Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Astaga, Konser Pengocok Perut!

4 Januari 2021   11:40 Diperbarui: 9 Maret 2021   19:22 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya aku sudah pingin menyerah. Kubentangkan kantong plastik itu di depan mulutku. Siap untuk muntah sepuas-puasnya. Tapi aku lalu membayangkan apa yang bisa kulakukan dengan duit semilyar perak. Lebih dari itu, aku membayangkan wajah Harry yang tersenyum puas melihatku menderita seperti ini. Entah mana yang lebih berpengaruh, tapi kuputuskan untuk bertahan.

Bertahan! Itu lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Perutku sudah jadi gunung api yang menganggap mulutku sebagai kawahnya. Mendesak dengan kalap tak perduli ego dan nama baikku. Kulawan itu tak kalah gigihnya. Sampai-sampai aku menggeliat-geliat di tempat duduk.

Ini adalah pertempuran terberat dalam hidupku. Jauh lebih berat dari saat aku harus menahan dorongan buang air besar dalam bus ekonomi Surabaya-Jogya. Aku kalah saat itu, sampai aku trauma naik bus. Jadi bagaimana mungkin sekarang aku bisa menang?

Kupejamkan mata kuat-kuat. Berusaha melindungi penglihatan dari terjangan peluru-peluru optik dari segala penjuru. Tidak ada gunanya! Justru karena memejamkan mata, bunyi-bunyian perencah syaraf plus suara ribuan orang muntah jadi terasa lebih menyiksa.

Kucampakkan kantong plastik di tanganku. Kugunakan kedua tanganku untuk menutup kuping. Di tengah tata lampu dan tata suara berkekuatan ribuan desibel, aku menutup mata dan telinga. Erat-erat.

Berhasil? Sama-sekali tidak! Paduan suara dari neraka itu seolah bisa merambat lewat kulit langsung ke syaraf tanpa harus antri ke telinga. Dan sepertinya kekuatan lampu itu terus ditingkatkan sampai aku masih bisa melihat bayangannya menari-nari di luar kelopak mataku.

'Bajingan!' tanpa sadar aku berteriak, masih dengan tangan di kuping dan mata terpejam. Heran, aku merasa lebih baik.

'Bajingan! Sontoyo! Jancuk! Asu!' kuteriakkan seluruh makian yang kukenal. 'Jangkrik-ngerik! Gombale-Mukiyo! Bangke-urip! Babi-ngepet! Bangsat-keparat! Celeng-meleng....'

Terus dan terus aku berteriak-teriak. Persetan dengan apapun. Makin keras dan emosional. Orang kesurupan pun bisa rendah diri melihatku. Kakiku ikut menendang-nendang liar.

Boleh jadi aku sempat kesurupan benar-benar. Soalnya aku sampai tak sadar berapa lama aku berteriak-teriak mengumpat sambil menendang-nendang seperti itu. Tahu-tahu aku baru sadar bahwa bunyi rekaman telah berhenti. Layar besar telah padam. Dan tata-cahaya telah dimatikan. Bahkan lampu ruang konser telah dinyalakan kembali.

Aku masih beruntung. Lampu ruang konser yang temaram membuat hanya penonton terdekat yang bisa melihat dan mendengarku bertingkah persis orang gila setelah pementasan usai. Usai? Aku langsung kaget. Ini berarti.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun