Ini cerpen bergenre detektif tentang pembunuhan di keraton Majapahit. Semua petunjuk ditebar sepanjang cerita agar pembaca bisa menemukan sendiri pembunuhnya sebelum cerita berakhir. Semoga sukses.
Ratu Tribuana Tunggadewi tengah menghadapi masalah. Saat ini dia memegang pucuk pimpinan Keraton Majapahit untuk sementara. Putranya, Maharaja Hayam Wuruk, tengah meninggalkan Ibu Kota Kerajaan untuk menemui Gajah Mada di pengasingan. Celakanya, justru pada situasi seperti ini, terjadi peristiwa mengerikan di dalam Keraton.
Rakrian Wulunggeni, salah satu pembesar keraton, ditemukan tewas dalam bangsal penyimpanan pusaka. Ini jelas pembunuhan, karena lehernya dipuntir sampai patah. Sampai sekarang belum diketahui siapa pelakunya. Dan itu hanya satu dari sekian teka-teki yang muncul dalam kasus ini.
"Para penjaga juga tidak habis pikir bagaimana mayat Rakrian Wulunggeni bisa berada di dalam, Gusti Ratu," kata Patih Ranutama yang merupakan penanggung jawab keamanan Keraton. "Mereka bersumpah tidak ada orang yang masuk atau keluar sebelum kejadian, termasuk Wulunggeni. Seolah pembunuh itu bisa masuk tanpa terlihat dan meletakkan mayat Wulunggeni di sana."
Tunggadewi mendengarkan keterangan Ranutama tanpa terlihat cemas atau ketakutan. Sikapnya malah terlihat seperti seorang pendekar yang menghadapi tantangan terbesar. Setelah merenung sejenak, wanita paruh baya yang masih kencang dan rupawan itu bertanya, "Apa ada pusaka yang hilang dari bangsal?"
"Untungnya tidak ada, Gusti Ratu," jawab Ranutama tanpa terlihat gembira. "Tapi menurut juru kunci pusaka, yang hilang justru salah satu bahan perawatannya. Ada satu kendi kecil berisi bubuk pembersih pusaka yang hilang dari tempatnya. Entah untuk apa bahan itu dicuri - jika memang dicuri. Bubuk itu tak berharga sama-sekali."
Bukannya bingung, kilatan di mata Tunggadewi justru menunjukkan dia tertarik dengan keterangan itu. Lekas-lekas dia bertanya, "Apakah bahan yang kau maksud adalah bubuk warangan, Paman Patih?"
Ranutama tercengang oleh tebakan junjungannya. Tanpa menutupi rasa penasarannya, dia menjawab, "Itu benar sekali, Gusti Ratu. Dari mana Gusti tahu?"
"Ada kegunaan lain dari warangan selain untuk membersihkan pusaka." sahut Tunggadewi. "Dalam takaran tertentu, itu adalah racun yang sangat mematikan."
Kalimat terakhir itu membuat Ranutama menegakkan sikap duduknya. "Ada sesuatu yang harus hamba sampaikan, Gusti Ratu. Hamba tidak tahu apa ada hubungannya dengan kasus ini. Sewaktu hamba memeriksa anak buah Wulunggeni, ada satu yang menyampaikan keterangan yang mengagetkan sekaligus aneh."
"Aneh?"
Ranutama mengangguk. "Dia bilang, Wulunggeni mencium adanya pembunuh dalam keraton yang ingin meracuni Gusti Ratu. Tapi, menurut anak buahnya, Â Wulunggeni tak mau memberi tahu hamba sebelum menemukan buktinya. Katanya, Wulunggeni takut hamba akan terpingkal-pingkal."
Tunggadewi mengerutkan kening. Ya, itu memang aneh sekali. Terpingkal-pingkal? Sejak kapan kabar adanya pembunuh dalam keraton akan membuat seseorang terpingkal-pingkal?
