Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Miss You] Perayaan Para Perempuan

20 Oktober 2018   19:08 Diperbarui: 20 Oktober 2018   20:35 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

En, ratu kematian akan datang. Hadirlah pukul tujuh malam ini untuk bersenang-senang. Para perempuan akan mengadakan perayaan besar!

- Elfat

Kartu berisi pesan absurd itu terselip di sapu lidi yang biasa kugunakan untuk mengebuti kasur kucing peliharaan Tuan. Pesan itu untukku. Di baliknya, tercantum sebuah alamat yang tidak asing. Jalan Mawar, Nomor 4.

Kalau tidak salah, rumah ini Jalan Mawar juga, nomor 71. Tapi, di sekitar sini tidak ada tenda, musik, atau apapun yang tampak seperti persiapan. Kalaupun ada perayaan besar, pasti sudah jadi perbincangan saat ibu-ibu membeli sayur.

Apa ini lelucon? Elfat itu siapa, ya? Apa pembantu baru di rumah seberang?

Aih, sudahlah. Aku datang dulu saja nanti malam. Toh, dekat sekali dari sini. Lumayan, kan, bisa dapat bahan gosip besok pagi. Xixixi.

Eh, tapi, aku harus izin dulu pada Nyonya. Baru dua bulan kerja, mana boleh lancang.

Aku harus bilang apa, ya? Mau pergi menemui ratu kematian? Atau, malam mingguan?

Masalahnya, selain takut diomeli, aku juga khawatir. Rumah seluas ini, Nyonya huni seorang diri. Tuan baru akan pulang dari Jerman tiga hari lagi.

Kalau melihat wajah Nyonya yang selalu gelisah, aku yakin dia memendam rindu yang buncah. Bisa jadi dia akan mudah marah. Apa tidak apa-apa kalau aku pergi diam-diam?

Hm, aku harus memutar otak.

...

Ah, masa bodoh, deh.

Aku pergi saja setelah menyiapkan makan malam. Toh, ada satpam yang akan menjaga Nyonya.

Cuma sebentar, kok. Dia tidak akan tahu.

***

Pukul enam lebih lima puluh lima menit.

Aku bengong di antara rumah nomor 3 dan nomor 5. Di seberang jalan, hanya ada rumah nomor 6. Apa aku dikibuli? Tidak ada rumah nomor 4 di Jalan Mawar!

"En, kamu datang! Kenapa masih berdiri di sini? Sebentar lagi dimulai."

Seorang perempuan muda bergaun magenta menarik lenganku buru-buru. Aku geming, berusaha mengenalinya.

Sambil merunduk, kami memasuki pintu berdimensi satu kali satu meter, yang tadinya kukira tempat pembakaran sampah.

Nyatanya, kini kami melintasi lorong mencekam yang terasa begitu panjang. Pasti gara-gara efek penerangan. Tiap 3 meter, hanya ada lampu suram seperti yang dipakai Bapak menghangatkan anak ayam.

"Ayo, En! Lewat sini."

Belum berhasil aku mengenali sosok perempuan ini, dia sudah menarikku lagi. Aku mengerjap-ngerjap, menyesuaikan mata dengan kegelapan.

Hah! Kuburan!

Aku mendadak lupa cara berkata-kata atau sekadar bersuara. Perayaan macam apa yang diadakan di kuburan? Sekte penyembah bunga kenanga?

Pikiranku yang tadi gamang, jadi tidak karuan. Kami melintasi jalan setapak diiringi wangi bunga tujuh rupa.

Di ujung sana, hanya ada pintu kayu. Ya, hanya pintu kayu. Tanpa rumah, tanpa bangunan. Hanya pintu.

Sekitar tiga meter dari kami, perempuan-perempuan bergaun indah berjalan tergesa-gesa. Mereka seperti tidak sabaran dan tak acuh pada ujung gaun yang terus-menerus menggerus tanah.

Lama-lama aku kesal, seolah tidak diberi waktu untuk mencerna apa-apa.

Bayangkan, di balik pintu yang terselubung kabut itu, tersembunyi balairung megah! Meja-meja makan yang tertata rapi, penuh hidangan yang menggiurkan.

"Maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Elfat." Perempuan yang tadi menyeretku tersenyum, manis sekali. Persis madu kurma herbal kegemaran Nyonya. Eh, jangan bilang siapa-siapa kalau aku pernah mencicipinya.

