"Pak, Bu, Angin bisa sekolah di tempat kami. Kami punya fasilitas untuk anak-anak berkebutuhan khusus," kata Pak Doni.
Bapak langsung menolak. "Tidak perlu, Pak. Dia tidak akan bisa apa-apa. Lagi pula, siapa yang akan bayar transportasi? Kami ini hidup pas-pasan!"
Pak Doni tidak menyerah. Setiap kali ada kesempatan, ia mencoba meyakinkan bapak dan ibu Angin. Namun, jawaban bapak selalu sama, penolakan.
Beberapa bulan kemudian, sekolah tempat Pak Doni bekerja membuka lowongan sebagai penjaga kantin. Pak Doni segera menemui ibu Angin. "Bu, ini mungkin kesempatan. Ibu bisa bekerja di kantin, ada asrama juga, jadi Angin bisa ikut bersekolah."
Mata ibu bersinar. Namun, ia tahu bahwa mendapatkan izin dari bapak adalah tantangan besar.
***
Malam itu, setelah makan malam sederhana berupa nasi dan garam, ibu mulai berbicara. "Pak, menurut pak Doni ada lowongan sebagai penjaga kantin di sekolah. Bagaimana jika ibu melamar bekerja di sana, dan Angin bisa ikut bersekolah?"
"Jangan mimpi, Bu! Kita ini sudah susah. Kau mau tambah beban lagi?!" bentak bapak.
Namun, ibu tidak menyerah. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Pak, ini bukan soal kita. Ini soal masa depan Angin. Dia anak kita. Beri Angin kesempatan, Pak."
"Sudahlah Bu, bapak capek. Jarak sekolah ke rumah kita itu jauh. Ibu mau jalan kaki setiap hari sejauh itu? Angin mau digendong?" timpal bapak.
"Ada asrama katanya pak. Boleh ditinggali. Ibu bisa pulang seminggu sekali pak." jelas ibu.