Aryo mengangkat mukanya. Menatap Lukman. "Kau mungkin tidak percaya. Tapi aku sudah berusaha agar informasi yang kuberikan tidak terlalu penting. Ya, aku yang menyebabkan pos gerilya kita di desa Benowo diserbu Belanda. Tapi pos itu sudah jarang kita singgahi. Tidak berbahaya kalau diketahui musuh. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa mengetahui rencana penyergapan kita ini."
"Kau benar, aku tidak percaya," sergah Lukman seraya mengarahkan moncong senjatanya ke kepala Aryo. "Jadi tak usah banyak bicara. Makan peluruku ini saja! Pengkhianat harus mati."
"Jangan," Dyah menempatkan dirinya di antara moncong senapan dan Aryo. "Kita masih harus menghadapi mayat-mayat hidup di luar sana."
Pandangan sinis Lukman beralih ke Dyah. "Kau yakin cuma itu alasannya? Kudengar kau sudah tidur berulang-kali dengan penyayang istri ini!"
Dyah menampar Lukman dengan keras. Tapi gadis itu tidak membantah atau mengatakan apapun.
Sementara mereka bertengkar, tak ada yang memperhatikan Tedjo. Sejak Aryo menyebut-nyebut desa Benowo, lelaki gempal itu nampak berpikir keras. Lalu wajah yang biasa plonga-plongo itu mendadak berubah beringas.
"Bajingan!" teriaknya. "Nenekku yang tinggal di Benowo mati tertembak waktu Belanda menyerbu ke sana. Jadi kau gara-garanya!"
Senapan di tangan Tedjo bergerak, hendak memuntahkan peluru pada Aryo. Tapi belum sempat menarik picu, tiba-tiba lelaki itu menjerit kesakitan.
Sesuatu yang panjang, runcing, dan bersinar menusuk punggungnya sampai tembus ke dada.
Ketiga gerilyawan lainnya mundur dengan mata terbelalak kaget.
Satu sosok tinggi besar berbaju zirah, seperti raksasa dalam cerita pewayangan, berdiri di belakang Tedjo. Tangannya memegang semacam tombak membara yang menusuk gerilyawan itu. Lalu mulutnya yang penuh taring menelan kepala Tedjo. Menggigitnya sampai putus, lalu mencampakkan tubuhnya ke lantai.