"Bisa jadi ada hubungannya," kata Tunggadewi. "Si pembunuh pasti kesulitan membawa racun dari luar. Maka dia mencurinya dari bangsal pusaka. Mungkin Wulunggeni berhasil memergoki tapi terbunuh sebelum sempat memanggil bantuan."
Ranutama berpikir sejenak. "Tapi itu tak menjelaskan bagaimana Wulunggeni dan pembunuhnya masuk ke Bangsal Pusaka tanpa terlihat penjaga gerbang, Gusti Ratu."
Tunggadewi mendesah. "Tidak adakah cara lain untuk masuk tanpa melewati gerbangnya?"
"Rasanya mustahil, Gusti Ratu. Bagian belakang Bangsal Pusaka langsung menghadap pekarangan belakang Keputren dan dibatasi pagar tinggi. Masuk Keputren tanpa ketahuan juga mustahil. Tempat itu dijaga tak kalah ketat."
Baru saja Patih Ranutama berkata demikian, tiba-tiba terdengar jeritan melengking nan mengerikan. Dan asalnya justru dari arah Keputren!
Sebelum Ranutama sempat mencegah, Tunggadewi sudah melesat ke sana. Tentu saja sebuah tindakan yang berbahaya. Tapi Tunggadewi seolah tak peduli. Sang Patih pun geleng-geleng kepala melihat keberanian Sang Ratu.
Keputren adalah bagian Keraton yang diperuntukkan buat Ratu atau Permaisuri beserta pelayannya. Ketika Tunggadewi masuk, tempat itu sudah dipenuhi penjaga yang mendengar jeritan tadi. Mereka mengerumuni dua sosok tubuh yang tergeletak di tengah serambi Keputren. Dua-duanya perempuan. Yang satu lehernya terpuntir, satu lagi penuh luka berdarah-darah.
Tunggadewi mengenali keduanya. Yang lehernya terpuntir adalah Sekarwani, pengawal pribadinya. Satu lagi Emban Alit, pelayannya yang termuda. Tentu saja dia dibuat geram. Mula-mula Wulunggeni, kini dua orang terdekatnya. Dalam wilayah pribadinya pula!
Tunggadewi langsung memeriksa kedua korban. Sekarwani jelas tak tertolong. Emban Alit sepertinya sama saja. Banyak luka di sekujur tubuhnya. Tapi saat memeriksa pergelangan tangannya, Tunggadewi terperanjat. "Dia masih hidup!"
Tanpa buang waktu, Tunggadewi menekan dada Emban Alit beberapa kali. Mencoba melakukan nafas buatan. Pada tekanan ketujuh, terdengar sentakan nafasnya. Matanya terpentang lebar. Dia seperti baru melihat sesuatu yang mengerikan. Dan tangisnya meledak. Tunggadewi memeluknya.
"Pelakunya orang yang sama, Gusti Ratu," kata Patih Ranutama yang memeriksa mayat Sekarwani. "Jurus puntirannya sama. Arahnya juga. Satu-satunya yang bisa saya simpulkan, pelakunya bukan orang kidal. Tapi tentu saja fakta seperti itu tak ada gunanya."
"Aku tak yakin dengan kata 'mengalahkan', Paman," Tunggadewi menunjuk keris di pinggang Sekarwani. "Senjatanya masih tersarung. Dia dibunuh sebelum sempat melawan. Ah, apa ini?"
Tunggadewi menyentuh sesuatu yang tersangkut di rambut Emban Alit. Sesuatu yang kecil dan bulat. Setelah diperhatikan, itu adalah buah beringin.
"Aneh sekali," kata Patih Ranutama yang ikut memperhatikan. "Hamba juga menemukan buah yang sama di rambut Sekarwani."
Tunggadewi memperhatikan benda itu sambil berpikir keras. Lalu, entah kenapa, dia meminta Ranutama mencabut keris Sekarwani dan memberikan padanya. Sang Patih heran ketika Tunggadewi mengendus-endus bilah keris itu. Seperti berusaha mencium baunya.
