Lukman ragu. Tapi cuma sebentar. Dari sudut matanya, dia bisa melihat mayat-mayat hidup yang tak kebagian jenazah mulai menyerbu mereka berdua. Dia pun segera masuk ke dalam. Dyah menyusul dan menutup pintu itu kembali.
Mereka berdua sekarang berada di sebuah bilik berbentuk melingkar. Ada lubang menganga di atas mereka. Dyah mengutak-atik panel kecil di samping pintu.
"Tenaga cadangan bisa memperkuat pintu ini beberapa detik," kata Dyah. "Cukup buat kita untuk naik ke atas."
Dikutak-katiknya panel itu sekali lagi. Dan tiba-tiba dari dinding melingkar itu mencuat batang-batang logam seperti pegangan anak tangga. Berderet dari lantai sampai ke tepi lubang di atas.
Lukman melongo. "Bagaimana kau tiba-tiba tahu semua itu?"
Tapi lagi-lagi Dyah tak sempat menjawab. Pintu itu pun digedor-gedor dari luar. Bahkan mulai bisa dibuka paksa. Celah mulai menganga di tepinya. Dari sana tangan-tangan tinggal tulang menggapai-gapai.
Dyah maupun Lukman cepat-cepat memanjat deret anak tangga tadi. Mereka sudah mencapai tepi lubang ketika mayat-mayat hidup itu berhasil membobol pintu dan menyerbu dalam bilik.
Namun saat sebagian di antara mereka mau memanjat naik, seluruh pegangan tangga tadi kembali terbenam kembali ke dinding.
Dari atas lubang, Lukman memandang nanar pada kerumunan mayat hidup di bawah. Semuanya menggapai-gapai ke atas sambil membuka-tutup rahang. Sulit membayangkan dulunya mereka juga manusia.
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.
Dirinya kini berada di kabin yang menyerupai kokpit pesawat terbang. Lengkap dengan jendela berkaca tebal dan serangkaian papan kendali. Hanya disain interior maupun avioniknya terlihat sangat aneh.