"Senja hampir pudar. Sebaiknya kita pulang sekarang," katanya mendadak. Terlalu mendadak, karena baru saja ia memuji senja dengan kata-kata paling gemilang, seolah-olah, ia mengayak tiap kata dalam kepalanya dengan sangat hat-hati agar tak mengiris keindahan senja di depannya. Aku hampir menyangka ia menyembah senja akibat mendengar untaian kata yang dijalinnya satu persatu: terlalu agung.
Karena terkejut, aku menoleh.Â
"Pulang ke mana?" tanyaku. Aku kira ia pun menoleh padaku saat berbicara tadi. Ternyata, pandangannya jauh terlempar ke laut yang tak lagi biru. Ia masih rindu, tetapi waktu mengikis perasaannya.
"Ke rumah."
Aku mendengar jawabannya sekelebat, tetapi tidak terlalu peduli karena pertanyaanku hanyalah kata-kata retoris. Aku lebih menikmati pucuk hidungnya, lentik bulu matanya, dan bau tubuhnya yang diayun-ayun angin pantai sore hari. Aku ingin melihat daun telinganya dan bukan hanya lekuk kerudungnya. Namun itu tidak mungkin. Mungkin nanti, tetapi tidak sekarang.Â
Lalu ia menoleh. "Kenapa kamu melihatku seperti itu?"
Aku belum sempat mengelakkan pandangan yang "itu", sehingga ia dengan tepat menangkapnya.
"Kenapa kamu melihat senja seperti itu?"balasku. Mengecohnya.
Â