"Menarik," gumam Tunggadewi kemudian. "Ya, ini menarik sekali."
Ranutama tak mengerti apa yang menarik dari bau keris, atau apa hubungannya dengan kasus ini. Apapun, sekarang ada kemajuan. Dia punya saksi hidup. Setelah Emban Alit tenang, gadis itu tentu bisa bercerita siapa pembunuhnya.
Dan sepertinya harapan itu akan terkabul. Emban Alit berangsur tenang. Apalagi setelah mayat Sekarwani dipindahkan dan Tabib Raganata yang datang memberi ramuan hangat. Gadis belia itu menarik nafas dalam-dalam, dan mulai bercerita...
"Saat itu hamba sedang menata ruang makan, Gusti Ratu," ujarnya. "Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di serambi ini. Tak terlalu keras, tapi masih kedengaran dari ruang makan. Hamba langsung memeriksa dan...mengerikan sekali...hamba melihatnya memuntir leher Nimas Sekarwani...dan langsung menyerang hamba...hamba langsung menjerit...dan tak ingat apa-apa lagi.."
"Siapa yang kau lihat, Emban?" desak Tunggadewi.
Emban Alit membuka mulut, tapi kemudian seperti kebingungan. "Hamba...hamba tidak ingat, Gusti. Hamba yakin melihatnya dengan jelas...tapi entah kenapa gambaran orang itu seperti hilang dari benak hamba...hamba hanya ingat sosoknya besar...seperti...seperti...."
Beberapa saat Emban Alit seperti berusaha keras menemukan kata yang tepat. Tapi sejurus kemudian dia menggelengkan kepala. "Maafkan hamba, Gusti Ratu...semuanya jadi gelap...hamba tidak ingat..."
"Sepertinya Emban Alit kehilangan ingatan, Gusti Ratu," kata Tabib Raganata. "Itu biasa terjadi saat seseorang terguncang. Mungkin ingatannya bisa kembali. Tapi bisa juga hilang selamanya. Tergantung batinnya sendiri."
Ranutama menahan kekecewaan. Buyar harapannya mendapat saksi kunci. Yah, masih mungkin Emban Alit teringat kembali. Tapi bagaimana kalau tidak?
"Di mana emban yang lain?" Â tanya Tunggadewi sambil mengedarkan pandangan. "Apakah mereka melihat apa yang terjadi?"
Para penjaga seketika menepi. Di belakang mereka, Tunggadewi melihat tiga emban lain penghuni Keputren. Semuanya berkumpul di sudut dengan wajah ketakutan. Mereka adalah Emban Amben yang paling tua, Emban Ayu yang ceriwis, serta Emban Alot yang besar, berotot, dan sebenarnya seorang waria. Tunggadewi memanggil mereka dan meminta satu per satu untuk bercerita.
"Hamba tadi sibuk di dapur, Gusti," Emban Ayu mendapat giliran pertama. "Wah, hamba mau pingsan mendengar jeritan Dimas Alit tadi. Saat memeriksa ke sini, Nimas Sekarwani dan Dimas Alit sudah terkapar di situ. Hamba tak melihat orang lain, kecuali Nimas Alot yang tiba lebih dulu. Dan dia ketakutan seperti hamba. Oalah, Gusti...satu pembunuhan di keraton saja sudah mengerikan. Ini malah nyaris tiga orang jadi korban. Betul-betul mengerikan!"
"Hamba waktu itu sedang menimba air, Gusti Ratu" Emban Alot mendapat giliran kedua. "Ya, hamba ke sini paling dulu. Tapi kedua korban juga sudah terkapar. Tak ada siapa-siapa lagi. Ini pasti ulah genderuwo penghuni beringin di belakang Keputren, Gusti. Kalau tak percaya, tanya saja Dimas Alit. Dia cerita sering diganggu genderuwo itu. Mending ditebang saja sebelum ada korban selain Nimas Sekarwani dan Dimas Alit. Hamba sanggup melakukannya sendiri kok, Gusti."
Sambil berkata demikian, Emban Alot membuat gerakan menebang dengan lengan kirinya. Lengan yang sangat besar dan penuh otot. Ya, kata Tunggadewi dalam hati, Emban Alot tak hanya cukup kuat menebang pohon. Pasti cukup kuat juga untuk mematahkan leher orang....
"Waktu Dimas Alit menjerit, hamba sedang menata kamar tidur," Emban Amben jadi yang terakhir. "Waktu ke sini, kedua teman hamba itu berpelukan tanpa berani mendekati para korban. Hamba juga yakin pelakunya genderuwo beringin itu. Dimas Ayu yang cerita kalau sering diganggu makhluk itu. Kalau sampai ada yang tewas lagi di keraton selain Nimas Sekarwani, hamba pasti susah tidur malam ini."
Ranutama mengeluh dalam hati. Kenapa jadi ke soal genderuwo segala? Rasanya sia-sia saja menanyai emban-emban ini. Tak satu pun keterangan mereka berguna. Ketiganya jelas tak melihat siapa-siapa. Karena itu, Sang Patih heran melihat Tunggadewi nampak tekun menyimak keterangan mereka.
"Terima kasih, Para Emban," ujar Tunggadewi. "Kesaksian kalian soal genderuwo itu sungguh berharga. Akan kuperiksa beringin itu sekarang. Sementara kalian di sini dahulu menemani Emban Alit. Siapa tahu bercakap dengan kalian membuat ingatannya pulih. Jangan takut, para penjaga akan menemani. Genderuwo takkan berani mengganggu."
Setelah menyampaikan pesan aneh itu, Patih Ranutama lebih heran lagi ketika Tunggadewi mengajaknya ke belakang Keputren. Rupanya dia benar-benar ingin memeriksa beringin itu. Sang Patih bertanya-tanya apakah junjungannya sudah gila. Bagaimana mungkin dia percaya omong-kosong itu?
Padahal pohon beringin itu biasa-biasa saja. Seperti beringin lain. Besar dan tinggi. Lebih tinggi dari tembok pembatas Keputren dan Bangsal Pusaka. Cabang-cabangnya ada yang tumbuh di atas tembok. Sulur-sulurnya menggantung seperti hiasan. Tanah di sekitarnya nampak kemerahan oleh buah beringin yang berjatuhan. Sebagian remuk terinjak.
"Bagaimana pendapatmu, Paman Patih?" tanya Tunggadewi sambil memperhatikan beringin besar itu. "Apakah itu sesuatu yang mungkin?"
Ranutama menghela nafas. "Maaf, Gusti Ratu. Menurut hamba itu takhayul belaka. Pembunuh itu jelas manusia biasa. Tak ada genderuwo yang terlibat. Emban-emban itu cuma melantur. Lebih baik menunggu Emban Alit ingat kembali..."
"Yang aku maksud bukan soal genderuwo," potong Tunggadewi. "Tapi apa beringin ini yang digunakan si pembunuh menyelinap ke bangsal pusaka tanpa ketahuan?"
Ranutama terperanjat. Sama-sekali tak terpikir olehnya. Serta merta dia perhatikan pohon dan tembok itu. Dia mulai menyadari sesuatu.
"Maksud Gusti, si pembunuh memanjat beringin agar bisa melewati tembok ke bangsal pusaka? Tapi andai itu benar, bagaimana caranya dia turun? Tembok ini tinggi dan permukaannya halus. Kalau lompat begitu saja, kakinya bisa patah. Dan andai pun bisa, bagaimana caranya kembali?"
Tak ada jawaban. Ranutama terkejut saat menyadari Tunggadewi tak lagi di sampingnya. Dia makin was-was ketika celingukan dan tak menemukan jejaknya. Dengan panik, Sang Patih berseru-seru memanggil. Untuk sesaat dia mulai percaya urusan genderuwo itu.
