Ranutama mengeluh dalam hati. Kenapa jadi ke soal genderuwo segala? Rasanya sia-sia saja menanyai emban-emban ini. Tak satu pun keterangan mereka berguna. Ketiganya jelas tak melihat siapa-siapa. Karena itu, Sang Patih heran melihat Tunggadewi nampak tekun menyimak keterangan mereka.
"Terima kasih, Para Emban," ujar Tunggadewi. "Kesaksian kalian soal genderuwo itu sungguh berharga. Akan kuperiksa beringin itu sekarang. Sementara kalian di sini dahulu menemani Emban Alit. Siapa tahu bercakap dengan kalian membuat ingatannya pulih. Jangan takut, para penjaga akan menemani. Genderuwo takkan berani mengganggu."
Setelah menyampaikan pesan aneh itu, Patih Ranutama lebih heran lagi ketika Tunggadewi mengajaknya ke belakang Keputren. Rupanya dia benar-benar ingin memeriksa beringin itu. Sang Patih bertanya-tanya apakah junjungannya sudah gila. Bagaimana mungkin dia percaya omong-kosong itu?
Padahal pohon beringin itu biasa-biasa saja. Seperti beringin lain. Besar dan tinggi. Lebih tinggi dari tembok pembatas Keputren dan Bangsal Pusaka. Cabang-cabangnya ada yang tumbuh di atas tembok. Sulur-sulurnya menggantung seperti hiasan. Tanah di sekitarnya nampak kemerahan oleh buah beringin yang berjatuhan. Sebagian remuk terinjak.
"Bagaimana pendapatmu, Paman Patih?" tanya Tunggadewi sambil memperhatikan beringin besar itu. "Apakah itu sesuatu yang mungkin?"
Ranutama menghela nafas. "Maaf, Gusti Ratu. Menurut hamba itu takhayul belaka. Pembunuh itu jelas manusia biasa. Tak ada genderuwo yang terlibat. Emban-emban itu cuma melantur. Lebih baik menunggu Emban Alit ingat kembali..."
"Yang aku maksud bukan soal genderuwo," potong Tunggadewi. "Tapi apa beringin ini yang digunakan si pembunuh menyelinap ke bangsal pusaka tanpa ketahuan?"
Ranutama terperanjat. Sama-sekali tak terpikir olehnya. Serta merta dia perhatikan pohon dan tembok itu. Dia mulai menyadari sesuatu.
"Maksud Gusti, si pembunuh memanjat beringin agar bisa melewati tembok ke bangsal pusaka? Tapi andai itu benar, bagaimana caranya dia turun? Tembok ini tinggi dan permukaannya halus. Kalau lompat begitu saja, kakinya bisa patah. Dan andai pun bisa, bagaimana caranya kembali?"
Tak ada jawaban. Ranutama terkejut saat menyadari Tunggadewi tak lagi di sampingnya. Dia makin was-was ketika celingukan dan tak menemukan jejaknya. Dengan panik, Sang Patih berseru-seru memanggil. Untuk sesaat dia mulai percaya urusan genderuwo itu.
Tiba-tiba sebuah benda jatuh di depan kakinya. Membuat Sang Patih terlompat kaget. Ternyata itu gulungan tambang. Ujungnya terulur ke puncak beringin. Belum sempat Ranutama menarik nafas, dia terperanjat lagi melihat Tunggadewi merosot dari pohon, berpegangan pada tambang tersebut.