"Ini perayaan sakral untuk berbagi suami. Barusan kamu sudah mencicipi Tuan. Bagaimana? Enak tidak?"
Aku terperanjat, menahan mual.
Tanpa peduli pada aku yang membatu, mereka kembali asyik bercengkerama, tertawa, dan berlinang air mata.
"Kamu tahu, En?" Nyonya kembali bicara di tengah tawanya. "Puteri beruntung sekali memiliki suami setia. Dia dicintai suami Elfat. Tapi suaminya sendiri, hanya mencintainya. Luar biasa!"
"Maafkan aku, Elfat. Kalau saja Kang Tono menyukaimu, aku pasti juga akan rela berbagi," ujar seseorang yang kuketahui bernama Puteri.
"Tidak perlu minta maaf. Kita sedang perayaan dan kamu sedang hamil. Bergembiralah! Nikmati saja hidangan dariku."
"Kamu kenal Kang Tono kan, En? Dia satpam rumah kita," kata Nyonya.
Aku terenyak, lalu mengangguk. Gemetar. Daging Tuan yang kutelan sepertinya mulai bekerja.Â
Ada roh belati yang merasuki sendi-sendiku. Merasakan sakit-sakit yang menjangkit pada hati para perempuan ini.
Aku tahu, apa yang harus aku lakukan.
Sesampainya di rumah, aku akan menyiapkan pisau dapur untuk kuhadiahkan pada jantung Kartono.