Tiba-tiba sebuah benda jatuh di depan kakinya. Membuat Sang Patih terlompat kaget. Ternyata itu gulungan tambang. Ujungnya terulur ke puncak beringin. Belum sempat Ranutama menarik nafas, dia terperanjat lagi melihat Tunggadewi merosot dari pohon, berpegangan pada tambang tersebut.
Ratu yang sudah paruh baya itu menyeringai jahil. "Aku suka panjat-panjatan sejak kecil. Memang bukan kegiatan yang biasa buat perempuan. Tapi bukankah aku memang perempuan luar-biasa?"
Ranutama tidak tahu harus berkata.
"Aku tadi memanjat beringin itu," kata Tunggadewi. "Dugaanku benar. Si pembunuh menggunakannya untuk masuk ke bangsal. Tambang ini buktinya. Kutemukan tergulung di salah satu cabang. Dengan mengikatnya di sana, si pembunuh bisa turun-naik ke seberang. Rupanya dia tak sempat menyembunyikan. Atau mengira tak ada yang bakal menemukannya."
Patih Ranutama mengangguk-angguk. "Sepertinya itulah yang terjadi, Gusti. Tapi bagaimana si pembunuh masuk ke Keputren tanpa ketahuan? Tempat ini juga dijaga. Mustahil ada orang luar bisa masuk."
Mata Tunggadewi berkilat-kilat ketika menjawab, "Buat orang luar memang mustahil. Tapi tidak buat orang dalam. Ya, aku yakin pembunuh itu salah satu penghuni Keputren. Salah satu emban itu adalah pembunuh yang kita cari."
Sang Patih terbelalak.
"Dugaanku, Wulunggeni mengetahui dan mengabarkan itu pada Sekarwani. Mereka berhasil memergoki pembunuh itu turun ke bangsal pusaka. Wulunggeni minta Sekarwani menunggu, sementara dia membuntuti. Itu menjelaskan kenapa pengawal bangsal pusaka tak melihat Wulunggeni masuk. Sayang, dia ketahuan dan dibunuh. Saat si pembunuh kembali, Sekarwani coba meringkus. Tapi dia pun gagal."
"Jagad Dewa Batara," desah Ranutama. "Dan Emban Alit mendengar keributan mereka. Untung dia menjerit. Si pembunuh jadi buru-buru, hingga gagal memastikan emban itu mati atau tidak."
Tunggadewi mau bilang sesuatu, tapi tak jadi ketika melihat Emban Ayu lari menemui mereka. Dengan tegang, emban itu berkata, "Gusti Ratu, Emban Amit sudah teringat siapa yang membunuh Nimas Sekarwani. Tapi dia baru berani buka mulut kalau di depan Gusti Ratu...."
Tunggadewi segera kembali ke dalam, diiringi Emban Ayu dan Patih Ranutama. Para emban lain masih berkumpul di serambi, menanti dengan cemas. Termasuk Emban Alit. Dia buru-buru menyembah sebelum memberi kesaksian.
"Gusti Ratu, tadi hamba tak bisa mengingat seutuhnya. Baru belakangan hamba tahu kenapa. Batin hamba sulit mempercayainya. Karena pembunuh itu teman hamba sendiri. Ya, Gusti Ratu. Si pembunuh adalah salah satu emban..."
"Siapa dia?" sergah Tunggadewi tak sabar.
Tangan Emban Alit sedikit gemetar ketika menunjuk satu dari ketiga emban di hadapannya. "Ada sebab kenapa hamba ingat tubuhnya yang besar. Tentu saja karena pelakunya adalah Emban Alot!"
Para penjaga langsung mengepung Emban Alot yang terbelalak. "Dia bohong, Gusti Ratu! Demi Hyang Widhi, bukan hamba pelakunya! Sumpah, hamba tak mengerti...."
"Penjaga, berikan tombakmu," perintah Tunggadewi. Matanya garang menatap Emban Alot yang gemetar ketakutan. "Kau memang licin. Seharusnya aku tahu. Siapa lagi yang bisa mematahkan leher selain yang besar dan kuat? Kau tak pantas dibiarkan hidup!"
Dengan gerakan yang sangat cepat, Tunggadewi menghujamkan tombaknya. Namun, yang membuat semua orang kaget, ternyata malah bukan Emban Alot sasarannya!
Emban Alit kaget sekali saat tombak Tunggadewi mengarah ke dadanya. Serta-merta dia menangkis dengan tangkas. Terlalu tangkas untuk seorang emban yang kecil dan kelihatan lemah. Bukan cuma tangkas, tangkai tombak itu juga patah kena tangkisannya.
Tunggadewi menyeringai padanya. "Ternyata tak butuh orang besar untuk mematahkan tombak atau leher, bukan?"
Emban Alit melotot kesal. Kedoknya telah terbongkar. Sebelum dia sempat bergerak, seluruh penjaga sudah mengepung dengan tombak terhunus. "Bagaimana...bagaimana kau bisa tahu...?"
"Karena sejak awal aku tahu kau bohong," sahut Tunggadewi. "Kau bohong waktu bilang Sekarwani dibunuh di serambi. Karena kejadiannya bukan di sini, tapi di bawah beringin. Tahu dari mana? Dari buah beringin di rambut kalian. Benda itu tak mungkin ada di sana kalau kejadiannya di serambi. Dan itu baru kebohongan pertama."
Emban Alit keheranan. Dan yang lain pun tak kalah bingung. Hanya Emban Alot yang bernafas lega.
"Patih Ranutama memastikan pembunuh itu bukan orang kidal. Padahal waktu membahas genderuwo, Emban Alot menirukan gerak menebang dengan tangan kiri. Itu berarti dia kidal. Bukan dia pembunuhnya. Kau bohong waktu bilang dialah pembunuhnya. Kau juga bohong waktu bilang kejadiannya di sini. Nah, siapa yang perlu berbohong selain pembunuhnya sendiri?"
Emban Alit terpana. Lalu mendadak dia tertawa. Tawa yang pahit. Dan dia masih tertawa ketika digiring keluar Keputren dengan pengawalan ketat.
"Sebenarnya aku salut dengannya," ujar Tunggadewi. "Pikirannya tangkas untuk gadis seusianya. Dia memindahkan mayat Sekarwani supaya tak ada yang curiga kalau pohon itu digunakan menyusup ke bangsal pusaka. Sayang, tindakannya kurang cermat."
Itu bukan sayang tapi syukur, kata Ranutama dalam hati. "Tapi ada yang membuat hamba bertanya-tanya, Gusti. Bagaimana dengan luka-lukanya? Apa dia melukai dirinya sendiri?"
"Tentu tidak, Paman. Justru luka itu membuatku curiga sejak awal. Dua korban pertama dibunuh dengan cara memuntir leher. Kenapa pembunuh itu tak melakukan hal yang sama pada Emban Alit? Padahal lebih mudah melakukan itu padanya. Jawabannya sederhana, pembunuh Sekarwani dan penyerang Emban Alit adalah orang yang berbeda."
Ranutama menepuk jidatnya. "Hamba paham sekarang! Emban Alit dilukai Sekarwani saat bertempur di bawah beringin. Karena itu dia pura-pura jadi korban. Sehingga tak perlu menjelaskan asal lukanya. Dan supaya tak ada yang curiga, dia kembalikan keris itu ke pinggang Sekarwani. Itulah kenapa Gusti Ratu mengendus keris Sekarwani. Ada bau darah segar di sana."
Tunggadewi mengangguk. "Dia juga pura-pura hilang ingatan karena tak ingin menuduh siapa pun lebih dulu. Masih ada rencana lain terkait pencurian warangan. Dia ingin kambing hitam yang sama untuk rencana itu. Tapi saat mengetahui aku tertarik pada beringin, dia tak punya pilihan. Dia harus menuduh seseorang agar tak ada alasan lagi meneruskan penyelidikan."
