"Siapa yang kau lihat, Emban?" desak Tunggadewi.
Emban Alit membuka mulut, tapi kemudian seperti kebingungan. "Hamba...hamba tidak ingat, Gusti. Hamba yakin melihatnya dengan jelas...tapi entah kenapa gambaran orang itu seperti hilang dari benak hamba...hamba hanya ingat sosoknya besar...seperti...seperti...."
Beberapa saat Emban Alit seperti berusaha keras menemukan kata yang tepat. Tapi sejurus kemudian dia menggelengkan kepala. "Maafkan hamba, Gusti Ratu...semuanya jadi gelap...hamba tidak ingat..."
"Sepertinya Emban Alit kehilangan ingatan, Gusti Ratu," kata Tabib Raganata. "Itu biasa terjadi saat seseorang terguncang. Mungkin ingatannya bisa kembali. Tapi bisa juga hilang selamanya. Tergantung batinnya sendiri."
Ranutama menahan kekecewaan. Buyar harapannya mendapat saksi kunci. Yah, masih mungkin Emban Alit teringat kembali. Tapi bagaimana kalau tidak?
"Di mana emban yang lain?" Â tanya Tunggadewi sambil mengedarkan pandangan. "Apakah mereka melihat apa yang terjadi?"
Para penjaga seketika menepi. Di belakang mereka, Tunggadewi melihat tiga emban lain penghuni Keputren. Semuanya berkumpul di sudut dengan wajah ketakutan. Mereka adalah Emban Amben yang paling tua, Emban Ayu yang ceriwis, serta Emban Alot yang besar, berotot, dan sebenarnya seorang waria. Tunggadewi memanggil mereka dan meminta satu per satu untuk bercerita.
"Hamba tadi sibuk di dapur, Gusti," Emban Ayu mendapat giliran pertama. "Wah, hamba mau pingsan mendengar jeritan Dimas Alit tadi. Saat memeriksa ke sini, Nimas Sekarwani dan Dimas Alit sudah terkapar di situ. Hamba tak melihat orang lain, kecuali Nimas Alot yang tiba lebih dulu. Dan dia ketakutan seperti hamba. Oalah, Gusti...satu pembunuhan di keraton saja sudah mengerikan. Ini malah nyaris tiga orang jadi korban. Betul-betul mengerikan!"
"Hamba waktu itu sedang menimba air, Gusti Ratu" Emban Alot mendapat giliran kedua. "Ya, hamba ke sini paling dulu. Tapi kedua korban juga sudah terkapar. Tak ada siapa-siapa lagi. Ini pasti ulah genderuwo penghuni beringin di belakang Keputren, Gusti. Kalau tak percaya, tanya saja Dimas Alit. Dia cerita sering diganggu genderuwo itu. Mending ditebang saja sebelum ada korban selain Nimas Sekarwani dan Dimas Alit. Hamba sanggup melakukannya sendiri kok, Gusti."
Sambil berkata demikian, Emban Alot membuat gerakan menebang dengan lengan kirinya. Lengan yang sangat besar dan penuh otot. Ya, kata Tunggadewi dalam hati, Emban Alot tak hanya cukup kuat menebang pohon. Pasti cukup kuat juga untuk mematahkan leher orang....
"Waktu Dimas Alit menjerit, hamba sedang menata kamar tidur," Emban Amben jadi yang terakhir. "Waktu ke sini, kedua teman hamba itu berpelukan tanpa berani mendekati para korban. Hamba juga yakin pelakunya genderuwo beringin itu. Dimas Ayu yang cerita kalau sering diganggu makhluk itu. Kalau sampai ada yang tewas lagi di keraton selain Nimas Sekarwani, hamba pasti susah tidur malam ini."