_"Walau tak memiliki tangan dan kaki, Angin juga ingin bersekolah Bu, seperti teman-teman lainnya," ungkap angin dalam dekapan ibu. Ibu memeluk tubuh kecil angin lebih erat lagi, tak mampu menahan kesedihannya. Sesekali jemarinya mengusap air mata menetes di pipinya._
***
Di sebuah desa kecil yang terpencil, berdiri sebuah rumah tua dengan dinding kayu yang mulai lapuk. Di sana tinggal seorang anak bernama Angin bersama ibu dan bapaknya.Â
Angin adalah anak yang terlahir tanpa kaki dan lengan. Tubuhnya kecil, tapi tekadnya besar. Ia ingin sekali bersekolah, tapi keinginannya selalu terhambat oleh kemiskinan dan penolakan dari bapaknya.
Setiap pagi, Angin duduk di kursi kayu di depan rumahnya. Ia memperhatikan anak-anak desa lain yang berjalan melewati rumahnya, seragam mereka bersih dan rapi. Angin hanya bisa membayangkan dirinya berada di antara mereka.
"Bu, kapan ya Angin bisa sekolah?" tanyanya dengan suara penuh harap.
Ibu menghentikan tangannya yang sedang memilah botol plastik bekas. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tersenyum tipis. "Nanti, Nak. Ibu akan cari cara," jawabnya, meski di dalam hatinya ia tak tahu bagaimana caranya.
Bapak, yang mau berangkat ke pasar untuk bekerja sebagai kuli panggul, mendengar percakapan itu. "Tidak usah mimpi, Angin! Kau di rumah saja! Kita ini miskin, tidak ada uang untuk sekolah!" bentaknya.
Angin terdiam, tapi matanya tetap berbinar. Ia tidak menyerah. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu berdoa, "Ya Tuhan, berikan Angin kesempatan untuk belajar. Angin ingin menjadi anak yang berguna." gumamnya dengan mata yang berkaca-kaca.
***
Pak Doni, seorang staf tata usaha di sekolah khusus, sering melewati rumah Angin saat pulang ke desanya. Ia sudah beberapa kali melihat Angin dan mendengar tentangnya dari warga sekitar. Suatu hari, ia memberanikan diri menemui keluarga Angin.