Sebelum aku sempat menjawab, Elfat berdiri. Perempuan lain mengikuti. "Dia akan menuju kemari untuk menyambutmu. Ayo berdiri. Kamu harus memberi salam."

"Siapa yang datang?"

"Desol, ratu kematian."

"Hah?" Aku terperangah menatap sosok yang menjadi sebab para perempuan tertunduk takzim. "Nyonya?!"

"En, kamu datang. Kenapa tidak izin pada saya?"

Aku gelagapan. Nyonya tampak anggun dalam balutan gaun merah menyala. Muram di wajahnya sirna. Hanya ada senyuman, dan tatapan tajam.

"Sudahlah, tidak perlu takut. Nikmati saja hidangannya."

Aku menurut. Nyonya? Desol? Ratu kematian?

Daripada pusing, aku makan saja dulu. Rawon, sate maranggi, rendang. Wow, ini surga! Xixixi.

Kenyang. Aku mulai mereguk kesadaran, mengamati sekeliling. Wajah-wajah yang penuh kebahagiaan dan kepuasan yang ganjil. Beberapa perempuan tertawa setiap kali menggigit bistiknya, berlinangan air mata.

Apa yang dilakukan para perempuan ini di tengah kuburan? Apa yang mereka rayakan?

"En, terima kasih telah hadir dalam perayaan kami yang kelima. Kali ini, perhelatan untuk merayakan kebebasan saya dan Elfat."

"Perayaan apa, Nyonya?"

"Berbagi suami," Elfat menyahut. "Kami, para perempuan yang butuh katarsis karena suaminya main gila, menikah diam-diam, dan beragam dinamika lain yang akan sulit kamu bayangkan."

Aku takjub. "Bukankah Tuan hanya mencintai Nyonya?"

"Ya, dan kamu juga."

"Hah?"

"Tidak perlu kaget, En. Tuan berkata ingin mempersunting kamu. Dia mengaku pada saya seminggu lalu."

Aku diam, tidak tahu harus berkata apa.

"Dan kini saya lega, saya telah rela berbagi suami dengan kamu."

Aku menggeleng. "Tidak, Nyonya. Saya tidak mau menikahi Tuan. Saya janji akan menjaga jarak sepulang Tuan dari Jerman. Saya janji tidak akan membuat Nyonya sakit hati. Saya bukan pelakor, Nyonya. Sumpah!"

Elfat, Nyonya, dan beberapa perempuan yang mencuri dengar terbahak-bahak. "En! Tuan tidak pergi ke Jerman!" Nyonya berkata sambil mengusap air mata. Entah karena sedih, atau karena tertawa.

"Hah?"

"Ini perayaan sakral untuk berbagi suami. Barusan kamu sudah mencicipi Tuan. Bagaimana? Enak tidak?"

Aku terperanjat, menahan mual.

Tanpa peduli pada aku yang membatu, mereka kembali asyik bercengkerama, tertawa, dan berlinang air mata.

"Kamu tahu, En?" Nyonya kembali bicara di tengah tawanya. "Puteri beruntung sekali memiliki suami setia. Dia dicintai suami Elfat. Tapi suaminya sendiri, hanya mencintainya. Luar biasa!"

"Maafkan aku, Elfat. Kalau saja Kang Tono menyukaimu, aku pasti juga akan rela berbagi," ujar seseorang yang kuketahui bernama Puteri.

"Tidak perlu minta maaf. Kita sedang perayaan dan kamu sedang hamil. Bergembiralah! Nikmati saja hidangan dariku."

"Kamu kenal Kang Tono kan, En? Dia satpam rumah kita," kata Nyonya.

Aku terenyak, lalu mengangguk. Gemetar. Daging Tuan yang kutelan sepertinya mulai bekerja. 

Ada roh belati yang merasuki sendi-sendiku. Merasakan sakit-sakit yang menjangkit pada hati para perempuan ini.

Aku tahu, apa yang harus aku lakukan.

Sesampainya di rumah, aku akan menyiapkan pisau dapur untuk kuhadiahkan pada jantung Kartono.

Ya, Kang Tono, satpam laknat yang memohon cintaku saban malam Minggu.

Dan Nyonya, akan kembali menghelat perayaan, sekali lagi.

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 20 Oktober 2018

*Cerpen ini saya tulis sembari menontoni mereka yang tengah mencumbui rindu: Lilik, Desol, Putri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun