Mohon tunggu...
Sebastian Ahmad
Sebastian Ahmad Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Aja

Menulis aja lalu ditaro disini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nulis Cerpen

27 Februari 2020   04:20 Diperbarui: 27 Februari 2020   17:15 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Andai saja ada sesuatu yang menarik. Aku bosan, sangat bosan. Kalau saja kebosanan bisa dijual, aku bisa untung banyak. Setiap hari rasanya selalu sama, aku selalu merasa bosan. Ingin rasanya menyalahkan seseorang atas kebosanan yang aku rasakan. Mungkin sepertinya aku harus menulis sebuah cerpen yang bisa mengenang kebosanan ini. Lagian, cerpen itu sendiri artinya apa? Sepertinya, pergi kesebuah toko buku bisa menjawab pertanyaan itu, lalu bagaimana dengan menulis cerpen? Tunda dulu saja.

Ya, aku selalu bergumam seperti itu. Sering sekali, bukan sekali atau dua kali. Mulai kuhisap rokok yang tadi kupegang, memejamkan mata lalu membukanya kembali, kulihat sekeliling kamar kos, banyak buku berserakan dimana-mana. Suara kipas angin yang bercampur dengan musik yang keluar dari ponsel. Rasa kopi yang masih membekas di lidah, serta aroma udara selepas hujan. Aroma yang khas. Aku mulai bersiap menuju toko buku untuk menjawab pertanyaan yang aku buat sendiri tadi, sambil berusaha menghabiskan sebatang rokok dengan tergesa-gesa. Memakai jaket hitam kesayangan yang sudah lama sekali tak dicuci, serta mencari-cari kunci motor yang entah dimana. Lalu mataku terfokus pada tulisan di dinding kamar.

Kebanyakan dari kita memang harus diakui kesepian, kehilangan kemampuan untuk berkoneksi dengan sekeliling tubuh kita, sehingga kita semakin bergantung pada teknologi untuk memiliki relasi yang diharapkan lebih berarti, melalui layar ponsel dan monitor. Membunuh sepi dengan cara yang semakin menjerumuskan kita kedalam kesepian.

Entah pemikiran seperti apa yang membuat aku menyalin tulisan tersebut dari suatu jurnal ke dinding kamar kos, apa memang aku kesepian atau memang aku jelmaan kesepian itu sendiri.

"for a minute there

I lost myself, I lost myself

Phew, for a minute there

I lost myself, I lost myself"

Lantunan lirik dari musik yang sedang berbunyi, sebuah lagu dari radiohead yang berjudul paranoid android. Setelah isapan terakhir, aku mematikan puntung rokok di asbak, yang disampingnya ada ponsel serta kunci motor yang aku cari. Bergegas aku meraihnya, lalu aku matikan musik dan bergegas menuju toko buku yang tak jauh dari kos.

Sepanjang jalan aku selalu menikmati jalanan tanpa mendengarkan lagu, biar mataku fokus terhadap jalan, serta telingaku berfokus pada suara-suara seperti bunyi klakson, mesin kendaraan, suara angin serta bebagai suara lainnya. Jalanan sore, apalagi selepas hujan selalu memiliki efek magis tersendiri bagiku. Kerinduan pada kampung halaman dimana aku tumbuh. Dan aku tiba di toko buku.

"apa kau tak mau pulang?"

Toko buku ini jauh dari pusat kota, suasana yang nyaman dan tak terlalu berisik, beranda yang di kelilingi oleh kebun kecil, perpustakaan yang dilengkapi coffeshop. Aku tak begitu paham tentang kopi, selagi itu masih bisa dinikmati, aku tak pernah protes mengenai rasanya. Setelah memesan kopi, mataku sibuk mencari buku untuk kubaca. Di rak buku yang berisi buku-buku berwarna hitam ada buku yang mencolok berwarna merah, intuisiku berkata bahwa aku harus mengambilnya. "Tan Malaka -- Madilog" entah siapa yang menyimpan buku ini diantara buku-buku novel dan antologi puisi. Sepertinya ia cenderung orang yang buru-buru dan meletakan buku di sembarang tempat. Aku mulai duduk di depan beranda toko buku tersebut, agar bisa merokok dan bisa melihat hamparan sawah serta kebun kecil di halaman toko buku itu.  Aku mulai membuka halamannya

Madilog sekarang memperkenalkan dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat latihan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahaminya.

Tertulis pada halaman-halaman awal, sejarah madilog. Lembah bengawan Solo, 15 Maret 1946, Tan Malaka. Sial, aku hanya merasa bosan dan disuguhkan hal yang seperti ini. Tak perlu waktu lama untuk menutup kembali halaman buku yang baru saja aku buka. Mulai melihat sekitar, serta meraba-raba saku dimana aku menaruh sebungkus rokok lalu mengambilnya. Hal apa yang membuat seseorang membaca buku, memahami sesuatu, memaknai sesuatu?

Apakah hanya keinginan egois semata untuk memenuhi keingintahuan saja? Lalu, bagaimana cara seseorang untuk memahami sesuatu tersebut? Seperti latihan khusus sebelum membaca atau pemahaman khusus sebelum memahami sesuatu? Aku hanya lelah karena tidak tahu apa-apa, aku selalu dipencundangi oleh sesuatu yang tidak aku tahu. Aku hanya ingin tahu semuanya. Ocehan itu keluar selepas aku membakar sebatang rokok yang tadi kugenggam. Sebab badai yang tak terkendalikan selalu melahirkan sambaran.

"ini kopinya bang, taruh sini ya."

Pertanyaan demi pertanyaan tak terjawab, mungkin aku adalah orang yang suka mengumpulkan banyak pertanyaan yang seharusnya dijawab satu-persatu. Pandanganku tertuju pada sepetak sawah di seberang beranda toko buku.

"Makasih bang" Jawabku.

"bang? Aku perempuan bang."

Seketika pandanganku berbalik kepada barista itu, seorang perempuan, sial.

"Maaf, Lagi ngelamun."

"Hahaha, gapapa." Jawab barista perempuan kembali kedalam

Tak seperti biasanya, beranda toko buku ini sepi, hanya aku pengunjung. Satu barista perempuan, dan satu orang penjaga kasir toko buku serta pemilik toko buku yang baru saja pergi entah ingin kemana. Aku tak begitu akrab dengan orang lain, dan aku sendiri tak ingin mengakrabkan diri dengan orang lain, tanpa alasan. Hanya tak ingin. Mungkin karena barusan hujan, orang-orang enggan berkunjung dan memilih mengisolasi diri di ruangannya masing-masing.

Belum sempat menikmati kopi, hujan mulai turun, hujan susulan mungkin. Cuaca mulai gelap, rintikan hujan pelan-pelan membasahi sekitar halaman depan toko buku. Rintikan hujan pun mulai sedikit membasahiku, dan aku membawa buku serta kopi kedalam perpustakan.

"Orang-orang suka hujan, namun tak mau basah karena air hujan." Ucap barista perempuan itu

Lagian, situasi macam apa ini, seperti dikisah-kisah novel atau drama di serial televisi, atau mungkin sebuah cerpen dimana, laki-laki dan perempuan terjebak dalam sebuah ruangan karena hujan. Dan ini perpustakan.  

"haha, iya juga" jawabku.

Aku seperti kehilangan hasrat untuk terhubung dengan orang lain, aku selalu merasa tak nyaman jika aku berusaha berbicara dengan orang lian. Aku selalu kebingungan apa yang tengah orang itu hadapi, respon seperti apa yang orang itu ingingkan atau perasaan seperti apa memang aku membosankan? Apa memang hal seperti itu perlu dibicarakan?

Kata- kata ada untuk memahami, tapi bagi orang yang sudah bisa memahami tanpa harus berbicara, apa gunanya berbicara? Seluruh langit dan bumi adalah kata-kata bagi mereka yang mengerti.

"respon yang menarik, apa kamu tak suka berbicara?" balasnya.

"tidak juga"

"lalu?"

"hanya tak ingin bicara saja."

"hahahaha" tertawa ringan, anggun, tak terlalu berisik.

Sial, jika aku adalah laki-laki pada biasanya pada pola ini, aku pasti jatuh cinta pada perempuan itu, apalagi disituasi yang mendukung seperti alur cerita dikebanyakan cerita. Aku pasti jatuh cinta, atau setidaknya aku tertarik. Namun, sama sekali. Sama sekali aku tak tertarik.

