Kalimat itu diucapkan Dyah, sang petugas palang merah. Satu-satunya kaum hawa dalam pasukan gerilya tersebut.
Tedjo terkaget-kaget. "Pengkhianat? Maksudmu ada teman kita yang membocorkan rencana penyergapan pada tentara Belanda?"
Lukman sama-sekali tidak kaget. Dia menambahkan, "Dan karena yang lain sudah pada mampus, maka pengkhianat itu pasti salah-satu dari kita berempat."
Aryo mengangguk-angguk. Wajahnya muram. "Semoga kita masih bisa menemukan pengkhianatnya sebelum Belanda-Belanda itu menemukan kita."
Kata-kata itu membuat semuanya terdiam.
Aryo mengambil pisau belati dari pinggangnya dan mengulurkan benda itu kepada Dyah. "Kau harus punya sesuatu untuk membela diri. Siapa tahu kami bertiga mati duluan."
Dyah menatap benda itu dengan pandangan ngeri. "Tidak. Aku tidak mau. Tugasku di sini mengobati. Bukannya malah..."
Seberkas cahaya menyilaukan memotong perkataan gadis itu. Cahaya tersebut turun dari langit dan jatuh di seberang hutan. Begitu menghantam bumi, terjadi guncangan gempa yang dahsyat.
Dyah merasakan benturan keras pada kepalanya. Dan dia pun pingsan.
Saat terbangun, dia menemukan ketiga rekannya berdiri berselubung debu tebal. Ketiga-tiganya nampak kebingungan. Bahkan ketakutan.
"Apa yang terjadi," Dyah bangkit sambil mengernyit. Satu batang pohon tumbang di sisinya. Rupanya itu yang membentur kepalanya.