"Ayo, En! Lewat sini."
Belum berhasil aku mengenali sosok perempuan ini, dia sudah menarikku lagi. Aku mengerjap-ngerjap, menyesuaikan mata dengan kegelapan.
Hah! Kuburan!
Aku mendadak lupa cara berkata-kata atau sekadar bersuara. Perayaan macam apa yang diadakan di kuburan? Sekte penyembah bunga kenanga?
Pikiranku yang tadi gamang, jadi tidak karuan. Kami melintasi jalan setapak diiringi wangi bunga tujuh rupa.
Di ujung sana, hanya ada pintu kayu. Ya, hanya pintu kayu. Tanpa rumah, tanpa bangunan. Hanya pintu.
Sekitar tiga meter dari kami, perempuan-perempuan bergaun indah berjalan tergesa-gesa. Mereka seperti tidak sabaran dan tak acuh pada ujung gaun yang terus-menerus menggerus tanah.
Lama-lama aku kesal, seolah tidak diberi waktu untuk mencerna apa-apa.
Bayangkan, di balik pintu yang terselubung kabut itu, tersembunyi balairung megah! Meja-meja makan yang tertata rapi, penuh hidangan yang menggiurkan.
"Maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Elfat." Perempuan yang tadi menyeretku tersenyum, manis sekali. Persis madu kurma herbal kegemaran Nyonya. Eh, jangan bilang siapa-siapa kalau aku pernah mencicipinya.
Sebelum aku sempat menjawab, Elfat berdiri. Perempuan lain mengikuti. "Dia akan menuju kemari untuk menyambutmu. Ayo berdiri. Kamu harus memberi salam."