"Sedang baca apa?" tanya barista perempuan

"Madilog. Tan Malaka"

"Wah, kenapa baca buku itu?"

Sebenarnya aku ingin menjelaskan mengenai warna merah yang mencolok diantara warna hitam, dan aku berhenti membacanya padahal baru awal halaman. Namun sepertinya terlalu merepotkan. Biasanya untuk menghindari pertanyaan hanya perlu dibalas dengan pertanyaan.

"Apa kau suka membaca?" tanyaku

"Tidak terlalu, tapi aku menyukainya."

"Sejak kapan?"

"Sekitar 5 tahun yang lalu."

Sebenarnya aku tidak begitu menyukai pola pertanyaan seperti ini, dilanjut dengan buku apa yang pertama kau baca, siapa penulis yang kau suka, atau buku apa yang mengubah hidupmu. Namun tak apa, biarlah begini alur pembicaraan seperti orang-orang seharusnya.

"hmm, lalu buku apa yang pertama kau baca, siapa penulis yang kau suka, buku apa yang mengubah hidupmu?"

"HAHAHA" aku tersedak oleh kopi yang aku minum.

"boleh aku duduk disini?" lanjutnya sembari mengeluarkan sebungkus rokok lalu menyalakannya.

"silahkan"

"Kopinya enak?"

"Ya, enak"

"Kau menarik" ucapnya singkat.

Baru kali ini, ada seorang perempuan yang tanpa aba-aba memujiku, dengan tampilan yang urakan tak seperti perempuan biasanya namun bicaranya lembut, kalimatnya enak didengar. Serta matanya, seperti sebuah pintu yang minta dibuka, mungkin disana. Disana aku bisa mendapatkan jawabannya.

"Maksudmu?" jawabku

"Ya, kau menarik. Ceritakan sesuatu tentang dirimu."

"Jika kamu semakin dekat dan mengenalku kamu tidak akan menyukaiku."

"lihat? Kau menarik."

"kau sudah tiga kali mengucapkannya." Jawabku singkat.

Suasana perpustakan sedikit dingin, rintikan suara hujan beradu dengan alunan musik dari suara speaker disekeliling perpustakaan. Sedikit tersamarkan namun aku tau pasti itu Silampukau -- Malam jatuh di Surabaya. 

Aroma khas tembakau beradu dengan aroma khas tanah yang dibahasi hujan disekitar perpustakaan, tak ada larangan merokok. Suasana hening, tak ada balasan dari kalimat yang kulontarkan terakhir. Kami sibuk dengan rokok ditangan kami masing-masing, dan mendengar alunan musik.

"Aku suka Silampukau, mau request lagu?" ucapnya memecahkan keheningan.

"Radiohead, yang mana saja"

Tak menjawab apa-apa, setengah lagu silampukau diputar, musik sudah berganti, alunan melodi radiohead yang pelan dan tenang mengisi ruang-ruang di sekitar perpustakaan. Lalu dibuka dengan lirik yang dinyanyikan Thom Yorke

"Please could you stop the noise

I'm trying to get some rest

From all the unborn chicken voices in my head"

Kami benar-benar saling diam, hanya menikmati suatu momen dimana tak saling bicara, namun aku rasa masing-masing dari kami saling berisik satu sama lain dalam arti lain. Terlihat perempuan tersebut menghirup rokoknya dengan sedikit tergesa-gesa. Dan tak terasa kedua kakiku tak mau diam.

"Ambition makes you look pretty ugly

Kicking, squealing Gucci little piggy

You don't remember

You don't remember"

Lantunan melodi radiohead yang terdengar pelan dan tenang, seperti berada si aliran sungai yang bersih serta mengalir tenang. Tiba--tiba berubah sangat deras serta tak beraturan. Emosi abstrak yang dinyanyikan oleh vokalis menyebar pada seisi ruangan, tentunya kami. Suara hujan semakin deras, alunan musik sedikit tersamarkan oleh suara hujan, dan sesekali ada suara petir menyambar.

"Rain down, rain down

Come on rain down on me

From a great height

Form a great height, ----"

"sepertinya aku sedang merasa ketakutan sekarang." Ucapku pelan.

Wajah perempuan itu tiba-tiba memperhatikanku, ia mematikan rokok yang ia hisap ke asbak. Dan aku menghentikan kedua kakiku yang sedang gemetar, entah kenapa aku tiba-tiba mengucapkan kalimat itu. Padahal tadi, kami baik-baik saja. Hanya diam tanpa bicara, sama-sama menikmati momen disuatu ruangan perpustakaan ditemani alunan musik yang sekarang sudah tak terdengar. Hanya terdengar suara hujan. Keras, keras sekali

"Aku hanya ingin mengerti semuanya." Lanjutku

Perempuan itu sama sekali tak merespon, dan sialnya aku terus melanjutkan kalimatku perlahan.

"bukan perasaan ingin dimengerti atau saling memahami, aku hanya ingin mengerti semuanya. Alasan dibalik semua kejadian yang melibatkanku. Egois memang, namun jika sesuatu itu bisa dicapai, aku sedikit merasa bahagia, mungkin aku bisa merasa sebaliknya juga."

Keluar sudah semua kalimat itu, dengan menyesal aku menghirup kembali rokok yang sedang kugenggam sembari menunggu respon apa yang akan diberikan oleh perempuan tersebut. Bukan berarti aku menginkan sebuah respon yang bisa menjawab keresahanku, hanya saja aku merasa malu mengatakan sesuatu yang memalukan seperti itu kepada orang yang baru saja aku temui. Anehnya, ia hanya tersenyum meraih ponselnya lalu mematikan musik yang sudah tak terdengar lagi karena suara hujan.

"lalu, apa yang membuatmu takut?" jawabnya

"entahlah." Jawabku

"mungkin karena aku belum menyebrangi sungai itu" lanjutku

"maksudmu?" tanyanya

"Anggap saja, aku berada dalam situasi ingin menyebrangi sungai, aku pasti menerka bahwa sungai itu sangat dingin atau seperti terlalu dalam. Karena dengan melihat, pemahaman serta perasaan seperti itu kadang yang menjadi jawaban atas respon yang aku alami. Aku terlalu ketakutan untuk melintasi sungai tersebut. Alhasil, baju yang aku pakaipun masih kering dan aku tak pernah sampai kesisi sungai tersebut, mungkin disana aku bisa mendapatkan sesuatu yang benar-benar bisa membuatku hidup kembali, meski sebelumnya aku sudah mati dan hidup berkali-kali" jawabku

"ternyata kau orang yang banyak bicara ya" jawabnya sembari tertawa

Respon yang tak disangka, aku kira aku akan mendapat jawaban seperti, mungkin kamu kurang mencoba melewati sungai tersebut, kau terlalu takut atau kalimat semacam itu. Namun dia, hanya mengomentari diriku yang tadi pendiam sekali tiba-tiba berubah mode menjadi banyak bicara. Ya meski, aku sedikit kesal.

"tapi, kau tak seperti itu." Lanjutnya

"maksudmu?"

"ya, aku tidak melihatmu begitu" jawabnya serius.

"kau punya sesuatu yang seseorang tidak punya, kau bisa melihat sesuatu yang kebanyakan orang tidak bisa lihat. Seperti, melihat emas ditumpukan sampah" lanjutnya

Siapa perempuan ini, menerka orang yang baru ia kenal seperti itu. Dia pikir mungkin aku sedikit tertarik, namun sayang sekali aku tak tertarik.

"tidak sepertiku." Lanjutnya lagi sembari menyalakan rokoknya yang entah berapa batang ia bakar hari ini.

"ah, benarkah? Aku rasa hidupmu sangat menyenangkan. Justru tidak sepertiku." Jawabku

"contohnya?"sahutnya

"dari pembicaraan sebelumnya, yang aku bicarakan." Jawabku lagi.

Tidak ada respon darinya, ia hanya fokus pada hisapan demi hisapan rokok yang ia bakar tadi, tak ambil pusing, aku meraih sebatang rokok lalu kugenggam dan siap untuk dinyalakan.

"aku terlalu tenggelam dengan banyaknya pemahaman yang aku buat sendiri, aku pernah dengar pepatah 'jika kau sedang membawa segelas air, lalu air itu tumpah. Tak perlu menyesali yang tumpah, namun fokuslah agar air itu tak tumpah lagi' aku selalu merasa kebingungan setiap waktunya. Apa benar-benar aku membawa air itu? Apa jangan-jangan aku tak pernah benar-ber membawa segelas air, hanya gelas kosong. Aku terlalu fokus pada kehati-hatian yang menyebabkan diriku sendiri tak pernah bebas. Jadi ya, mungkin aku suka hidupmu" kalimat itu keluar dari mulutku, lalu menyalakan rokok yang tadi kugenggam

"kau sedikit berbeda ya?" tanya perempuan itu.

