Sebagai jurnalis, aku tak pernah menganggap diriku pecinta seni. Apalagi seni modern. Lebih lagi seni posmodern. Pokoknya seni yang aneh-aneh itu aku tidak senang. Bagiku, lukisan bagus itu harus bisa dinikmati tanpa harus belajar empat tahun. Dan musik yang bagus adalah yang tidak bikin pusing.
Makanya aku agak jengkel ketika editorku meminta untuk meliput pementasan terbaru dari Harry Hairy, seseorang yang dianggap Godfather pementasan seni posmodern. Yang lebih kubenci dari seni itu sendiri adalah kreatornya. Apalagi kreator seni posmo. Apapun bentuknya. Aku bahkan tak terlalu paham apa itu seni posmo.
'Ini akan meluaskan wawasanmu,' tegas editorku. 'Seorang jurnalis harus berwawasan luas'.
Aku tak bisa membantah perkataannya. Seperti aku juga tak bisa membantah perkataan-perkataan dia sebelumnya. Aneh untuk menganggap editor majalah yang menjadi simbol kebebasan pers sebagai diktator. Tapi begitulah kenyataannya.
Jadi apa boleh buat, dua hari kemudian aku jadi bagian dari ribuan calon penonton yang mengantri untuk masuk gedung konser terbesar di Ibu Kota. Aku terpana dengan kenyataan bahwa sebagian besar pengantri adalah generasi milenial. Entah mereka yang kebanyakan micin atau memang aku yang mulai tua.
Jika ini semacam konser pertunjukan biasa, betapapun buruknya, kurasa aku masih bisa toleran. Resikonya paling tertidur sebelum pertunjukan usai. Tak masalah. Tapi ini pertunjukannya Harry Hairy. Banyak orang menyebutnya luar-biasa. Aku lebih suka menyebutnya di luar kebiasaan.
Nama sebenarnya adalah Hari Sudjatmoko. Asli Surabaya tapi besar dan nakal di Bandung. Waktu sekolah masih bikin band yang normal. Baru aneh usai meraih gelar doktor. Dia jadi suka bereksperimen dan membuat pementasan yang aneh-aneh. Bahkan di masa selera orang masih waras.
Dia pernah membuat pentas pemutaran film berjudul 'Akan Tetapi'. Film berdurasi tiga jam itu ternyata isinya cuma penggalan-penggalan rekaman dokumenter dari tokoh politik dan selebriti saat mengucap kata 'akan tetapi'. Sepertiga penonton tepuk-tangan, sepertiga ngorok di kursi, sepertiga lagi pulang sebelum usai.
Itu belum apa-apa. Dia pernah membuat kelompok tertentu gusar, bahkan berdemo besar-besaran, ketika membuat pagelaran musik synthesizer yang dimainkannya sendiri. Alatnya standar, tapi tiap tutsnya diprogram memperdengarkan suara desahan wanita yang sedang bercinta - dengan nada yang berbeda-beda. Pertunjukan malam pertama membludak. Tapi malam kedua gagal-total karena gedungnya keburu dibakar pendemo. Lucunya, Harry menganggap itu sebagai sukses besar.
Yang tidak lucu, bukannya surut seiring perubahan selera orang, justru makin lama Harry Hairy makin terkenal. CD-nya yang dijual secara indie laku keras. Dan ketika masuk jaman youtube, konten-kontennya berhasil mengundang penonton sampai ratusan juta. Separonya dari luar negeri.