sambut pak Budi.
Di kelas seni, Angin menemukan bakat tersembunyinya: melukis. Tak butuh waktu lama, dengan kuas yang diikat pada lengannya, ia mulai menciptakan karya-karya yang luar biasa. Lukisannya penuh warna dan emosi, seolah-olah ia menuangkan seluruh jiwanya ke dalam kanvas.
Salah satu lukisannya, yang menggambarkan burung terbang di atas langit biru, menarik perhatian pak Budi. "Angin, lukisanmu luar biasa. Ini harus kita pamerkan," kata pak Budi dengan kagum.
Angin senang sekali mendengarnya. Lukisan itu kemudian diikutsertakan dalam lomba seni disabilitas tingkat kabupaten, dan Angin memenangkan juara pertama. Dari sana, namanya mulai dikenal.