Ranutama berdecak. "Pantas Rakrian Wulunggeni bilang hamba akan terpingkal-pingkal kalau buru-buru menyatakan kecurigaannya. Siapa yang mengira gadis belia itu ternyata licin dan berilmu tinggi. Sungguh sedih membayangkan Wulunggeni dan Sekarwani harus berkorban nyawa karenanya."
"Tapi pengorbanan mereka tak sia-sia," sahut Tunggadewi. "Rencana Emban Alit jadi terungkap sebelum terlaksana. Aku tak tahu siapa yang mengirimnya, tapi tujuannya jelas. Meracuniku dengan warangan, lalu menuduh emban lain sebagai pelakunya. Racun itu gampang dikenali. Jika aku sampai keracunan, pasti terlacak di makananku. Emban Alit tinggal menaruh kendi berisi warangan itu di kamar emban yang lain. Itu cukup untuk memfitnah emban tersebut."
Mendengar semua itu, Emban Ayu seperti tak kuat lagi. Dia menangis sesenggukan. Emban Alot pun memeluknya. "Nah, nah, tak apa-apa, Dimas Ayu. Dimas Alit seperti itu karena sering diganggu genderuwo. Jadi tak usah khawatir. Genderuwo itu kan tak pernah mengganggumu. Nanti aku tebang saja beringin itu biar genderuwonya pergi."
"Hey, Dimas Alot keliru," kata Emban Amben. "Aku sudah bilang, justru Dimas Ayu yang sering digoda genderuwo. Dia sendiri yang bilang. Menurutku jangan ditebang. Mending dikasih sesajen saja."
"Sudah, diam," bentak Emban Ayu dengan nada yang betul-betul geram. "Kalian berdua ini konyol. Bicara terus soal genderuwo. Pakai otak kalian. Ini sama-sekali tidak urusannya dengan genderuwo, tahu!"
"Jangan salahkan mereka, Emban Ayu," kata Tunggadewi menengahi. "Biar bagaimanapun, omongan soal genderuwo itu sangat membantu pemecahan kasusnya. Lagipula, bukankah kau sendiri yang membantu Emban Alit menyebarkan desas-desus adanya genderuwo?"
Emban Ayu seketika berhenti menangis. Dia menatap Tunggadewi dengan nanar. "A...apa, Gusti?"
Tunggadewi menatapnya sambil tersenyum sinis. "Ayolah, tak usah berpura-pura lagi. Kau kira aku tak tahu kalau kau ini sekutu Emban Alit? Yah, harus aku akui sandiwaramu tak kalah dengannya. Tapi seperti dia, kau pun berbuat kesalahan. Bagaimana? Mau aku beritahu di mana kesalahanmu?"
Emban Ayu tak menjawab. Ekspresi wajahnya sukar ditebak.
"Baiklah, akan kuberitahu," kata Tunggadewi. "Seperti dirimu, semua emban selalu tinggal di Keputren, terpisah dari bagian keraton lain. Apa yang terjadi di luar, kalian tak bisa segera tahu. Jadi mustahil kalau kalian tahu Wulunggeni terbunuh dini hari tadi. Dan itulah yang tercermin dari keterangan teman-temanmu di awal tadi.
"Emban Alot bilang beringin itu ditebang agar 'tak ada korban lagi selain Sekarwani dan Emban Alit'. Sementara Emban Amben bilang tak bisa tidur kalau ada lagi yang mati selain Sekarwani. Artinya mereka tidak tahu ada korban lain, yaitu Wulunggeni. Tapi waktu giliranmu, kau bilang peristiwa ini memakan tiga korban. Berarti kau sudah tahu kalau ada korban ketiga. Bagaimana bisa, Emban Ayu?"
Semua mata seketika memandang Emban Ayu. Tapi tetap saja emban itu ada diam. Hanya tubuhnya semakin menegang.
Seolah acuh saja, Tunggadewi terus melanjutkan, "Hanya satu penjelasannya. Emban Alit yang memberi tahu. Dan tak mungkin dia melakukannya jika kau bukan sekutunya. Sebenarnya itu juga sudah  terendus dari keterangan dua temanmu.
"Menurut Emban Amben, kau mengaku sering diganggu gendruwo. Sementara menurut Emban Alot, justru Emban Alit yang cerita seperti itu. Sekilas membingungkan. Tapi wajar kalau kalian bekerja sama menyebarkan desas-desus. Kurasa tujuannya agar kedua temanmu tak berani mendekati pohon itu. Biar kalian berdua leluasa memanjatnya untuk mengamati bangsal pusaka - sebelum menyelinap ke sana."
Mendengar paparan Tunggadewi, Emban Alot yang memeluk Emban Ayu jadi berubah sikap. Dia melepas pelukannya. Matanya yang lembut berubah garang. Sementara Emban Ayu tiba-tiba berteriak marah. Dan sedetik kemudian dia melompat dan menerjang Tunggadewi.
Namun sebelum hal terburuk terjadi, Emban Alot sudah bertindak. Dia memukul Emban Ayu telak di rahangnya. Kepalan tangan kirinya yang besar berotot itu membuat Emban Alit terjengkang ke belakang dan tak bangun-bangun lagi.
Sambil meringis bangga pada Tunggadewi, Emban Alot berkata, "Gusti Ratu masih sangsi kalau hamba bisa menebang pohon beringin itu seorang diri?"
Emban Amben mengusap dadanya. "Pantas dari tadi dia tak bicara apa-apa soal genderuwo, dan malah marah saat Dimas Alot barusan bicara soal itu. Padahal sebelumnya dia sendiri yang ngomong terus."
Tunggadewi tersenyum geli. "Begitulah. Tentu saja dia tak mau bicara soal genderuwo di depanku. Karena perhatian akan terarah ke beringin dan rencana mereka bisa terbongkar. Itu sebabnya dia gusar mendengar kalian terus bicara soal genderuwo. Semua rencana mereka gagal total gara-gara kalian terus melantur ke sana."
"Berarti jelek-jelek, kami juga berjasa ya, Gusti Ratu," kata Emban Alot sambil meringis.
"Huss, jelek kok ngajak-ngajak," tukas Emban Amben.
Tunggadewi tertawa. Patih Ranutama pun tertawa. Para penjaga pun sempat tersenyum-senyum - sebelum bersikap sempurna kembali ketika melihat kedatangan dua orang lelaki yang bergegas menghampiri Tunggadewi.
"Kami buru-buru pulang karena mendengar ancaman terhadap Ibunda," kata salah satu lelaki, yang ternyata adalah Maharaja Hayam Wuruk sendiri. "Ibunda tidak apa-apa, bukan?"
Tunggadewi menatap putranya yang nampak rukun dengan lelaki tinggi besar di sebelahnya, yang tak lain dari Gajah Mada. Mantan Mahapatih ini memperhatikan sekeliling dengan cermat. Mulai dari Emban Ayu yang terkapar, penjaga yang bersiaga, Patih Ranutama dan para emban yang menyembah, sampai ke Tunggadewi yang berdiri penuh wibawa.
Melihat semua itu, Gajah Mada hanya tersenyum dan berkata, "Apapun yang baru terjadi, sepertinya Tungga...eh, Gusti Ratu baik-baik saja. Bukankah demikian, Gusti?"
Sambil mengedipkan mata, Tunggadewi menjawab, "Tak pernah lebih baik dari sekarang."
......
Catatan: serbuk warangan yang dipakai membersihkan keris memiliki kandungan arsenik yang merupakan zat beracun.
Kisah ini menjadi sekuel kelima dan terakhir dari cerpen Smaradahana Sang Gajah Mada. Terima kasih buat rekan pembaca yang telah setia mengikuti. Salam hangat selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H