Bapak tak menjawab, ia hanya berdiri dan membuka pintu menuju ke luar rumah.
Setelah berhari-hari dibujuk, bapak akhirnya mengalah. "Baiklah, tapi kalau gagal, ibu hanya capek saja, jangan salahkan aku."
***
Hari pertama di sekolah menjadi momen yang tak terlupakan bagi Angin. Dengan diantar pak Doni, mereka ia tiba di sekolah. Para siswa dan guru menerima Angin dengan hangat.
Di kelas, Angin belajar menggunakan pensil yang diikat pada lengannya. Awalnya sulit, tapi ia tidak pernah menyerah. Ia selalu berlatih, meski tangannya tak jarang menjadi lecet.
Ibu Kurnia dengan telaten membimbing dan mengajari Angin, Angin masuk di usia 11 tahun. Ia masuk ke kelas atas tapi dengan beberapa penyesuaian.
Angin ternyata memang anak yang gigih dan tekun. Walau secara fisik terhambat tapi ia tak mudah menyerah. Angin juga cerdas dan mudah menerima pelajaran. Bu Kurnia sangat senang dengan kemajuan angin yang pesat.
Sepulang sekolah angin membantu ibu beres-beres di kantin. Setelah membantu ibu, Angin selalu mengulang pelajaran yang diberikan Bu Kurnia.
Angin sangat bahagia, mimpinya bersekolah kini terwujud. Tekadnya begitu kuat. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
***
"Ibu, lihat! Angin sudah bisa menulis!" katanya suatu malam sambil menunjukkan buku tulisnya yang penuh dengan huruf-huruf kecil.