"maksudmu berbeda?"

"ya, berbeda. Itu saja."

Sial, perempuan ini benar-benar menunjukan sesuatu yang ingin dianggap menarik, namun tidak, sama sekali tidak menarik. Apa tadi dia menyebutku berbeda? Tidak, sama sekali tidak. Lagian berbeda itu sendiri apa? Bayangkan disebuah hamparan rumput luas rusa sedang berkumpul. Lalu tiba-tiba ada seekor cheetah yang menghampiri kumpulan rusa tersebut. Dan salah satu rusa betina datang, dan berkata "kau berbeda." lihat? Mungkin baru kali ini rusa betina itu baru bertemu dengan cheetah dan tak tau jika diluaran sana banyak cheetah lain seperti cheetah itu. Jadi tidak ada yang benar-benar berbeda.

"boleh minjam korek?" tanyanya

Hujan mulai mereda, langit sudah mulai gelap. Dan aku masih tak tau rokok keberapa yang wanita itu bakar sejak dia mulai duduk bersamaku. Kami hanya sedikit bercakap dan banyak diam.

"ambil saja." Jawabku

"sepertinya aku menyukaimu."

Tiba-tiba saja, dia gila sepertinya.

"terimakasih, apakah itu sebagai teman?" jawabku

"tidak, sebagai lawan jenis."

"jangan bercanda, aku tidak suka hal-hal seperti itu."

"jangan merendah, dan lihatlah mataku. Kau terlalu banyak menundukan kepala saat berbicara."

"tidak, aku sama sekali tak merendah dan kau gila."

"hahaha, memang sepertinya aku menyukaimu." Jawabnya.

"sudahlah, tak usah diperpanjang."

"kenapa?"

"tidak ada alasan khusus"

"apa kamu pernah menyukai seseorang?" tanyanya

Aku tak begitu menyukai kalimat seperti itu, bukan berarti aku punya kenangan buruk atau semacamnya. Dan bukan juga aku tak percaya dengan hal-hal seperti itu, aku percaya dan tak ingin terlalu mengejarnya saja.

"pernah."

Suasana kembali hening, dan itu menjadi percakapan terakhir kami. Hujan sudah mulai mereda, dan aku pindah lagi ke beranda depan toko buku itu. Alunan musik kembali terdengar, aroma khas selepas hujan lagi-lagi mengingatkanku pada kampung halaman. Apa bapak bahagia dengan keluarga barunya? Apa ibu bahagia dengan keluarga barunya? Apa adikku sudah tau apa yang ingin dia capai di masa depannya? Atau teman-teman yang dulu pernah hadir dan saling mengisi sudah mendapatkan apa yang mereka cari. Pertanyaan semacam itu kembali menimbulkan kenangan masa lalu.

"Bagimana cara membuat cerita pendek?" sahutku dengan keras dari halaman depan kepada perempuan itu.

"tulis saja, apa saja." Jawabnya.

Sembari menghabiskan sisa kopi, pengunjung lain mulai datang satu persatu-satu, perempuan itu disibukkan dengan pekerjaannya. Dan terdengar alunan Radiohead -- Creep sebelum aku meninggalkan toko buku tersebut.

"I don't care if it hurts

I wanna have control

I wanna a perfect body

I wanna a perfect soul"

Aku, mulai beranjak meninggalkan toko buku, diperjalanan aku merasa menyesal karena telah banyak bicara dengan orang yang baru saja aku temui, seperti tolong lupakan semua yang aku bicarakan atau lebih parah lagi, tolong lupakan bahwa kau telah bertemu dengan orang sepertiku. Sebelum sampai di kos, ritual seperti biasa membeli sebungkus rokok di supermarket dekat kos. Dan tak lupa mulai menulis cerita pendek untuk mengusir kebosanan.

"entahlah, tidak sekarang. Mungkin aku masih berharap mendapat sesuatu di sini."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun