Tahun 1949...
Penyergapan itu harusnya seperti membalik telapak tangan. Mudah. Patroli tentara Belanda itu hanya berbekal senjata ringan. Tanpa kendaraan berat seperti tank atau sejenisnya. Hanya ada dua jeep. Itu pun tanpa senapan otomatis di bak belakang.
Siapa yang mengira itu hanya umpan.
Sudah ada tiga peleton pasukan bersenjata berat menunggu di kegelapan malam. Menunggu para gerilyawan yang akan melakukan sergapan. Dan apa yang terjadi kemudian adalah pembantaian.
Hampir seluruh anggota gerilyawan gugur seketika. Termasuk Komandan Priyadi, pimpinan mereka.
Letnan Aryo tidak punya waktu buat bersedih. Sekarang dia harus mengambil alih pimpinan. Tiga gerilyawan yang tersisa diarahkan ke hutan. Bersembunyi dari kejaran musuh.
"Kalau kupikir-pikir, Belanda-Belanda itu memang menjebak kita," kata Tedjo. Dia memang terkenal sebagai gerilyawan paling kontras. Badannya gede tapi otaknya kecil. Selalu telat mikir.
"Syukurlah, dari tadi aku penasaran kapan kau akan menyadari itu," komentar Lukman. Gerilyawan kurus itu tetap sarkastis bahkan di saat seperti ini.
"Tapi Belanda-Belanda itu kok bisa tahu ya?" Tedjo tak merasa disindir Lukman. "Jangan-jangan mereka punya dukun yang bisa meramal."
"Ada pengkhianat di antara kita..."